Another Part Of Me?

Part 2.25



Part 2.25

0Bak mimpi di siang bolong, kini Davine berada dalam sebuah mobil yang bisa dikatakan cukup mewah. Sebentar lagi ia akan meninggalkan yayasan terkutuk itu.     

Terlihat dua lelaki yang sedari tadi mendampingi Monna berada di jok depan mobil itu, satu bertugas sebagai pengemudi, sedang satu lagi terlihat duduk di sebelahnya, sementara Davine dan Monna berada di jok belakang saat itu.     

Beberapa petugas dan juga sang pelatih mengantar mereka sampai gerbang yayasan itu. Tidak banyak yang perlu dikatakan, Davine hanya terdiam dan terlihat sibuk dengan kotak musik usang pemberian Kakek Robert yang kini telah kembali berada di tangannya.     

Sang pelatih untuk terakhir kalinya kembali berbicara pada Monna dari luar jendela mobil dengan mesin yang sudah menyala itu. Sang pelatih tampak berbisik seolah ia tidak ingin ada yang tahu apa yang sedang ia sampaikan. Davine hanya melihatnya dengan enggan, ia sudah muak dengan wajah sang pelatih itu. Di saat-saat terakhir mata mereka sempat bertemu, dengan segera Davine memalingkan pandangannya. Ia benci dengan tatapan sang pelatih yang selalu dapat mengintimidasinya.     

"Bagaimana kau siap?" tanya Monna.     

"Kita akan segera pulang ke rumah," ujarnya lagi pada Davine, wanita itu masih menunggu jawaban dari anak itu.     

"Pulang?" jawab Davine spontan. Terlihat raut wajahnya yang sedikit bingung.     

Apa itu rumah, dan apa itu pulang. Bagi Davine hal semacam itu hanya pernah ia temukan di beberapa film yang pernah ditontonnya bersama Kakek Robert. Ia tidak pernah tahu bagaimana kehangatan sebuah rumah, ia tidak pernah benar-benar mengerti apa arti dari sebuah kata pulang yang sesungguhnya.     

"Ya benar kita akan pulang, kau tidak akan tinggal di tempat ini lagi. Mulai sekarang kau akan tinggal bersamaku," jelas Monna dengan sangat hangat pada Davine.     

"Kita akan pulang!" Davine mengulang kata-kata itu, kini sebuah senyum tercetak jelas di wajahnya. Hal itu mengingatkannya dengan perkataan sang Kakek, jika suatu saat ia pasti akan menemukan tempat untuk pulang. Dan hal itu, apakah kali ini akan benar-benar terwujud. Banyak hal yang selama ini telah ia dengar dari sang kakek, mungkinkah itu bukan sekedar omong kosong belaka. Davine, hatinya benar-benar merekah saat itu. Ia menggenggam kotak musik usang miliknya, sedang tangis bahagia mulai mengalir begitu saja, walau di satu sisi ia juga sangat merindukan sang kakek.     

"Baiklah Nak, kita akan pergi sekarang!" ujar Monna.     

Davine hanya mengangguk, salah satu tangannya berusaha menyapu air mata yang membasahi pipi mungilnya, melihat hal itu Monna segera memeluk Davine, ia mengusap-usap punggung kecil yang penuh beban milik anak itu. Monna, wanita itu sangat peka.     

"Mulai saat ini kau boleh memanggilku 'Ibu'!" ujar Monna sangat lembut.     

******     

Kini mobil itu berjalan perlahan meninggalkan yayasan yang penuh dengan penderitaan itu. Davine menatap lekat gerbang yayasan selagi mobil itu terus melaju.     

Sebuah simbol yang terdapat di atas gerbang yayasan itu cukup menarik perhatiannya, itu simbol yang selalu melekat pada seragam para petugas dan juga pelatih yang bertugas di tempat itu. Sebuah simbol yang melambangkan penderitaan bagi Davine dan seluruh anak yang tergabung di yayasan tersebut.     

Davine terus memandangi seluruh penjuru bangunan yayasan yang ia lalui dari dalam mobil yang kini akan membawanya entah ke mana. Ia sangat mendambakan tempat hangat yang disebut dengan kata rumah itu.     

Beberapa meter berlalu, kini ia sudah berada di penghujung bangunan yayasan itu. Perhatian Davine tertuju pada sebuah jendela pada suatu ruangan yang menghadap langsung ke jalan di mana mobil yang sedang itu tumpangi berlalu. Seorang anak sedang menatap lekat dirinya dari kejauhan.     

Dari balik jendela terlihat seorang anak yang tidak asing lagi bagi Davine, ia adalah anak dengan rambut ikal yang selalu menutupi bagian dahi hingga matanya. Beberapa waktu sebelumnya mereka berada di ruangan yang sama, namun kini jarak mereka terbentang luas, sang anak masih terkurung di yayasan terkutuk itu, sedang Davine, ia saat ini sedang berjalan menuju kebebasannya.     

Anak itu terus saja menatap ke arah mobil yang sedang Davine tumpangi, entah apa yang sedang ia perhatikan, apakah ia merasa kecewa karena saat itu bukan dirinya yang terpilih untuk diadopsi oleh wanita itu, atau ada hal lain yang ia rasakan saat itu. Davine hanya menerka-nerka.     

Mobil itu kini terus menjauh, sedang atensi mereka kini saling tertuju satu sama lain. Di saat-saat terakhir, sang anak yang terlihat sedang menatap Davine dari balik jendela itu dengan sengaja menyibak rambut ikal yang selalu menyamarkan wajahnya itu. Tentu saja hal itu menjadi perhatian bagi Davine, itu kali pertamanya dapat melihat dengan jelas wajah sang anak. Davine dengan refleks segera menutup mulutnya dengan kedua tangan kecil miliknya, ia merinding hebat saat itu. Pandangan yang terasa penuh dengan kebencian jelas terpancar dari mata sang anak, namun bukan itu yang membuat Davine bergetar hebat saat itu, ada hal lain yang lebih mencengangkan dari sang anak.     

"Kau baik-baik saja Nak,? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Monna.     

Sesaat hal itu segera mengalihkan perhatian Davine.     

"Tidak Tante, aku baik-baik saja," jawab Davine.     

"Hey, bukankah saya sudah katakan, jika mulai saat ini kau boleh memanggilku dengan sebutan 'Ibu'! Protes Monna, sembari melemparkan sebuah senyuman yang sangat menghangatkan dari bibirnya.     

"Maafkan aku Bu," jawab Davine, wajahnya sedikit tersipu, itu kali pertamanya memanggil seseorang dengan sebutan itu.     

Monna tersenyum puas, ia segera mengusap lembut rambut ikal milik anak itu. Mendengar kata itu terlontar dari mulut Davine, membuatnya sangat bahagia.     

Davine yang perhatiannya sejenak teralihkan dengan segera kembali melemparkan pandangannya ke arah jendela tempat anak yang sebelumnya berada. Kini tidak ada siapa-siapa lagi di sana, sedang mobil yang ia tumpangi semakin jauh membawanya.     

Masih tertanam jelas di pikiran Davine, sorot mata itu, entah apa, namun ia merasakan sebuah kebencian tertanam jelas di sana. Dan hal yang paling tidak bisa untuk ia lupakan adalah, ketika sang anak menyibak rambut ikal yang selalu menutupi sebagian wajah miliknya. Wajah itu benar-benar terasa tidak asing bagi Davine, dan membuatnya seketika merinding hebat saat itu juga. Tekanan kuat terasa menyentaknya, seolah gravitasi pada saat itu berubah jauh lebih tajam.     

Davine terus menatap pada yayasan yang saat itu sedang ia tinggalkan, semakin jauh ia melaju dengan mobil yang saat itu ditumpanginya, semakin pula terasa tekanan itu semakin melemah.     

Perjalanan itu membawanya pergi, menanggalkan segala penderitaan yang selama ini ia lalui. Silih berganti, pemandangan kota itu kini berlalu lalang di jendela mobil yang sedang ia tumpangi, "Dunia luar, inikah wajahmu," gumam Davine yang selama ini hanya bisa melihatnya dari televisi usang yang dulu pernah ia tonton. Kebahagiaan meluap di hatinya. Anak itu, ia sangat mendambakan kebebasan.     

(Part 2. Alter selesai)     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.