Another Part Of Me?

Part 3.4



Part 3.4

0Tangan Davine kian gemetar, ia mendapati kotak musik usang miliknya yang selama ini telah hilang entah ke mana. Davine bahkan tidak tahu sejak kapan benda itu mulai menghilang dari hidupnya. Benda yang sangat penting baginya itu, satu-satunya hal yang dapat mengingatkannya pada Kakek Robert yang telah tiada. Entah bagaimana kotak musik dan ingatan itu seakan menghilang begitu saja dari memorinya.     

Davine bahkan baru dapat kembali mengingat hal itu beberapa waktu yang lalu. Ingatan masa kecil yang sangat menyakitkan itu kembali muncul ketika ia tidak sadarkan diri setelah insiden baku tembak yang ia alami.     

Davine berusaha kembali turun dari pohon itu, namun sialnya ia tak seberuntung ketika ia naik ke atas sana. Salah satu anak tangga lapuk yang menjadi pijaknya patah begitu saja, yang tentu saja membuatnya terjun bebas dari atas pohon tersebut.     

Bruuuukkk ...     

Seketika Davine terjatuh dari atas pohon itu tanpa sempat mengambil sikap sedikit pun, untungnya pohon itu tidak begitu tinggi, membuatnya lolos dari cedera apa pun di tubuhnya.     

Davine membiarkan tubuhnya terlentang di atas tanah, sedang pandangannya terasa mulai memudar. Ia sempat mengalihkan pandangannya pada kotak musik yang saat itu masih berada di genggaman tangan kanannya, sebelum akhirnya ia mulai merasakan kehilangan pandangan sepenuhnya.     

******     

Davine menatap kosong ke arah luar jendela kamarnya yang berada di lantai dua sebuah rumah yang cukup megah. Terlihat seorang anak gadis sedang bermain-main di antara taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga yang bertebaran cantik. Gadis itu berlari ke sana-kemari, terkadang terlihat menari kecil berputar-putar dengan lincahnya. Davine yang menatap anak itu dari kejauhan sesekali tersenyum kecil melihat tingkah anak tersebut.     

Tegah beberapa bulan setelah Davine meninggalkan yayasan tempat ia tinggal sebelumnya, kini ia telah resmi menjadi salah satu anggota dalam keluarga Harris. Keluarga itu sangat kaya raya, ia bahkan sangat dimanjakan semenjak kedatangannya di rumah itu. Tidak ada lagi memar di tubuh kecilnya itu, ia bahkan tampak bersih dan begitu terawat semenjak tinggal di rumah tersebut.     

Monna sangat menyayangi Davine, ia bahkan memperlakukan Davine seperti anaknya sendiri, ia tidak pernah sedikit pun membedakannya satu sama lain dengan anak kandungnya sendiri, yang saat itu berumur terpaut sekitar tiga tahun di atas umur Davine.     

Dia adalah Malvine, seorang kakak baik hati dan sangat perhatian pada Davine. Tidak seperti anak kecil pada umumnya, Malvine tidak pernah terlihat cemburu atau tersaingi oleh kedatangan Davine di rumah itu, ia bahkan turut senang karena mendapatkan seorang adik yang telah lama ia idam-idamkan selama ini.     

Sedangkan ayah mereka, pria itu hanya sesekali terlihat berbicara dengan Davine, ia tipikal orang yang sangat sibuk dengan bisnis yang sedang ia tekuni. Pria itu bahkan hampir terlihat tidak memiliki waktu luang untuk keluarga kecilnya itu.     

Namun bukan berarti ia bukan pria yang ramah, hanya berbicara sekali saja dengannya maka Davine telah dapat merasakan kehangatan dari pria yang saat itu berumur sekitar 30 tahun ke atas itu.     

Keseharian yang Davine lalui di keluarga itu sungguh sangat berbeda jauh dari kehidupan Davine sebelumnya. Ia kini mulai mengerti apa itu yang dimaksud dengan keluarga, dan apa pula itu yang dimaksud dengan rumah. Semua hal yang sangat tidak terbayangkan olehnya untuk ia miliki, kini tiba-tiba saja menjadi kenyataan. Kebahagiaan begitu merasuk di dalam hati kecilnya saat itu.     

Hari berganti, sedang Davine hanya masih menatap gadis kecil yang kerap kali bermain di luar pekarangan rumahnya itu. Ia tidak punya keberanian untuk sekedar menyapanya saja, ia benar-benar tidak tahu cara berteman sama sekali.     

Sampai pada suatu saat, Davine mendapati gadis itu menangis kesakitan. Kaki gadis itu terkilir karena kecerobohannya sendiri. Davine yang melihat hal itu dengan sigap berlari keluar dari kamarnya yang berada di lantai 2 rumah itu, ia melesat dengan sangat cepat menuju taman pekarangan rumahnya tempat gadis itu berada.     

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Davine, ia menatap cemas pada gadis kecil itu.     

"Kakiku, rasanya sakit sekali," keluh sang gadis. Ia sedikit merintih kesakitan.     

Davine yang saat itu tidak tahu harus berbuat apa, segera kembali ke dalam rumahnya, ia memanggil Monna dan segera meminta agar ibu angkatnya itu membantu gadis kecil yang sedang merintih kesakitan di luar rumah mereka.     

Mendengar penjelasan dari Davine, Monna dengan segera menuju ke luar rumah bersama Davine, ia dengan sigap mengendong tubuh mungil gadis itu, dan dengan segera membawanya masuk ke dalam rumah mereka.     

Sesampainya di dalam Monna dengan segera membaringkan gadis kecil itu di atas sofa ruang tamu mereka.     

"Apa kau baik-baik saja Nak,?" tanya Monna cemas.     

"Tante, kakiku rasanya sakit sekali!" rengek gadis kecil itu.     

"Tenanglah, biar Tante periksa sebentar ya!" ujar Monna lembut, ia sesekali mengelus rambut gadis kecil itu.     

Monna memerintahkan Davine untuk tetap menemani gadis itu di sana, sedang ia dengan segera menuju ke arah dapur untuk mengambil beberapa es batu dari kulkas yang terletak di sana, wanita itu merasa jika kaki anak itu harus segera di kompres dengan es, hal itu bertujuan untuk menghambat pembengkakkannya.     

"Bagaimana, apa sekarang lebih baik?" tanya Monna.     

Gadis itu hanya mengangguk kecil, sedang tangannya sesekali berusaha mengusap air mata yang mengalir di pipi mungil miliknya itu.     

"Apa Tante boleh tahu siapa namamu?" tanya Monna lagi.     

"Nama saya Annie," jawab gadis kecil itu masih dengan sedikit terisak.     

"Baiklah Annie, apa Tante boleh tahu di mana tempat tinggalmu?" tanya Monna lagi.     

Annie segera menunjuk sebuah rumah yang berada tidak jauh dari rumah mereka, sebuah rumah minimalis yang terlihat sangat nyaman. Mereka bisa melihat rumah itu dari dalam jendela ruang tamu rumah mereka.     

"Baiklah, Tante akan coba ke sana untuk memberitahukan keadaanmu pada kedua orang tuamu. Untuk saat ini kau beristirahat saja dulu di rumah ini!" ujar Monna.     

"Dan Davine, Ibu tugaskan kau untuk menjaganya selagi Ibu pergi, apa kau mengerti!" tambah Monna, sebelum akhirnya ia bergegas menuju ke kediaman Annie.     

Itu kali pertama bagi Davine bertemu langsung dengan Annie, ia agak canggung dengan keadaan itu. Namun Annie, anak itu sangat ramah dan mudah bergaul, membuat percakapan antar mereka mengalir begitu saja.     

Setelah kejadian itu, mereka makin lama kian akrab, begitu pula keluarga mereka, semenjak kedatangan Monna untuk memberitahukan keadaan Annie pada tetangganya waktu itu, hubungan di antara mereka juga mulai terjalin satu sama lain.     

Selama ini keluarga Annie tidak pernah bertegur sapa dengan mereka, walaupun nyatanya mereka sudah bertetangga dalam beberapa tahun terakhir. Keluarga Annie yang melihat betapa elitenya keluarga Harris merasa sungkan bahkan hanya untuk sekedar bertegur sapa saja, karena jelas status sosial mereka terpaut jauh. Namun Monna dengan tegas membantah hal itu, baginya semua sama saja, tidak perlu ada kesenjangan sosial di antara mereka. Tentu sebagai tetangga Monna akan dengan senang hati menyambut mereka. Semenjak saat itu hubungan antar tetangga mereka kini terjalin dengan sangat baik pula.     

Semenjak saat itu telah menjadi pemandangan sehari-hari jika Annie dengan rutin berkunjung dan bermain di kediaman keluarga Harris. Membuat Davine yang dulunya sangat penyendiri kini dengan perlahan mulai berubah. Gadis kecil itu adalah teman pertamanya, persahabatan di antara mereka perlahan namun pasti mulai terjalin, tak hanya itu Malvine yang berperan sebagai kakak angkatnya juga sangat membantu Davine dalam proses perubahannya, anak itu pun sesekali ikut bermain bersama mereka.     

Kehangatan keluarga itu, dan kehadiran Annie dalam hidupnya, membuat Davine dengan perlahan melupakan masa kelamnya selama ini. Ingatan tentangan apa yang ia alami selama di yayasan tempat tinggalnya dulu perlahan mulai menghilang. Hanya dalam beberapa bulan saja, ia bahkan telah melupakan segalanya yang berhubungan dengan kehidupannya yang dulu. Kini Davine merasa ia layaknya anak normal lainnya, menjalani kehidupan dengan bahagia di tengah-tengah kehangatan keluarga dan persahabatan kecil yang ia miliki saat itu.     

******     

Davine yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat bingung mendapati Annie sudah tidak ada di kamarnya, sesaat yang lalu gadis kecil itu masih terlihat sibuk bermain dengan beberapa mainan kepunyaan Davine di kamar tersebut. Bahkan beberapa mainan itu masih terlihat berserakan di beberapa bagian kamar itu. Tidak mau mengambil pusing Davine segera kembali merapikan mainan tersebut dan menaruhnya pada sebuah kotak yang memang menjadi tempatnya.     

Selesai dengan hal itu Davine segera bergegas menyusul Annie, mungkin saja gadis itu saat ini sedang bermain di taman pekarangan rumahnya karena merasa sedikit bosan berada di kamar itu.     

Davine kecil melesat ke arah taman itu, namun sial, ia tidak menemukan keberadaan Annie di sana. Namun samar Davine mendengar sebuah dentingan musik yang sangat terasa familier di telinganya, ia terus mencoba mencari sumber suara itu, perlahan namun pasti suara itu semakin jelas terdengar olehnya. Sampai di depan gerbang rumahnya, Davine mendapati Annie sedang berdiri dengan kotak musik usang milik Davine yang berada di tangannya. Davine yang melihat hal itu tiba-tiba saja kehilangan akal sehatnya, amarahnya kian memuncak saat itu juga. Tidak ada satu pun orang yang boleh menyentuh benda berharga miliknya itu.     

Davine berlari dan segera mencoba merampas kotak musik miliknya dari tangan Annie, tentu Annie yang terkejut dengan sikap Davine saat itu seketika merasa panik dan tanpa sengaja menjatuhkan kotak musik usang itu. Dentingan lagu Twinkie Twinkie Little Star yang saat itu masih mengalun tiba-tiba terhenti begitu saja. Davine yang melihat hal itu segera memungutnya kembali, ia mencoba memutar tuas kecil yang berada di salah satu sisi kotak musik kecil itu, namun percuma, kini kotak musik itu tidak dapat berfungsi lagi.     

Davine yang kalap segera berteriak dan memaki Annie, sedang Annie sangat di buat ketakutan melihat Davine dengan amarah yang kini berada di puncaknya. Annie tanpa sadar terus berjalan mundur hingga kini posisinya tengah berada di mulut jalan, ia sangat takut melihat Davine yang saat itu terasa begitu berbeda dari biasanya, hingga membuatnya tidak lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sebuah mobil melaju dari arah jalan tersebut, sedang posisi Annie kini berada tepat di tengah jalan itu.     

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt ...     

Sebuah klakson panjang terdengar, sang pengendara mobil itu sudah tidak dapat menghentikan laju kendaraannya lagi.     

Davine yang menyadari situasi saat itu dengan segera berusaha menarik tubuh Annie, namun ia terlambat.     

Bruuuuuuuaaaakkk ...     

Tabrakan itu tidak dapat terhindarkan lagi, tubuh kecil Annie bahkan terhempas beberapa meter jauhnya.     

Davine yang menyaksikan hal itu tidak dapat berkata apa-apa, tubuhnya mematung, sedang tangan kecilnya gemetar hebat, ia bahkan tanpa sengaja menjatuhkan kembali kotak musik yang baru saja ia pungut. Perasaan bersalah kini kian bergejolak di hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.