Another Part Of Me?

Part 3.1



Part 3.1

0Davine duduk termenung pada sebuah kursi kayu yang terdapat di depan pondok milik Lissa. Kini Davine tahu jika saat ini ia masih berada di tengah hutan yang mengitari perbatasan kota itu.     

Davine pun tahu jika saat ini ia pasti sudah masuk dalam daftar orang dalam pencarian oleh pihak Kepolisian. Tentu bukan hal baik baginya untuk kembali ke kota itu saat ini.     

Dua hari telah berlalu semenjak ia sadar dari pingsannya. Kini pundaknya terasa begitu berat, banyak beban yang tertanam di sana. Saat ini ia sangat meragukan dirinya sendiri.     

Davine juga telah menceritakan semua kondisi yang ia alami saat ini pada Lissa, bagaimana ia bisa menerima luka tembak di bahunya itu, dan kecurigaan pihak Kepolisian padanya yang mungkin saja adalah pembunuh berantai yang selama ini meneror seisi kota dalam beberapa bulan terakhir. Ia bahkan tidak dapat dengan tegas membantah hal itu, karena saat ini ia juga tidak dapat mempercayai dirinya sendiri, tentu karena ia merasa jika ada suatu kepribadian lain yang seolah bersembunyi di dalam dirinya.     

Sebenarnya hal itu bukan pilihan tepat baginya, menceritakan hal itu pada orang asing tentu akan sangat berisiko, namun di satu sisi ia merasa butuh untuk melepaskan sedikit beban yang ia rasakan saat ini.     

Lissa, bagi Davine wanita itu tentu saja masih sangat misterius. Bagaimana tidak, jika dipikirkan baik-baik, untuk apa seorang wanita dengan umur yang hanya terpaut sekitar tiga tahun dengannya itu memutuskan untuk tinggal sendirian di dalam hutan tanpa seorang pun yang menemaninya. Davine pun sempat menanyakan perihal tersebut padanya, namun Lissa hanya menjawab jika ia lebih senang untuk tinggal sendirian di tengah hutan seperti ini, daripada harus menetap di kota yang penuh dengan hiruk pikuk, bising dan penuh tekanan itu. Sebuah alasan yang cukup masuk akal, namun juga tidak dapat di percaya dengan sepenuhnya.     

Lissa mengatakan jika ia telah menetap di hutan itu sejak beberapa tahun terakhir. Ia hidup hampir seperti orang primitif, tanpa listrik dan teknologi. Kesehariannya pun hanya diisi dengan sedikit berkebun, dan mencari beberapa asupan protein dengan cara memancing, atau memasang jebakan di sekitar hutan itu. Tentu itu bukan hal yang mudah, terlebih bagi seorang wanita sepertinya.     

Lissa bukanya tidak pernah ke kota lagi, untuk beberapa kebutuhan ia terkadang masih harus ke tempat tersebut. Ia juga sering kali membawa beberapa hasil kebunnya terutama yang berupa tanaman herbal untuk ditukarkan dengan sejumlah uang. Bagaimanapun ia masih membutuhkan alat tukar itu untuk membeli beberapa keperluan yang tidak bisa ia dapatkan dari hutan itu.     

Davine menatap layar smartphone miliknya. Saat itu benda tersebut masih menyisakan sedikit daya, namun tidak ada sedikit pun signal di tempat itu. Mungkin hal itu juga yang membuat pihak Kepolisian tidak dapat melacak keberadaannya sampai saat ini, pikir Davine.     

Kini yang tersisa darinya hanya smartphone, dompet, dan beberapa kotak amunisi yang saat itu masih sempat ia masukan ke dalam saku miliknya, sedang tas dan beberapa barang lain yang berada di dalamnya telah ia gunakan untuk mengalihkan perhatian Hanna dan rekannya saat itu. Namun kemungkinan besar handgun yang ia bawa jatuh ketika ia terperosok di curam tempat ia tak sadarkan diri beberapa hari yang lalu. Ia juga tidak menanyakan hal itu pada Lissa, tentu itu bukan hal baik untuk dipertanyakan, pikirnya.     

*****     

Lissa datang dengan beberapa ekor ikan hasil tangkapannya saat itu. Ia terlihat sangat senang karena ikan yang ia dapatkan dari danau kecil di tengah hutan itu lumayan besar.     

"Hey, lihat hasil tangkapanku hari ini!" ujar Lissa, ia memamerkan beberapa ekor ikan hasil tangkapannya pada Davine.     

"Kita beruntung hari ini," tambahnya, wanita itu tersenyum sembari bersenandung kecil.     

"Bagaimana kalau menu kita hari ini adalah ikan bakar?" lanjutnya lagi.     

"Apa aku tidak merepotkanmu?" jawab Davine balik bertanya.     

"Apa aku menanyakan perihal itu padamu?" jawab Lissa kembali melemparkan pertanyaannya.     

"Yang aku tanyakan, apakah kau setuju jika ikan ini kita bakar, itu saja!" lanjut Lissa, ia tak memberikan Davine kesempatan untuk menanyakan hal sebelumnya.     

Mendapati hal itu Davine segera bangkit dari tempat duduknya. Ia tidak bisa hanya diam dan menunggu hidangan itu tersaji di depannya bak seorang raja. Davine dengan segera mengambil inisiatif untuk mengumpulkan beberapa kayu bakar yang berada di sekitar pondok itu. Sedangkan Lissa, ia terlihat sibuk membersihkan ikan hasil tangkapannya.     

Hari sudah sangat sore saat itu, bahkan cahaya mentari telah berubah menjadi kekuningan di ujung fajar, sedikit gumpalan asap menari di atas bara api yang sedang memanggang makan malam mereka saat itu. Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka masing-masing, sampai akhirnya Davine kembali menanyakan sesuatu yang membuatnya kian penasaran.     

"Mengapa kau menolongku?" pertanyaan itu mengambang begitu saja.     

"Maksudku, apa kau tidak berpikir. Bisa saja aku adalah orang jahat," lanjutnya.     

"Bahkan setelah aku menceritakan keadaanku padamu, mengapa kau masih saja menerimaku di sini?" pertanyaan itu terus keluar begitu saja dari mulut Davine.     

Lissa tak langsung dengan serta-merta menjawab seluruh pertanyaan itu, ia masih terdiam, pandangannya menerawang jauh ke langit senja yang kini terlihat sangat merona itu.     

"Mata itu ...." ujar Lissa terputus.     

Davine masih menunggu, ia memberikan waktu agar Lissa dapat menyelesaikan perkataannya itu.     

Lissa menggeser sedikit tubuhnya, membuatnya kini berhadapan tepat dengan Davine dalam jarak yang cukup dekat.     

"Perhatikan mata ini, bukankah kita memiliki mata yang sama?" tukas Lissa, kini mata mereka saling menatap satu sama lain.     

Davine tidak dapat memungkiri hal itu, karena sedari awal ia pun juga merasa demikian.     

"Ya kau benar, lalu apa hanya itu alasannya? Tanya Davine yang masih belum puas dengan jawaban itu.     

"Tentu tidak. Kau tahu, saat aku menatap mata itu, saat itu juga aku teringat pada seseorang yang sangat penting bagiku. Kau dan aku, kita memiliki mata yang sama dengannya!" terang Lissa.     

"Lagi pula aku tidak merasa jika kau adalah orang yang berbahaya, dan apa yang kau ceritakan tentangmu, bahkan kau sendiri belum bisa memastikannya saat ini,"     

"Pihak Kepolisian yang mengejarmu, bisa saja mereka telah salah menduga orang!" tambah Lissa.     

"Aku tidak pernah memaksamu untuk tetap berada di sini. Namun kau tahu sendiri, mungkin saja saat ini kau masih sedang dalam pencarian mereka!" Lissa kini kembali menaruh fokusnya pada hidangan yang sedang mereka siapkan saat itu.     

Davine menarik nafas panjang. Tentu apa yang dikatakan Lissa saat ini adalah benar, tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan tempat itu, untuk sementara waktu ia akan berdiam di tempat itu, dan pastinya selagi Lissa masih mengizinkannya. Terlebih ia juga harus memulihkan luka yang ia terima di bahunya itu.     

Setelah hidangan itu kini telah siap, mereka segera masuk bersama ke dalam pondok milik Lissa. Hari telah berubah gelap saat itu, penerangan pun hanya bersumber dari beberapa lilin yang mereka nyalakan. Di era modern seperti ini, Davine, ia masih tidak habis pikir bagaimana Lissa dapat bertahan dan memilih untuk hidup seperti itu. Tentu ada sebuah alasan kuat baginya untuk memilih kehidupan itu.     

Sesaat Davine menatap tiap sudut pondok tempat mereka saat itu, hanya ada sebuah kamar dan satu ruangan yang terhubung dengan dapur. Pondok itu terbuat dari kayu, beberapa sarang laba-laba terlihat di sudut pondok tersebut. Namun di balik semua kesederhanaan itu, Davine dapat merasakan suasana tenang yang sangat membuatnya damai. Seperti yang Lissa katakan, mungkin itu sebabnya wanita itu masih bertahan dan memilih hidup di pondok kecil itu.     

******     

Davine berjalan menelusuri jalan setapak yang penuh dengan dedaunan kering yang bertebaran di sana. Ia merasa cukup familier dengan suasana itu, jalan itu seakan pernah ia lalui, bahkan ranting-ranting yang menghalangi jalan itu pun terasa tidak begitu asing baginya, hingga seorang gadis kecil datang sembari menunjuk ke arah sebuah pohon. Sesat Davine melayangkan pandangannya ke pohon tersebut, dan saat ia kembali mengalihkan pandangannya pada gadis tersebut, Davine dibuat terkejut setengah mati. Wajah gadis itu seakan meleleh, bagaikan karet yang terkena suhu yang sangat panas. Gadis itu berteriak sejadi-jadinya hingga akhirnya Davine tersadar dan mendapati dirinya terbangun dengan peluh yang hampir membanjiri di keseluruhan tubuhnya.     

Davine meringkuk di sudut kamar dalam pondok itu, mimpi itu bukan tidak pernah ia alami, hanya saja kali ini terasa begitu menyeramkan, entah apa maksud dari mimpi itu, ada apa dengan pohon dan gadis kecil yang selalu terlihat berusaha memberitahukan sesuatu padanya itu. Jika itu salah satu ingatan miliknya yang hilang, mungkin saja ada hal penting di sana, namun Davine masih belum bisa mengingat di mana letak pohon itu berada, dan siapa gadis di dalam mimpinya itu.     

Kini sebuah perasaan sesak terasa di dadanya, bukan karena minimnya sirkulasi udara di tempat itu, namun hal itu lebih terasa di hatinya. Ada sebuah kesedihan yang kerap kali muncul ketika ia memimpikan gadis kecil itu, entah apa, tapi perasaan itu benar-benar seakan meluap begitu saja. Sialnya ia tidak dapat berbuat apa-apa dengan hal itu. Davine, ia layaknya sebuah mesin yang rusak, namun ia tidak tahu apa yang harus di benarkan. Bagian mana yang harus di ganti, semua ingatannya yang semakin lama kian terasa menghilang, meninggalkan beribu pertanyaan tentang dirinya sendiri.     

Setelah menyadari jika ternyata selama ini ia mungkin saja mempunyai sebuah kepribadian lain dalam dirinya, kini ia tahu potongan-potongan ingatan yang hilang itu adalah saat-saat di mana sang kepribadian lainnya di dalam dirinya itu mengambil alih. Lalu apa yang ia lakukan saat pengambilalihan kesadaran itu, apa yang sang alter itu perbuat. Dan bagaimana caranya untuk dapat mengambil ingatan demi ingatan itu kembali. Apakah ingatan itu akan kembali datang dengan sendirinya, seperti halnya ingatan masa kecilnya yang datang ketika ia tak sadarkan diri dalam beberapa waktu yang lalu. Andai saja ada cara yang pasti untuk dapat mengambil ingatan itu kembali guna mengetahui kebenaran dari semua itu, pikirnya.     

Davine, kini ia hanya ingin mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Ia sadar jika banyak hal yang telah terlewatkan dari dirinya selama ini, dan apakah ia adalah sang pembunuh itu sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.