Another Part Of Me?

Part 3. Connection



Part 3. Connection

0Davine terbangun dari tidurnya, kepalanya masih terasa sangat berat, sedang bahu kirinya terasa sangat kaku bukan main.     

"Akhirnya kau tersadar juga!" ucap seorang wanita yang berjalan dari arah dapur di mana sebuah pondok kecil tempat mereka berada saat itu.     

Davine segera memalingkan wajahnya, ia mencari sumber suara itu. Ia masih belum tahu di mana ia berada saat itu.     

"Jangan memaksakan diri, beristirahatlah. Kau masih perlu memulihkan kondisimu!" ujar wanita itu, kini ia berada tepat di depan kasur tempat Davine berada saat itu.     

"Aku di mana? Apa yang terjadi padaku?" tanya Davine, ia masih belum bisa memahami situasinya. Seingatnya terakhir kali ia masih berada di tengah hutan dan tanpa sengaja jatuh ke curam yang seketika membuatnya kehilangan kesadaran.     

Davine memegangi kepalanya yang masih terasa sedikit pening.     

"Dan kau siapa?" Davine melanjutkan pertanyaannya.     

"Tenanglah, biarkan aku menjawabnya satu-persatu," jawab wanita itu.     

"Pertama, perkenalkan namaku Melissa!"     

"Kau boleh memanggilku Lissa!" ujarnya lagi.     

Saat itu juga Lissa segera menjelaskan keadaannya, dan bagaimana Davine bisa berada di tempat itu.     

"Sekitar tiga hari yang lalu, aku menemukanmu tak sadarkan diri di sebuah curam yang cukup terjal," jelas Lissa.     

"Tentu butuh usaha yang lebih bagi wanita sepertiku untuk mengeluarkan mu dari tempat itu!" tambahnya.     

"Saat ini bukan hanya kau yang tidak mengerti situasinya, bahkan aku pun begitu, siapa kau sebenarnya, dan bagaimana bisa kau memiliki luka tembak di bahu kiri mu itu!" ujar Lissa balik bertanya.     

Menerima pertanyaan itu Davine hanya bisa terdiam, ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan situasi yang sedang dihadapinya kala itu.     

Davine meraih bahu kirinya yang saat itu masih terasa sedikit keram, ia sadar dengan luka tembak seperti itu pasti akan menarik kecurigaan bagi siapa saja yang melihatnya.     

"Baiklah, jika kau tidak mau menceritakan hal itu," ujar Lissa yang sedari tadi masih menunggu jawaban dari Davine.     

"Aku sudah mengeluarkan peluru yang bersarang di sana, mungkin pekerjaanku tidak cukup baik, tapi setidaknya benda itu kini sudah tidak berada di bahumu lagi," tambahnya, sebelum akhirnya wanita itu meninggalkan Davine yang masih terdiam di atas kasur itu.     

Banyak hal yang kini menjadi pertanyaan di benak Davine. Mengapa pihak Kepolisian berusaha menangkapnya, dari cara mereka jelas itu sebuah upaya yang tidak main-main, apa penyebab mereka melakukan itu, apa alibinya. Operasi itu seolah menempatkan dirinya sebagai tersangka pelaku tindak kriminal. Tapi apa, pikir Davine. Apa mereka kini mencurigainya sebagai pelaku pembunuhan berantai yang terjadi di kota itu. Bagaimana bisa, sedang ia sendiri bahkan mati-matian untuk mencoba mengungkap kasus tersebut. Pertanyaan itu terus saja melayang-layang di kepalanya.     

Davine disadarkan oleh kedatangan Lissa, ia membawa seporsi makanan lengkap dengan lauk pauk yang tercium sangat menggoda. Mencium aroma sedap dari makanan itu, perut Davine seketika bergejolak hebat, bagaimana pun juga ia telah tidak sadarkan diri selama tiga hari lamanya.     

"Makanlah, kita akan membahasnya nanti, saat ini kau sangat butuh asupan energi!" ujar Lissa, ia menyodorkan makanan yang ia bawa pada Davine.     

Davine segera menyambut makanan itu, ia tidak punya pilihan lain, perutnya terasa sangat lapar kala itu.     

"Terima kasih sebelumnya, dan maaf jika aku sangat merepotkan mu!" ujar Davine.     

"Namaku Davine!" tambahnya, sebelum akhirnya ia dengan lahapnya menyantap hidangan yang kini berada di tangannya itu.     

"Nama yang bagus," tanggap Lissa, wanita itu segera pergi meninggalkan Davine, ia tahu jika lelaki itu pasti akan merasa sangat tidak nyaman jika harus makan tepat di hadapannya. Terlebih mereka belum mengenal satu sama lain.     

Davine terus melahap makanan yang kini berada di depannya itu, sedang air matanya tanpa sadar mulai mengalir, kini ia telah mengingat sepintas masa lalunya, rasa lapar yang ia rasakan saat ini juga mengingatkan dengan apa yang selalu ia rasakan sewaktu ia masih berada di yayasan yang penuh penderitaan itu dulu. Hingga akhirnya Monna datang dan seakan menariknya dari dalam jurang penuh penderitaan yang selama itu terus mengekangnya.     

"Bagaimana aku bisa melupakan hal itu!" ujar Davine, ia mulai terisak.     

Kini ia sadar jika selama ini mungkin saja ada kepribadian lain di dalam dirinya, semua hal yang ia alami sampai saat ini, kejadian aneh yang ia rasakan bahkan ketika dalam pengejaran Hanna dan rekannya itu, dan semua ingatannya yang kian samar dalam hidupnya. Satu-satunya hal yang dapat menjelaskan semua itu adalah kenyataan jika dirinya memiliki sebuah kepribadian lain di dalam dirinya, yang dalam dunia kedokteran hal itu disebut juga sebagai Dissociative Identity Disorder.     

Walau ia tidak tahu pasti seperti apa DID itu sebenarnya. Yang pasti semua ingatan yang samar itu kini perlahan mulai kembali dapat ia rasakan, mimpi yang dialaminya selama tidak sadarkan diri itu juga pasti adalah ingatan dari masa kecilnya yang selama ini kian menghilang.     

Dan di satu sisi, kini ia semakin merasa ragu dengan dirinya sendiri, apakah rentetan kasus pembunuhan berantai yang selama ini terjadi berhubungan juga dengan dirinya, apakah ia yang melakukan semua hal itu tanpa ia sadari, mengapa pihak kepolisian kini mengejar dirinya, apakah mereka telah mendapatkan bukti jika dirinya adalah sang pembunuh itu. Kini sejuta pertanyaan itu kembali menari-nari di otaknya. Ia harus segera menggali semua ingatannya yang terputus dari waktu ke waktu untuk dapat mengetahui kebenaran dari semua itu.     

Kini tangan Davine kian gemetar, ia kembali teringat dengan sebuah kasus penembakan yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Hilangnya sebuah peluru pada magazine handgun miliknya itu, dan sebuah pesan dari orang misterius yang ia terima pada smartphone miliknya seakan menegaskan jika ialah orang yang melakukan pembunuhan itu.     

Davine yang saat itu kian merasa semakin tertekan dengan pemikirannya sendiri, kini kembali merasakan sakit yang begitu hebat di kepalanya. Ia menanggalkan peralatan makan yang sedang ia genggam saat itu, tangannya mengacak kasar pada rambut panjang ikal miliknya. Davine berteriak keras sebelum akhirnya ia kembali tidak sadarkan diri.     

*****     

Davine kembali tersadar, saat itu ia telah kembali terbaring di atas kasur, masih di sebuah pondok kecil itu, itu kali keduanya ia tersadar di tempat yang sama.     

Lissa yang berada di sisinya hanya menatap Davine dengan penuh tanda tanya.     

"Apakah aku seorang pembunuh?" ujar Davine, kata-kata itu seolah mengambang begitu saja.     

"Apakah aku seorang pembunuh?" kali ini ia mulai terisak, sedang air matanya mengalir tanpa bisa dibendung.     

Lissa masih diam, ia tidak menjawab pertanyaan yang Davine layangkan. Ia membiarkan hal itu berlalu begitu saja, sedang Davine masih terus saja terisak, ia seolah mengutuk dirinya sendiri.     

Suasana hening yang dipecah oleh suara isak yang terdengar dari mulut dan hidung Davine, terus saja berjalan dalam beberapa waktu. Lissa masih terdiam, entah ia tidak mengerti dengan apa yang Davine katakan, atau ia memang terlalu peka dan dapat memahami keadaan mental Davine saat itu.     

Lissa menggenggam lembut tangan Davine, mengusapnya pelan. Wanita itu berusaha memberikan ketenangan untuk Davine yang saat itu semakin merasa kian tertekan.     

"Apa alasanmu mengatakan hal itu?" tanya Lissa lembut.     

"Entahlah saat ini aku hanya merasa tidak dapat mempercayai diriku sendiri," jawab Davine, ia menundukkan kepalanya lemas.     

"Lalu apa kau bisa membuktikan hal itu dengan pasti?" tanya Lissa lagi.     

Davine menggelengkan kepalanya, perkataan Lissa tentu ada benarnya.     

Davine pun mulai mengatakan prihal kejadian janggal yang kerap ia alami, perasaan aneh di mana ada suatu fase ketika sebuah entitas seakan mencoba dan berusaha mengambil alih kesadarannya. Namun saat itu ia masih enggan untuk menceritakan prihal luka tembak yang ia terima.     

"Maksudmu, kau merasa mempunyai sebuah kepribadian lain di dalam dirimu?" tanggap Lissa.     

"Entahlah, namun saat ini hanya hal itu yang begitu masuk akal untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi padaku saat ini," jawab Davine.     

"Asal kau tahu, aku bukan tipe orang yang percaya hal-hal gaib untuk menjelaskan semua ini. Aku lebih memilih memikirkan semua hal secara rasional dan masuk akal," tambah Davine.     

"Dan saat ini hanya hal itulah yang dapat terpikir olehku!" ujarnya lagi.     

"Untuk hal itu aku setuju padamu, namun kau tidak bisa dengan mudah mendiagnosa dirimu sendiri. Tentu saja hal itu cukup masuk akal bahkan bagiku yang mendengarnya," sambut Lissa.     

"Ada baiknya untuk saat ini kau lupakan sejenak hal itu, karena itu hanya akan mempengaruhi dan memperburuk keadaan mental di dalam dirimu saja."     

"Lebih baik kau beristirahat dan berfokus untuk memulihkan kondisimu dengan baik saat ini!" tukas Lissa.     

"Asal kau tahu penyebab kau tidak sadarkan diri dalam beberapa hari ini bukan karena luka yang kau terima, aku rasa itu berhubungan dengan keadaan mental yang kau alami saat ini!" tambah Lissa.     

Untuk kesekian kali perkataan wanita itu ada benarnya, sekali lagi membuat Davine hanya bisa mengangguk dan menuruti saran yang Lissa berikan saat itu.     

Lissa sebagai tuan rumah pun telah memberi izin agar Davine sekiranya dapat tetap berada di tempat itu guna memulihkan dirinya. Entah mengapa wanita itu terasa sangat baik bahkan untuk ukuran orang asing yang baru saja ia temui, atau Lissa hanyalah wanita biasa yang terlalu mudah mempercayai seseorang begitu saja, pikir Davine.     

Tentu tak hanya itu, Davine pun kian bertanya dalam hatinya, apa sebenarnya yang wanita itu lakukan di tengah hutan seperti ini. Disaat orang-orang lebih memilih untuk tinggal di tengah kota dengan segala fasilitas yang telah tersedia, entah mengapa wanita itu malah lebih memilih untuk tinggal di tempat seperti itu dengan segala keterbatasan yang ada.     

Davine kembali merentangkan tubuhnya di atas tempat tidur, saat itu kepalanya masih terasa sedikit berat. Seperti apa yang Lissa katakan, kondisi mentalnya saat ini masih belum benar-benar stabil. Tentu ia masih merasa sedikit syok dan tidak percaya     

dengan apa yang baru-baru ini menimpanya, namun kenyataannya saat ini ia tidak lagi dapat kembali ke kotanya lagi, pihak Kepolisian tentu saja sedang mencarinya dengan segala cara saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.