Another Part Of Me?

Part 3.37



Part 3.37

0Lelaki itu berusaha untuk kembali berdiri dan segera memberikan perlawanan, ia tidak bisa hanya tinggal diam dan menerima semua yang Davine lalukan padanya begitu saja.     

Buuuuukkkk ...     

Sebuah tinju mendarat tepat di wajah Davine, namun lelaki itu tampak tak bergeming sedikit pun.     

Buuuuukkk ...     

Sekali lagi lelaki itu mendaratkan tinjunya tepat di wajah Davine, ia telah mengerahkan seluruh tenaganya saat itu. Namun sekali lagi, Davine, lelaki itu masih saja tak bergeming. Itu bagaikan memukul sebuah tembok yang sangat keras, pikir lelaki yang mencoba memberikan serangan pada Davine saat itu.     

Masih belum menyerah lelaki itu mulai kembali memasang ancang-ancang untuk segera mendaratkan satu pukulannya lagi terhadap Davine, namun kali ini Davine segera bereaksi dan menangkap lengan lelaki itu. Lelaki itu coba memberontak, apa daya cengkeraman dari Davine terasa sangat kuat, ia bahkan merasakan sakit di pergelangan tangannya sebab cengkeraman yang Davine berikan saat itu.     

Lelaki itu merinding hebat, ia tahu jika Davine bukanlah lelaki sembarangan, terlihat jelas dari sorot matanya. Davine, lelaki itu bagaikan hewan buas yang sedang berusaha menerkam mangsanya saat itu.     

"Si ... siapa kau? A ... apa maumu?" ujar lelaki itu, suaranya bahkan bergetar hebat, ia merasakan tekanan luar biasa dari diri Davine.     

Tak menjawab hal itu, Davine segera melayangkan tinju pertamanya pada lelaki itu, seketika membuat hidung lelaki itu kini mulai meneteskan sejumlah darah segar.     

Sang lelaki telah berusaha berontak, ia terus mencoba melepaskan dirinya dari cengkeraman Davine saat itu.     

"Lepaskan aku berengsek! Siapa kau sebenarnya, dan apa maumu?" teriak lelaki itu, ia benar-benar telah merasa terdesak sebab perlakuan yang Davine berikan.     

Sekali lagi Davine tampak mengabaikan perkataan lelaki itu, ia hanya melemparkan senyum tipis di bibirnya.     

Baaaakkkk ... Buuuukkk ... Baakk ... Buukk...     

Davine tanpa rasa ampun terus saja melayangkan tinju demi tinjunya yang bersarang tepat di wajah lelaki itu. Davine sangat menikmati hal itu, entah mengapa rasanya sangat sulit baginya untuk berhenti dari apa yang tengah ia lakukan itu.     

Ha ... ha ... ha ... ha ...     

Davine, lelaki itu bahkan tertawa girang melihat wajah lelaki yang sedari tadi tengah ia beri bogem mentahnya itu kini penuh dengan darah. Tak mampu menerima semua hal itu, tubuh sang lelaki itu seketika mulai lemas dan tak berdaya. Davine yang menyadari hal itu segera menghentikan bogem mentahnya itu. Ia segera meraih tubuh lelaki itu sebelum ia jatuh tak sadarkan diri. Davine melayangkan pandangannya pada sekitar daerah itu, ia beruntung tak ada satu orang pun yang melihat tingkah gilanya kala itu.     

Davine segera membopong lelaki yang saat itu telah kehilangan kesadarannya itu, ia terlalu menikmati hal yang tengah ia lakukan, hingga membuatnya lupa dengan tujuan awal yang ingin ia cari tahu.     

Tak jauh dari tempatnya, Davine melihat sebuah rumah terbengkalai yang berada tepat di sisi jalan di mana ia sedang berada saat itu. Tak banyak berpikir, Davine segera membawa lelaki yang telah tak sadarkan diri itu untuk menuju rumah terbengkalai tersebut. Ia masih punya urusan yang harus ia selesaikan dengan lelaki itu.     

Davine merebahkan lelaki itu pada suatu ruangan yang sudah sangat tak terawat yang terdapat di rumah kosong itu, ia mau tidak mau masih harus menunggu hingga lelaki itu sadar dari pingsannya. Merasa lelah menunggu, Davine segera menyiramkan sejumlah air yang berada di botol minum miliknya tepat pada wajah lelaki itu, yang mana hal itu dengan segera berhasil menyadarkan lelaki yang tengah pingsan itu seketika.     

Lelaki yang baru saja sadar dari pingsannya itu tampak sedikit linglung, ia menatap kosong pada tempat di mana ia berada saat itu, tampaknya ia masih belum benar-benar sadar.     

"Aku di mana saat ini?" pertanyaan lelaki itu mengambang begitu saja.     

Sesaat ketika ia mulai mendapat kesadarannya kembali, lelaki itu langsung tersentak dan berusaha menjauh dari Davine yang saat itu tengah berada tepat di depan lelaki itu.     

"Siapa kau, kumohon jangan dekati aku!" mohon lelaki itu, jelas sekali kini ia telah sangat trauma dengan sosok yang saat itu tengah berada tepat di depannya.     

"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu. Kau hanya perlu menjawab sedikit pertanyaan yang akan aku berikan!" jawab Davine, lelaki itu berbicara seolah ia tak pernah melakukan hal apa pun pada lelaki itu. Ia bahkan tampak sangat tenang saat itu.     

Lelaki yang saat itu masih sangat merasa ketakutan akan sosok Davine itu hanya bisa menganggukkan kepalanya. Jelas terlihat jika lelaki itu tidak ingin terlibat dengan Davine lebih jauh lagi.     

"Bagus. Aku suka lelaki pengertian sepertimu," ujar Davine. Ia kini semakin mendekatkan wajahnya pada wajah lelaki itu. Membuat mata mereka saling bertemu satu sama lain.     

Lelaki itu segera menundukkan kepalanya, sedang badannya kembali bergetar hebat. Ia benar-benar merasa takut dengan sosok Davine, terlebih jika harus menatap mata yang terlihat begitu jahat dan sangat mengintimidasi itu.     

"Baiklah, jawab ini dengan jujur, jika tidak kau akan tahu akibatnya!" ancam Davine.     

Lelaki itu kembali mengangguk, ia hanya bisa pasrah saat itu.     

"Apa hubunganmu dengan Annie?" tanya Davine, dengan nada yang sangat tegas.     

"A ... aku tidak ada hubungan apa pun dengannya!" jawab lelaki itu dengan sedikit terbata-bata.     

Plaaaaakkkk ...     

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi lelaki itu.     

"Aku ulangi. Apa hubunganmu dengan Annie?" tanya Davine lagi.     

"Aku tidak ada hubungan apa pun dengan wanita itu ... kumohon percayalah!" jawab lelaki itu lagi. Rasa perih dari tamparan yang Davine berikan saat itu membuat salah satu matanya tanpa sadar mengeluarkan air mata.     

"Omong kosong!" bentak Davine.     

"Beberapa saat lalu aku melihatmu sedang bersama Annie. Aku tanyakan ini sekali lagi padamu. Apa hubunganmu dengan wanita itu!" desak Davine.     

Lelaki itu tampak merintih, ia benar-benar tak mampu menahan semua siksaan baik itu dari segi fisik maupun mental yang tengah Davine berikan padanya.     

"Aku tidak punya hubungan yang spesial dengannya, aku memang menyukai wanita itu, tapi ...." lelaki itu menghentikan ucapannya.     

Davine yang mulai muak kembali mendaratkan tamparannya pada pipi lelaki itu.     

"Apa aku menyuruhmu untuk berhenti?" ujar Davine yang mulai tak mampu mengendalikan dirinya itu.     

"Aku bertanya apa hubunganmu dengannya?" Davine menjambak rambut lelaki itu, ia benar-benar butuh jawaban yang pasti dari lelaki itu.     

"Dia menolakku!" jawab lelaki itu, ia tampak memalingkan wajahnya.     

"Beberapa saat yang lalu aku menyatakan perasaan cintaku padanya, tapi wanita sialan itu menolak perasaanku mentah-mentah!" teriak lelaki itu, kini mentalnya tampak sangat kacau saat itu.Ia takut, namun di satu sisi ia juga masih merasa kesal karena Annie yang baru saja menolaknya.     

Davine yang mendengar hal itu cukup dibuat terkejut. Namun di sisi lain ia juga sedikit merasa jauh lebih tenang setelah mendengar pengakuan dari lelaki itu.     

Davine yang selama ini tidak tahu akan urusan asmara sahabatnya itu, kini kian menjadi semakin merasa penasaran akan hal itu. Tentu ia tidak ingin ada seorang pun selain dirinya yang bisa memiliki Annie, namun di satu sisi ia juga sangat penasaran apakah sahabatnya itu telah memiliki kekasih atau tidak, karena selama ini mereka memang tidak pernah sekalipun membahas perihal asmara antara satu sama lain.     

"Apa alasannya menolakmu?" tanya Davine yang semakin menjadi penasaran dengan hal itu.     

"Apa wanita itu telah memiliki seorang kekasih?" tanyanya lagi.     

"Entahlah. Ia tak mengatakan alasannya dengan benar, namun sepengetahuanku wanita itu tidak pernah terlihat dekat dengan lelaki mana pun, ia bahkan cenderung selalu menghindar dari para lelaki, bahkan saat aku mendekatinya," jelas lelaki itu.     

Davine berusaha mencerna apa yang saat ini telah terjadi. Jika memang Annie tidak memiliki kekasih, lantas siapa yang melakukan kekerasan fisik pada wanita itu. Saat ini hal itu masih menjadi tanda tanya besar bagi Davine.     

"Apa ada salah satu teman wanita itu yang kerap membullyingnya?" kini Davine mengubah arah pembicaraan itu. Menurut Davine, jika Annie memang tidak memiliki kekasih, maka dugaan jika wanita itu menerima kekerasan fisik oleh kekasih yang dimilikinya kini tak dapat menjadi salah satu opsi lagi, karena awalnya Davine memang sempat berpikir jika hal itu mungkin saja yang menjadi penyebab Annie mulai menjauhinya, namun kini hal itu juga telah terbantahkan. Maka opsi selanjutnya adalah adanya kemungkinan jika ada salah satu dari teman sekolahnya yang mungkin saja membullying wanita itu.     

"Aku rasa tidak, ia terlihat baik-baik saja, sangat bodoh jika ada seseorang yang merasa tidak suka dan lantas membullyingnya, mengingat Annie adalah wanita yang sangat baik!" tukas lelaki itu. Ia sesekali masih berusaha menyeka air mata yang mengalir sebab tamparan yang diberikan oleh Davine saat itu.     

Merasa tidak menemukan apa pun kini Davine berniat untuk mengakhiri perbuatannya itu, setidaknya ia kini sedikit tahu tentang Annie berkat penjelasan dari lelaki yang saat itu tengah tampak mengenaskan sebab perlakuannya itu.     

Di saat terakhir, Davine sempat mengancam lelaki itu, ia berkata jika saja lelaki itu membocorkan hal yang telah ia lakukan terhadapnya pada seseorang, terutama pada Annie, maka ia tak akan segan-segan memberikan hal yang jauh lebih menyakitkan dari apa yang telah lelaki itu rasakan saat ini. Davine juga meminta agar lelaki itu bersedia menjadi mata-mata baginya, guna mengawasi pergerakan Annie selama wanita itu berada di sekolahnya.     

Lelaki yang sudah sangat takut oleh sosok Davine itu, tentu saja menyanggupi apa yang telah Davine perintahkan, baginya lebih baik untuk menuruti kemauan lelaki gila itu daripada harus kembali merasakan kengerian yang telah ia alami saat itu.     

Davine tersenyum puas dengan apa yang lelaki itu tunjukan, setidaknya ia kini dapat sedikit lebih leluasa untuk mengawasi keadaan Annie dengan adanya seorang mata-mata yang kini ia miliki. Walau nyatanya hal itu ia dapatkan setelah ia menyiksa dan memaksa lelaki tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.