Another Part Of Me?

Part 3.9



Part 3.9

0Siska masih merasa seakan tidak percaya, hatinya berdegup sangat kencang saat itu.     

"Aku pikir kau tak akan datang!" ujarnya lirih, entah mengapa wanita itu cukup emosional kali ini.     

"Aku mencarimu dan kau tak terlihat di mana pun," lanjutnya, air matanya kembali mengalir begitu saja.     

Davine dengan segera duduk di sebelahnya dan segera merangkul wanita itu.     

"Maafkan aku, aku ada di sini sekarang!" jawab Davin, ia terus mengelus pundak Siska, mencoba menenangkannya.     

"Selama ini kau selalu menghindar dariku, aku bahkan tidak mengerti apa salahku?" bukannya berhenti, hal itu malah membuat tangisannya semakin menjadi.     

Mereka terdiam sejenak masih dalam posisi itu, saling merangkul satu sama lain dengan begitu erat, mencoba melepaskan semua rasa yang rindu yang bersarang di hati mereka masing-masing.     

Sinar rembulan kian redup membias di antara ombak yang sesekali menghempas dermaga itu, sedang dua insan masih terpaku satu sama lain di temani nyanyian syahdu yang tercipta dalam balutan angin yang berembus, membawa ingatan masa lalu yang kian menari di antara dinginnya malam itu.     

"Apa kau baik-baik saja, Davine aku sangat mengkhawatirkanmu. Kau bahkan tidak pernah terlihat di kampus dalam beberapa waktu belakangan!" tanya Siska.     

"Aku tahu pasti ada sesuatu yang sedang kau hadapi saat ini!" tembak Siska.     

Davine hanya terdiam, ia hanya tak mau Siska terlibat masuk ke dalam situasi sulit yang sedang ia hadapi saat itu.     

"Jika kau diam itu berarti apa yang aku katakan adalah benar!" desak Siska.     

"Maafkan aku ...," jawab Davine, bibirnya terasa sangat kaku.     

"Maafkan aku ...." kini giliran air matanya yang mengalir tanpa bisa ia bendung, air mata itu mengalir pelan begitu saja di antara pipinya.     

"Maafkan aku karena meninggalkanmu, namun ...," tambah Davine, ia benar-benar tidak dapat melanjutkan kata-katanya.     

Siska segera menyapu air mata yang mengalir di pipi lelaki itu dengan jari-jemarinya. Untuk pertama kalinya ia melihat Davine dalam keadaan seperti itu.     

"Sudah, kau tak perlu melanjutkannya!" potong Siska.     

"Aku mengerti Davine, aku telah mengerti jadi kau tak perlu memaksakan dirimu," ujar Siska lagi.     

Mendengar hal itu Davine lantas kembali menangis begitu saja, ia tak dapat melukiskan betapa baik hati wanita yang telah ia sakiti itu.     

"Kau tahu, dalam beberapa kondisi, terkadang kita harus rela terlihat buruk demi melakukan hal yang baik!" tambah Siska.     

"Aku percaya kau memiliki alasanmu tersendiri saat memutuskan untuk meninggalkanku," Siska mencoba tersenyum, walau itu juga terasa berat sekali untuk ia lakukan, namun wanita itu berusaha tegar.     

"Aku hanya tidak baik bagimu, aku bisa saja membahayakanmu jika kita tetap bersama. Aku tidak dapat memberitahukan alasannya, namun ...." kata-kata Davine kembali terpenggal.     

"Namun apa?" tanya Siska, ia menatap lekat mata Davine.     

"Apa karena sisi lain darimu itu?" tanya Siska lagi.     

Davine yang mendengar pertanyaan itu seketika merasa jantungnya seperti tersentak, ia tidak tahu apa arti dari pertanyaan mantan kekasihnya saat itu. Namun apakah Siska mengetahui perihal itu? Bagaimana bisa, pikirnya.     

"Maksudmu?" tanya Davine masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.     

"Ya, kau punya sisi lain di dalam dirimu. Mungkin ini terdengar konyol, namun aku rasa aku tidak salah menduganya," jelas Siska.     

Davine masih saja mematung, ia masih tidak percaya dengan apa yang dinyatakan oleh Siska saat itu.     

"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" tanya Davine yang masih kebingungan.     

"Dulu aku adalah kekasihmu, tentu saja aku tahu sifat dan juga kepribadianmu!" jawab Siska.     

Siska pun mulai menjelaskan bagaimana ia bisa mengetahui hal itu. Yang pertama adalah tingkah Davine yang kerap berubah begitu saja, mungkin jika dilihat sekilas maka orang lain tidak akan menyadarinya, namun karena mereka sudah terbiasa bersama maka Siska secara perlahan dapat memahami hal itu. Seperti halnya Davine yang seharusnya cenderung melakukan aktivitasnya dengan tangan kanannya, namun di beberapa waktu entah mengapa Siska kerap mendapati Davine lebih memilih memakai tangan kirinya.     

Bukan hanya itu. Bagi Siska Davine memang tipikal lelaki yang tidak banyak bicara pada orang-orang sekitarnya, namun itu tidak berlaku pada Siska, karena ia adalah mantan kekasihnya. Walaupun tidak cukup terbuka, namun Davine masih kerap menceritakan hal-hal kecil apa pun saat mereka bersama. Di beberapa momen ketika pertikaian kecil terjadi di antara mereka, maka Davine kerap lebih memilih untuk mengalah dan dengan caranya sendiri dapat mengatasi hal itu. Berbeda dengan kepribadiannya yang lain, saat kepribadian itu muncul maka Davine akan menjadi lebih terlihat pendiam dan enggan berucap saat mereka bersama, namun jelas terlihat jika kepribadian itu lebih jauh lebih keras kepala dari kepribadian Davine yang sebenarnya.     

Memang tidak banyak hal yang dapat terlihat dengan kasat mata, namun sekali lagi Siska dapat menyadari hal itu karena mereka sudah terbiasa bersama.     

"Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku, namun sekarang aku yakin jika memang ada kepribadian lain di dalam diriku, dan aku pikir dia bisa saja sangat berbahaya," lurus Davine.     

"Awalnya aku pikir semua rangkaian pembunuhan yang terjadi bisa saja bersangkutan denganku, itulah mengapa aku memilih meninggalkanmu karena aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu seperti halnya yang telah terjadi Annie," tambahnya.     

"Entah mengapa aku juga merasa banyak sekali ingatan yang seakan menghilang di kepalaku. Banyak hal yang tak dapat aku jelaskan padamu, namun saat ini ada beberapa hal yang membuatku berpikir jika sebenarnya aku sendirilah pelaku pembunuhan dari Annie," tukas Davine.     

"Maksudku aku tidak tahu apa saja yang telah aku lakukan saat kepribadian lain di dalam diriku itu mengambil alih!"     

"Bisa saja aku adalah orang jahat, dan tak menutup kemungkinan suatu saat aku juga akan mencelakaimu!" tukasnya lagi.     

"Itu tidak benar!" jawab Siska tegas.     

"Kau tidak akan pernah mencoba menyakiti orang-orang yang kau sayangi!" tambahnya lagi.     

"Aku berani bertaruh akan hal itu, meskipun itu adalah kepribadian yang lain di dalam dirimu, aku sangat yakin ia juga tidak akan melukai seseorang yang kau sayangi," tukas Siska, ia sangat yakin akan hal itu, terlihat jelas dari sorot matanya.     

"Percayalah, dan tanamkan ini pada dirimu, ingat saat kau meragukannya hal itu, maka aku pastikan kau tidak pernah sekalipun melukaiku sedikit pun sampai saat ini," tekan Siska.     

"Davine kau bukan orang jahat, percayalah dengan apa yang kukatakan saat ini!" ujarnya lagi.     

"Kalaupun kau berbuat sesuatu yang salah, ingatlah ini. Jangan pernah menyerah untuk menjadi orang baik." Siska meraih tangan Davine dan menggenggamnya penuh rasa.     

Davine menatap lekat mata wanita itu, kata-kata yang keluar darinya terasa begitu menenangkan hati, hal itu sepintas juga mengingatkannya pada Kakek Robert yang selalu menanamkan kebaikan di dalam dirinya sewaktu kecil dulu.     

Davine membalas genggaman wanita itu, tanpa sadar menarik tubuh Siska hingga terasa sangat dekat dan segera mendaratkan bibirnya pada bibir wanita itu.     

Siska yang menerima perlakuan itu membalas dengan lembut setiap kecupan yang terasa lembut di bibirnya. Mata mereka terpejam, sedang bibir mereka saling terpaut dalam waktu yang cukup lama.     

Mereka seakan melupakan semua hal yang ada, sinar redup sang rembulan menambah nuansa di tengah kehangatan hati yang mereka rasakan masing-masing.     

"Aku mencintaimu!" ujar Davine.     

"Aku tahu," balas Siska.     

Davine segera merapatkan keningnya pada kening wanita itu, sementara mata mereka kembali terpejam. Kedua insan itu menikmati setiap detik yang berlalu, rasa rindu yang terpendam seakan meluap begitu saja malam itu.     

"Bukankah kau harus segera pergi!" ujar Siska memecah suasana itu.     

"Aku rasa kau tidak punya banyak waktu untuk tetap berada di sini denganku." kali ini Siska mengelus lembut rambut Davine.     

Davine mengangguk pelan, ia memang tidak punya banyak waktu saat ini.     

"Pergilah, aku akan baik-baik saja!" bisik Siska.     

Davine menarik keningnya yang masih menempel pada kening wanita itu, ia meraih lembut tangan halus yang sedang mengusap lembut rambutnya. Ia tidak punya waktu lagi, untuk terakhir kalinya ia menatap setiap sudut bagian dari wajah wanita yang sangat ia sayangi itu dengan sangat lekat, berharap ia tak akan pernah melupakan wajah itu dalam ingatannya.     

Davine berlalu dan menghilang dalam gelapnya malam, sinar rembulan tidak dapat lagi menerangi langkahnya saat itu. Ia berjalan semakin jauh meninggalkan Siska yang masih duduk termenung di dermaga itu. Ingin rasanya ia tinggal sebentar lagi untuk menikmati setiap waktu yang sangat berarti baginya itu, namun perkataan Siska sangat benar, ia sudah tidak punya waktu lagi, entah mengapa wanita itu seakan tahu dengan situasi seperti apa yang tengah ia hadapi.     

Saat itu Davine memanglah sedikit ceroboh, ia ingin sekali bertemu dengan Siska di hari ulang tahun wanita itu. Hingga ia dengan penuh risiko mengambil keputusan untuk kembali ke kotanya, yang tentu saja akan sangat tidak aman bagi dirinya sendiri, mengingat saat ini pihak Kepolisian pasti masih terus berusaha mencarinya.     

Belum lagi kemungkinan besar posisinya bisa saja dilacak oleh pihak Kepolisian karena ia mau tidak mau harus kembali mengaktifkan smartphone miliknya untuk menghubungi Siska saat itu.     

Davine menatap kembali smartphone miliknya, daya smartphone itu sudah tinggal sedikit lagi. Bagaimana tidak, saat itu ia hanya sempat mengisi daya smartphone itu sedikit saja saat ia sampai di kota itu karena sebelumnya benda itu telah mati total karena kehabisan daya selama ia berada di pondok milik Lissa yang tentu saja tidak memiliki aliran listrik sama sekali.     

Davine berjalan dengan sedikit tergesa, saat ini ia telah kembali menonaktifkan smartphone miliknya itu. Ia harus segera kembali ke dalam hutan saat ini, jika tidak bisa saja ia tertangkap dan berakhir di kantor polisi saat itu.     

Pertemuannya dengan Siska cukup banyak menghadirkan suatu yang sangat mengejutkan, selama ini ia pikir Siska tidak mengetahui hal-hal yang sedang terjadi padanya, namun di luar dugaan wanita itu bahkan seakan tahu banyak dengan apa yang sedang terjadi padanya. Tentu hal itu cukup membuat Davine kian bertanya-tanya. Namun yang paling membuatnya tidak habis pikir mengapa Siska juga seolah mengetahui jika saat ini ia tidak memiliki waktu banyak untuk terus berada di kota itu. Apa Siska juga tahu jika saat ini dirinya sedang dalam pencarian pihak Kepolisian, pikir Davine.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.