Another Part Of Me?

Part 3.15



Part 3.15

0Davine masih terus menghujamkan hantaman demi hantaman menggunakan gagang handgun yang berada di tangannya. Sialnya hewan itu sangat gigih, ia bahkan tak mengendurkan gigitannya sekalipun.     

Davine yang saat itu kondisinya sedang tidak baik semakin dibuat kewalahan oleh serangan yang hewan itu berikan, sedang darah yang mengalir dari lengannya terus saja bertambah.     

Para hewan lainnya kini mulai bereaksi, kumpulan hewan buas itu kini mulai mengeram seolah ingin segera menyerang Davine.     

Davine yang menyadari situasinya sudah sangat buruk dengan sekuat tenaga terus saja kembali menghujamkan hantamannya. Tampaknya hantaman itu kini mulai memberikan efek pada hewan buas yang tengah menggigit lengannya itu, sesaat Davine mulai merasakan adanya penurunan intensitas dari kekuatan gigitan yang saat itu masih bersarang di lengan kirinya itu.     

Tidak mensia-siakan kesempatan, Davine segera melepas handgun yang sedari tadi ia genggam itu, kini dengan tangan kananya yang bebas tanpa adanya benda yang ia genggam lagi, Davine segera meraih moncong hewan itu, ia mencoba mencari celah di antara jejeran taring tajam yang menusuk masuk ke kulitnya itu. Berhasil mendapatkan sebuah celah di antara taring-taring itu, Davine dengan segera menyentak dan menarik moncong itu ke arah atas dengan sekuat tenaganya.     

Usaha gigih itu akhirnya membuahkan hasil, gigitan hewan itu kini terlepas dari lengannya. Kini kedua tangan Davine telah terbebas, ia dengan segera kembali meraih moncong hewan tersebut dengan kedua tangannya, tak memberikan hewan itu kesempatan untuk kembali menyerang, dan secara paksa kembali memasukan kedua tangannya itu dengan sangat kasar di antara jejeran taring tajam yang saat itu masih berlumuran darahnya sendiri. Tangan kanan Davine meraih moncong itu dari atas, sedang tangan kirinya memegang erat moncong bagian bawah hewan tersebut.     

Kreeeeaaaakkkk ...     

Davine dengan kasarnya menarik moncong itu secara bersamaan dari arah atas dan bawah dengan sangat kuat, membuat rahang hewan tersebut patah seketika, yang di mana akhirnya menyebabkan hewan itu terkapar tak berdaya.     

Davine yang telah berhasil mengalahkan pemimpin dari kawanan hewan itu dengan segera melakukan sebuah gerakan guna menggertak kawanan hewan tersebut. Untungnya hal itu bekerja dengan sangat baik, kini hewan buas yang awalnya mengancam dirinya itu seakan kehilangan taringnya begitu saja. Para kawanan yang telah kehilangan pemimpinya itu dengan segera memilih mundur dan meninggalkan Davine yang saat itu masih berdiri gagah dengan gesture yang sangat mengancam. Davine, mata lelaki itu kini berubah tajam, bahkan jauh lebih tajam dari mata para kumpulan hewan buas itu.     

Setelah para kawanan hewan buas itu pergi, Davine segera tersungkur begitu saja, ia telah banyak kehilangan darahnya saat itu, kondisinya kini benar-benar sangat buruk.     

Rasa kantuk kini mulai menyerangnya, udara dingin terasa begitu menusuk hingga ke tulang. Davine, lelaki itu sudah tak dapat bertahan lagi, matanya mulai redup, perlahan demi perlahan ia mulai kehilangan penglihatannya saat itu. Ia mulai menyerah, rasanya ingin sekali tertidur untuk sejenak.     

******     

Davine menggenggam erat tangan Annie, ia merasakan jari-jemari lembut wanita itu bertaut di sela-sela jemarinya. Sebuah kehangatan begitu terasa, senyuman manis yang terlukis indah di wajah Annie seolah membuat Davine tidak mampu memalingkan pandangannya dari wanita itu.     

Mereka terus berjalan menelusuri hutan yang masih terasa sangat rindang. Annie terlihat begitu bersemangat, ia bahkan terus saja menarik tangan Davine yang sedang menggenggam erat tangannya saat itu. Wanita itu tampak tidak sabar untuk segera mencapai tempat yang mereka tuju.     

Davine menatap lekat punggung Annie, wanita itu kini melepaskan genggaman tangan mereka. Kini ia berjalan sedikit di depan Davine, ia terus saja berjalan maju, walau sesekali wanita itu juga terlihat menoleh dan tersenyum ke arah Davine.     

Namun semakin lama entah mengapa jarak di antara mereka semakin terasa jauh. Davine mencoba mempercepat langkahnya, ia tak ingin tertinggal oleh Annie yang saat itu sedang memunggunginya itu. Namun semakin cepat ia melangkahkan kakinya, entah mengapa semakin jauh juga jarak yang terbentang di antara mereka. Davine mencoba memanggil wanita itu, namun suaranya tak dapat terdengar, pita suaranya seakan tidak dapat bekerja dengan baik saat itu. Davine terus berusaha memanggil Annie, namun usahanya itu masih saja sia-sia, ia seperti orang bisu yang tak dapat berbicara, sedang Annie, wanita itu kini semakin jauh meninggalkan Davine yang berada jauh di belakangnya.     

Davine mengulurkan tangannya, kini ia merasa seperti tercekik sebab tak ada oksigen yang dapat dia hirup, ia benar-benar seolah berada di ruangan hampa udara. Perlahan ia merasa mulai kehilangan pijakan kakinya, sedang dedaunan yang awalnya berserakan di dasar hutan itu kini seolah mengambang bersamaan dengan dirinya yang mulai terangkat naik. Davine mencoba meraih apa pun yang dapat ia pegang, namun gaya tarik yang menariknya ke atas terasa sangat kuat. Davine menatap Annie yang saat itu masih terus berjalan, sedang Davine, ia seolah di tarik oleh sesuatu yang entah apa itu, menariknya terbang menjauh hingga meninggalkan Annie yang semakin lama semakin tak tergapai olehnya, Davine berteriak kencang ia berusaha berontak namun tiba-tiba keadaan sekitarnya kini menjadi sangat gelap.     

Davine merentangkan tangannya ke depan, ia berusaha menggapai apa pun yang dapat ia gapai dalam kegelapan pekat yang tampak tak berujung itu, sampai akhirnya sebuah cahaya putih yang kian menyilaukan muncul tepat di depan kedua matanya.     

*****     

Davine mengernyitkan alisnya, silau mentari yang merasuk di antara celah pepohonan menerpa tepat di wajahnya.     

Malam telah berlalu, saat itu mentari sudah hampir berada di puncaknya. Davine memegang erat kepalanya, ia terbangun masih dalam posisi sebagaimana sebelum ia pingsan di malam itu, kini ia dapat melihat seperti apa rupa hewan buas yang menyerangnya semalam, bisa dipastikan olehnya jika itu adalah seekor serigala yang cukup besar.     

Davine segera mencoba mencari di mana keberadaan handgun miliknya, sejauh ini benda itu benar-benar sangat membantunya.     

Setelah kembali mendapatkan handgun miliknya yang saat itu terjatuh tidak jauh dari tempatnya, kini Davine memutuskan untuk segera kembali mencari keberadaan pondok milik Lissa.     

Davine menerawang jauh ke setiap sudut hutan itu, ia benar-benar tidak tahu arah mana yang harus ia tuju saat itu. Hanya ada dua opsi pilihan saat itu, yang pertama adalah dengan cara kembali memasuki kota, walau saat itu ia telah cukup jauh masuk ke dalam hutan itu, namun ia yakin jika ia masih dapat mengingat rute yang telah ia ambil semalam. Jika ia berhasil kembali memasuki kota, maka ia juga dapat dengan mudah untuk kembali mencari rute yang sebelumnya telah ia lalui saat pertama kali memutuskan untuk kembali memasuki kota itu, ia telah memberi tanda pada rute tersebut hingga membuatnya dapat dengan mudah untuk kembali menemukan pondok milik Lissa. Namun yang menjadi masalah adalah kondisinya saat ini pastilah akan memancing perhatian warga sekitar. Sangat aneh rasanya jika melihat seorang lelaki dengan luka dan beberapa bercak darah yang menempel di beberapa bagian bajunya itu berkeliaran di sekitar kota.     

Mempertimbangkan hal itu akhirnya Davine pun lebih memilih opsi lainya, yaitu kembali berjalan masuk ke dalam hutan itu, berharap sebuah keberuntungan dapat menuntunnya untuk dapat kembali menemukan pondok milik Lissa.     

Setelah hampir 2 jam Davine berjalan, lelaki itu akhirnya melihat sedikit kepulan asap yang bersumber pada suatu titik, tidak berpikir panjang lagi, Davine segera mencoba menuju arah titik dari kepulan asap tersebut, ia sangat berharap jika kepulan asap itu bersumber dari pondok milik Lissa. Kalaupun itu bukan bersumber dari pondok milik Lissa, setidaknya pasti ada seseorang yang berada di sana, pikirnya.     

Semakin ia berjalan kini keadaan sekitar di hutan itu mulai tampak tidak begitu asing. Benar saja, kini terlihat dari kejauhan sebuah pondok yang telah ia cari dengan susah payah itu.     

Davine segera mempercepat langkah kakinya, ia benar-benar butuh untuk segera mengistirahatkan tubuhnya yang terasa sangat lelah itu, belum lagi rasa lapar yang kini mulai ia rasakan.     

"Astaga ..., mengapa kau selalu kembali dengan kondisi berantakan seperti ini?" tanya Lissa, wanita itu tentu saja dibuat terkejut dengan penampilan Davine yang di beberapa bagian bajunya dipenuhi bercak darah itu.     

Davine yang menerima pertanyaan itu tidak dapat menjawabnya, ia tidak tahu harus menceritakan apa yang telah terjadi padanya dari mana.     

Lissa yang masih menunggu jawaban itu dengan kesal segera menarik salah satu lengan milik Davine, ia menarik lengan kananya yang saat itu tidak terluka, dan dengan segera membawa lelaki itu untuk mendapatkan sedikit perawatan di dalam pondoknya.     

Lissa segera memerintahkan Davine untuk menanggalkan baju dan hoodie yang saat itu tengah lelaki itu kenakan, sementara ia segera mengambil air guna membasuh luka yang terdapat di lengan kiri Davine saat itu.     

Setelah membersihkan luka di lengan kiri Davine, ia segera memeriksa bagian-bagian lain dari tubuh lelaki itu, ia mencoba memastikan jika tidak ada luka lain yang bersarang di tubuhnya.     

Lissa segera mengambil sebuah tas yang berisikan beberapa obat-obatan dan sedikit peralatan kedokteran miliknya, melihat Lissa yang memiliki hal seperti itu, tentu saja membuat Davine sedikit berpikir tentang siapa Lissa sebenarnya, apa sebenarnya profesi wanita itu sebelum akhirnya ia memutuskan untuk tinggal seorang diri di hutan itu.     

Lissa segera memberikan antibiotik pada luka gigitan yang berada di lengan kiri Davine, wanita itu tampak memperhatikan luka tersebut dengan sangat teliti.     

"Ini luka dari gigitan hewan buas," tebaknya.     

"Luka ini cukup dalam, tampaknya kau perlu diberikan anti rabies untuk berjaga-jaga!" ujarnya lagi.     

Dengan sigap Lissa segera menyiapkan peralatan yang ia butuhkan, saat itu Davine mendapat dua suntikan sekaligus, yang berupa vaksin dan serum sebagai anti rabies.     

Melihat cara kerja Lissa yang bisa dibilang cukup profesional, semakin membuat Davine kian bertanya-tanya akan hal itu. Jika mengingat kembali, saat pertama kali ia ditemukan oleh Lissa, wanita itu juga berhasil mengeluarkan peluru yang saat itu tengah bersarang di bahunya. Tentu untuk orang awam yang tidak mengerti dengan dunia kedokteran tak akan bisa melakukan hal itu dengan mudah, terlebih hasil kerjanya saat itu bisa dikatakan cukup rapi dan terampil.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.