Another Part Of Me?

Part 2.24



Part 2.24

0Davine dan ketiga anak lainnya masih berada di ruangan itu, kini wanita itu telah selesai dengan perbincangannya bersama sang pelatih.     

"Hai semua, bagaimana keadaan kalian?" tanya wanita itu pada Davine dan ketiga anak lainnya.     

"Kami baik, dan hari kami cukup menyenangkan!" dengan serentak mereka segera menjawab pertanyaan itu secara bersamaan, walau kenyataannya tidak seperti apa yang mereka nyatakan saat itu, tidak pernah ada kata baik-baik saja bagi mereka, anak-anak yang tergabung di yayasan itu. Mereka hanya mengikuti instruksi yang sebelumnya telah mereka dapat dari para petugas yayasan tersebut.     

Wanita itu mengernyitkan alisnya, ia menatap lekat pada Davine yang saat itu terlihat hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan itu. Saat itu Davine juga terlihat sedang menatap lekat pada sebuah benda yang tergeletak di atas meja, yang berada tidak jauh dari tempatnya.     

Melihat hal itu tentu sang pelatih terlihat menahan amarahnya, namun ia masih tidak dapat berbuat apa-apa saat itu. Tentu setelah hal ini selesai Davine pasti akan menerima akibat dari sikapnya. Sang pelatih masih mencoba mengontrol emosinya dengan sekuat tenaga di ruangan tempat mereka berada saat itu.     

Melihat tingkah Davine, wanita itu seketika merasa tertarik olehnya.     

"Ada apa dengan benda itu?" tanya wanita itu pada Davine.     

"Apa itu milikmu?" tanyanya sekali lagi sembari menunjuk kotak musik yang berada di atas meja yang berada di sudut ruangan.     

Davine hanya menganggukkan kepalanya, ia sangat menginginkan kotak musik pemberian dari Kakek Robert itu kembali ke tangannya. Melihat hal itu sang wanita dengan lembut membelai rambut Davine. Entah apa maksud dari sikapnya itu, Davine tidak terlalu memedulikannya, perhatiannya hanya tertuju pada kotak musik miliknya.     

Kini wanita itu berjalan menjauh dari keempat anak itu, ia duduk tepat di meja di mana kotak musik milik Davine saat itu berada. Terlihat sang pelatih kembali berbicara pada wanita itu, sebelum akhirnya ia menyudahi pembicaraan itu dan segera berjalan menghampiri keempat anak yang masih duduk di kursinya masing-masing.     

Sang pelatih kini menghampiri keempat anak itu satu-persatu.     

"Ingat jangan pernah coba-coba membocorkan apa yang telah kalian alami selama di yayasan ini!" ujar sang pelatih yang hampir terdengar seperti berbisik itu.     

"Jika tidak, kalian akan menerima akibatnya!" ancamnya pada keempat anak yang kini duduk tepat di hadapannya.     

Kini anak-anak itu diperintahkan secara bergantian untuk berbincang secara empat mata dengan wanita yang berada di meja yang terdapat di sudut ruangan. Wanita itu sangat ramah pada masing-masing anak, hingga tibalah saat di mana kini giliran Davine yang menghadap wanita tersebut.     

Situasi sangat canggung kala itu, Davine yang selama ini terkurung di yayasan itu tentu tidak terbiasa untuk saling berinteraksi seperti itu. Selama ini ia hanya berbicara pada Kakek Robert saja, ia bahkan tidak pernah berbicara sesama anak yang terdapat di yayasan itu. Terlihat sekali ia sangat kaku dalam hal saling berinteraksi.     

"Perkenalkan, namaku Monna," ujar wanita itu membuka pembicaraan dengan sangat ramah, wanita itu sangat peka.     

Davine hanya mengangguk, senyum canggung tercetak di bibirnya.     

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Monna, wanita itu menyentuh pipi Davine dengan lembut. Ia tahu ada sebuah memar yang berusaha disembunyikan di sana.     

Davine segera merespons dengan memalingkan wajahnya. Tentu ia harus menyembunyikan hal tersebut dari wanita itu. Namun sesekali ia juga masih melirik kotak musik pemberian Kakek Robert miliknya yang terdapat di meja itu.     

Menyadari hal itu Monna segera memberikan tawarannya untuk Davine.     

"Apa kau ingin benda ini kembali, tentu aku punya satu syarat untuk itu!" tawar Monna, wanita itu tersenyum hingga membuat matanya hampir terlihat terpejam.     

Davine yang mendengar tawaran itu dengan seketika mengubah ekspresinya, rasa gembira yang dirasakannya saat itu tidak dapat disembunyikannya. Davine segera mengangguk pelan dengan senyuman yang kini tercetak sangat jelas di wajahnya. Itu kali pertama baginya dapat tersenyum dengan tulus pada orang lain selain Kakek Robert.     

"Entah mengapa aku sangat menyukaimu. Aku ingin mengangkat kau sebagai anakku, apa kau mau?" tanya Monna.     

"Tentu aku akan mengembalikan kotak musik itu kembali ke tanganmu!" tawarnya pada Davine.     

Davine hanya diam, ia masih tidak mengerti tentang perihal anak angkat yang Monna maksud.     

Menyadari jika Davine masih belum mengerti maksud dari perkataannya Monna kembali sedikit meluruskan hal itu.     

"Maukah kau tinggal bersama Tante, dan meninggalkan yayasan ini bersamaku?" tanya Monna dengan lebih sederhana.     

Mendengar hal itu hati Davine bagai tersambar petir, selama ini ia bagaikan pungguk merindukan bulan. Tentu hal itu adalah keinginan semua anak-anak yang berada di yayasan itu, meninggalkan neraka itu adalah sebuah karunia bagi mereka. Wanita itu bagaikan malaikat yang mengangkat tubuh kecilnya dari dalam jurang tanpa akhir. Seketika Davine teringat perkataan Kakek Robert, jika suatu saat ia pasti akan keluar dari tempat itu dan akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Air mata kebahagiaan mengalir tanpa sadar dari pipinya.     

Davine meremas dadanya yang sedikit sesak, sedang tangan kanannya berusaha menghapus air mata yang tanpa ia sadari mulai mengalir itu, ia tidak ingin sang pelatih melihat hal tersebut. Seketika setiap perkataan dari sang kakek kembali terngiang di ingatannya.     

"jangan pernah meninggalkan sisi baik yang ada dalam dirimu, walaupun itu hanya sedikit, tetaplah berusaha untuk menjadi pribadi yang baik ...." Davine kembali mengingat kata-kata yang selama ini hampir saja ia lupakan itu. Segala pelatihan dan penyiksaan yang selama ini ia rasakan membuatnya hampir menyerah dan tidak mempercayai semua yang pernah Kakek Robert katakan padanya. Namun kali ini semua perkataan itu terasa menjadi nyata, ia bahkan tidak pernah berani berharap jika suatu saat ia akan keluar dari tempat terkutuk itu.     

"Bagaimana? Apa kau menerima tawaran dari Tante?" tanya Monna, ia kembali membelai lembut rambut Davine yang terasa kasar itu.     

Davine mengangguk pelan, rasa bahagia melanda di sekujur tubuh kecilnya itu.     

"Baiklah, aku mengerti!" Monna tersenyum puas dengan jawaban yang diterimanya dari Davine.     

Setelah menerima jawaban itu, Monna segera kembali menghampiri sang pelatih, percakapan kembali mereka lakukan secara empat mata. Selang beberapa saat kini sang pelatih segera memerintahkan ketiga anak lainnya untuk meninggalkan tempat itu, dan hanya menyisakan Davine seorang diri.     

Sang pelatih meminta izin pada Monna untuk berbicara pada Davine untuk terakhir kalinya. Ia dengan segera menghampiri Davine yang saat itu masih duduk di depan meja yang berada di sudut ruangan itu.     

"Kau sangat beruntung cecunguk kecil," bisik sang pelatih pada Davine.     

"Aku peringatkan sekali lagi padamu, jangan pernah kau ceritakan tentang apa yang kau alami di tempat pada siapa pun, termasuk wanita itu!" ancam sang pelatih.     

"Jika tidak kau akan menerima akibatnya. Aku akan menemukanmu jika hal itu terjadi, dan kau akan merasakan penderitaan yang tiada tara!" ujar sang pelatih, ia berbisik tepat di telinga Davine.     

Itu adalah kata-kata terakhir yang terucap darinya pada Davine kecil, yang tentu saja cukup membuatnya gemetar ketakutan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.