Another Part Of Me?

Part 3.3



Part 3.3

0Matahari terlihat sudah cukup tinggi, itu bahkan terlihat hampir di atas kepala Davine kala itu, sedang Lissa, wanita itu belum juga kunjung pulang.     

Untuk mengusir rasa bosan dan sejuta pemikiran yang masih saja terus saja membebaninya. Davine mencoba untuk menghabiskan sedikit waktu untuk sekedar berkeliling dan sedikit menelusuri hutan yang kini menjadi tempatnya tinggal saat itu, karena pada dasarnya tidak banyak yang bisa ia lakukan di sana.     

Pepohonan di hutan itu sangat rindang, beberapa bahkan terlihat hampir menyatu dari satu ranting ke ranting lainnya. Udara juga terasa sangat asri di tempat itu, sedang cahaya matahari begitu hangat merasuk dari celah-celah ranting yang saling tumpang tindih di hutan itu.     

Davine menarik nafasnya panjang, berusaha menelan semua ketenangan itu di dalam batinnya, tekanan demi tekanan yang selalu menghantui berusaha ia lupakan barang sejenak. Ia hanya lelaki malang dengan sejuta beban yang menggantung di pundaknya.     

Rasa ingin mempercayai diri sendiri terasa begitu kuat, namun semua hal dan kemungkinan yang terpikirkan olehnya saat ini benar-benar jauh di luar ekspektasinya. Selama ini ia berusaha sekuat tenaga untuk memecahkan kasus pembunuhan berantai yang sedang terjadi di kotanya, tapi nyatanya, kini ia bahkan mulai meragukan dan mencurigai dirinya sendiri. Sungguh, rasanya akan terasa sangat bodoh jika selama ini yang ia cari adalah dirinya sendiri, pikir Davine.     

Davine terus berjalan tanpa tahu arah yang ia tuju, tidak ada jalan setapak di hutan itu, ia hanya menandai beberapa pohon yang telah ia lewati dengan goresan dari sebuah pisau kecil yang didapatkannya dari pondok milik Lissa, hal itu ia lakukan untuk sekedar berjaga-jaga kalau saja ia tersesat dan tidak dapat menemukan jalan untuk kembali ke pondok tersebut.     

Cukup jauh berjalan, Davine kini dikagetkan oleh sebuah gerakan pada sebuah semak yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia segera mengeluarkan handgun yang sebelumnya telah ia temukan kembali beberapa di pondok milik Lissa itu, Davine segera bersiap sembari mengacungkan moncong handgun tersebut menuju arah suara itu, ia khawatir kalau saja itu adalah hewan buas yang bisa saja segera menerkamnya tanpa disangka-sangka.     

Davine terus berjalan ke arah sumber suara, langkah demi langkah sembari terus mengarahkan handgun miliknya pada sesuatu yang berada di balik semak itu, sedang jantungnya kini berdegup kencang.     

Semakin lama gerakan pada semak itu semakin menjadi-jadi, membuat Davine menghentikan langkah kecilnya. Ia kini berada di jarak yang cukup strategis, baik itu untuk menembak, atau untuk menghindar dari sebuah terkaman kalau saja benar yang berada di balik semak itu adalah hewan buas yang cukup berbahaya.     

Tiba-tiba saja seekor hewan dengan gerakan yang sangat cepat keluar dari semak itu, seketika membuat Davine yang saat itu berdiri di posisinya cukup dibuat kaget, hingga tanpa sadar membuatnya memundurkan langkahnya. Namum sialnya hal itu malah membuat keseimbangannya menjadi goyah.     

Posisinya sangat tidak baik saat itu, membuat Davine memaki dengan cukup kasar. Untungnya hewan yang keluar dari semak itu bukanlah hewan buas, itu adalah seekor kancil yang baru saja berhasil terlepas pada sebuah jerat yang dengan sengaja dipasang di sana.     

Tentu itu adalah perangkap yang Lissa buat, karena siapa lagi yang akan melakukan hal tersebut di hutan ini selain wanita itu, pikir Davine.     

Kancil itu dengan segera berusaha melarikan diri dari tempat itu, kakinya terlihat terluka sebab jerat yang sempat tersangkut di sana. Hewan itu bahkan seolah mengabaikan keberadaan Davine saat itu.     

Davine dengan segera memungut handgun miliknya yang sempat terjatuh. Ia dengan segera mencoba menangkap kancil itu, ia tidak akan membiarkan hewan itu lolos begitu saja, ia ingin kancil itu berakhir dalam menu makan malamnya bersama Lissa hari itu.     

Kancil itu segera berlari meninggalkan Davine, hewan itu masih cukup lincah walau dengan kondisi salah satu kakinya yang terluka. Tidak ingin kehilangan jejak, Davine segera berusaha menyusul hewan itu. Sialnya jalan yang diambil oleh sang kancil sangatlah sukar untuk dilalui dengan ukuran tubuh seorang manusia.     

Kini Davine telah kehilangan pandangannya pada hewan itu, untungnya hewan itu meninggalkan jejak darah sebab luka di salah satu kakinya. Davine terus berjalan mencoba kembali menemukan hewan itu, mengikuti jejak darah yang tercecer pada dedaunan kering yang berguguran hampir menyeluruh menyelimuti dataran hutan itu.     

Jejak darah itu terus membawa Davine masuk lebih dalam ke hutan itu, samar ia masih dapat mendengar suara gerak langkah dari sang kancil yang rasanya kini tidak terpaut jauh darinya.     

Beberapa ranting coba Davine singkirkan, jalan itu benar-benar sukar untuk ia lalui, namun beberapa meter di depannya kini terlihat hewan yang sedari tadi tengah berusaha ia kejar. Hewan itu kini terlihat berjalan dengan terseok-seok, tampaknya efek dari luka dan banyaknya darah yang tercecer dari hewan itu kini mulai terasa.     

Davine kembali mengeluarkan handgun miliknya, jarak tembaknya cukup baik kali ini. Ia ingin melumpuhkan hewan itu dengan satu tembakan fatal pada bagian vitalnya. Davine menarik nafas panjang, sebelum akhirnya ia menarik pelatuk dan melontarkan sebuah peluru yang mengenai tepat pada titik sasaran yang ingin ia tuju.     

Doooorr ...     

Satu tembakan itu dengan segera dapat melumpuhkan sang kancil, hewan itu terjatuh dan benar-benar tidak berdaya lagi. Davine sedikit bersorak akan keberhasilannya saat itu.     

Tidak menunggu lagi, Davine segera menerobos ranting-ranting yang tumpang tindih menghalangi jalannya. Ia punya tangkapan besar hari ini, tentu Lissa akan sangat gembira mendapati hal itu, pikirnya.     

Di luar dugaan hewan itu cukup berat untuk diangkat, untungnya itu masih dalam jangkauan. Davine masih bisa mengangkut hewan itu dengan sedikit usaha lebih. Untuk seukuran kancil, hewan itu cukup besar dan berbobot. Tentu daging yang dihasilkan juga akan sangat berlimpah, Davine tersenyum kecil, untuk kali pertama semenjak ia tinggal bersama Lissa di hutan itu kini ia merasa sedikit berguna, ia tidak bisa hanya terus berpangku tangan pada wanita itu.     

Setelah mengikat kedua pasang kaki sang kancil dengan beberapa akar serabut yang terdapat di hutan itu, Davine kini membopong hewan itu di atas pundaknya, sedang darah hewan itu mengalir ke beberapa bagian yang bersentuhan langsung dengannya. Alhasil bahu dan tangan Davine pun tidak luput dari darah segar yang keluar dari hewan tersebut.     

Davine memandangi sekitarnya, ia benar-benar tidak tahu di mana posisinya saat ini, untungnya ia masih bisa kembali mengikuti jejak darah yang sebelumnya ditinggalkan oleh hewan itu. Tiba-tiba angin berembus sangat kencang, menerbangkan sejumlah dedaunan kering yang berada di sekitarnya, membuat Davine dengan refleks mengalihkan pandangannya mengikuti arah angin yang sedang berembus itu.     

Entah mengapa embusan angin itu membawa pandangan Davine ke arah sebuah pohon yang berada tidak jauh dari tempatnya. Pohon itu terasa sangat tidak asing, bahkan begitu familier di matanya.     

Sesaat keadaan begitu hening terasa di hutan itu, kicau burung yang saling bersahutan kini tidak lagi terdengar, menyisakan suara detak jantung Davine yang semakin lama semakin terdengar sangat kencang. Davine, ia menjatuhkan hewan tangkapannya itu dengan begitu saja ke atas tanah, dan dengan segera berjalan mendekati pohon kian menarik perhatiannya itu.     

Kini tangan Davine yang sedikit berlumuran darah mencoba menggapai pohon itu, namun tiba-tiba saja sebuah gambaran melintas begitu saja di dalam kepalanya. Dalam gambaran itu Davine terlihat sedang berada di sebuah tebing yang berbatasan langsung dengan bibir pantai, sedang di depannya terlihat Annie yang sedang tersenyum, namun keadaan wanita itu sangat buruk, terlihat beberapa luka tusuk dengan noda darah tercetak jelas di perutnya. Davine berusaha berteriak, sialnya suaranya seolah tidak dapat terdengar sama sekali. Davine dengan segera berusaha berlari menuju ke arah wanita itu, namun ketika jarak mereka cukup dekat, Annie, wanita itu dengan segera menghempaskan tubuhnya pada tebing yang berada tepat di belakangnya. Davine berteriak histeris melihat wanita itu jatuh dan menghilang tersapu ombak di bibir pantai.     

Davine berusaha mengatur nafasnya yang saat itu sangat tidak beraturan. Ia terjatuh lemah setelah mendapat penglihatan itu, hatinya terasa begitu perih, sedang tangannya berusaha meremas kasar dadanya sendiri.     

"Annie ...." Davine, lelaki itu merintih pilu     

Air mata mengalir deras begitu saja, entah apa yang terjadi, penglihatan itu benar-benar terasa menyayat hatinya.     

Davine menengadahkan kepalanya, ia menatap lekat pohon yang berada tepat di depannya saat itu. Kini ia tahu mengapa ia merasa sangat familier dengan pohon tersebut. Pohon itu adalah pohon yang selalu muncul dalam mimpinya, sedang gadis kecil yang terlihat dalam mimpi itu, tidak lain adalah sosok Annie sewaktu kecil. Entah bagaimana ia bisa melupakan hal itu, namun kali ini ia yakin jika gadis itu pasti adalah Annie.     

Davine berusaha kembali bangkit, walau lututnya masih bergetar hebat saat itu. Ia dengan sekuat tenaga berusaha berjalan ke arah lain dari pohon itu, benar saja di sana terdapat sebuah tangga yang dibuat menyatu pada batang pohon tersebut. Tangga itu hanya dibuat seadanya, dengan potongan-potongan ranting berukuran sedang, yang dipaku langsung pada bagian pohon tersebut.     

Tanpa pikir panjang Davine segera memanjat pohon itu dengan tangga yang terbuat dari ranting yang kini terlihat sudah sangat lapuk itu. Beberapa kali salah satu dari ranting itu patah ketika Davine berusaha menginjaknya, untung saja beberapa ranting lainya masih cukup kokoh untuk menopang bobot dari tubuh Davine.     

Sesampai di atas, Davine mendapati sebuah rumah pohon kecil yang juga dibangun seadanya. Rumah pohon itu tidak terlihat dari bawah karena kondisinya yang sudah hampir tidak berbentuk lagi, hanya menyisakan lantai kayu dan beberapa dinding yang masih menempel pada ranting yang menjadi penopang rumah pohon tersebut.     

Di dalam rumah pohon itu juga terdapat beberapa barang yang sudah sangat usang, dan yang menjadi perhatian adalah sebuah kotak kecil yang berada di sudut rumah pohon itu. Davine berusaha memasuki rumah pohon itu, namun hanya sebagian dari badannya yang dapat masuk ke dalam rumah pohon kecil itu. Untungnya ia dapat menggapai benda itu di saat-saat terakhir, walau ia hampir saja terjatuh karena kondisi lantai rumah pohon yang ia jadikan objek untuk menopang tubuhnya itu ambruk saat ia mencoba meraih benda tersebut.     

Betapa terkejutnya Davine mendapati benda yang kini berada di tangannya saat itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.