Another Part Of Me?

Part 3.39



Part 3.39

0Davine terjatuh untuk yang ke sekian kalinya, namun kali ini ia tidak bangkit lagi. Lelaki itu menelentangkan tubuhnya, sedang pandangannya menerawang jauh menembus celah-celah dedaunan yang seolah menjadi atap bagi hutan itu.     

Davine meremas kasar dadanya. Entah mengapa terasa sakit di sana. Ia mulai menetaskan air mata, lelaki itu tak sekuat kelihatannya.     

******     

Saat itu Davine dan seluruh anggota keluarga kecilnya tengah berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu yang sangat penting. Mengingat bisnis keluarga mereka yang bisa dibilang cukup berkembang dengan sangat pesat, saat itu Edward berencana untuk melebarkan sayap guna meraih keuntungan yang lebih. Melihat progres baik dari bisnis yang ia tekuni saat itu, kini lelaki itu bermaksud untuk membuat cabang perusahaan yang ia kelola pada suatu kota yang menurutnya cukup kompeten.     

Saat ini Edward memang telah memiliki sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pemasaran alat berat di kota itu. Perusahaan itu kian hari kian berkembang, Edward yang memang sangat telaten dalam menjalankan bisnisnya itu bisa dikatakan cukup berhasil di bidangnya.     

Beberapa bulan terakhir Edward memang telah melakukan survei pada sebuah kota yang dirasanya cukup memiliki peluang besar untuk memperbesar jangkauan dari perusahaan yang ia miliki saat ini. Setelah mendapat hasil yang memuaskan dari hasil survei yang ia lakukan, kini lelaki itu telah meneguhkan hatinya untuk membangun sebuah cabang perusahaan yang nantinya akan ia coba pimpin secara langsung. Dengan kata lain, keluarga itu harus secara mau tidak mau untuk segera mengambil keputusan untuk pindah dari kota mereka saat ini, guna mempermudah proyek besar yang sedang Edward jalankan itu.     

Tahap pembangunan kantor cabang yang berada di luar kota itu telah mencapai sekitar 70% dalam pembangunannya, akan sangat merepotkan jika Edward harus pulang pergi dari kotanya ke kota itu guna memantau secara langsung proses pengerjaan kantor cabang miliknya itu.     

"Aku rasa kita harus segera pindah dari kota ini, aku juga telah membeli sebuah rumah yang siap pakai untuk tempat tinggal kita di sana!" ujar Edward. Ia menatap Monna dengan sangat serius, tentu ia harus mendapat persetujuan dari istrinya itu.     

"Tidak bisakah kita menunda hal itu, akan tidak baik jika kita harus pindah saat ini, mengingat Davine yang masih berada di tahun kedua di masa SMA-nya!" tukas Monna.     

Davine yang juga ikut dalam perbincangan itu hanya diam, pikirannya sedang melayang entah ke mana saat itu. Sementara Edward dan Monna masih membahas hal itu dengan sangat serius.     

Saat itu yang menjadi prioritas Monna adalah, proses pembelajaran Davine, ia tidak ingin Davine terganggu dengan keputusan yang akan mereka ambil nantinya, sedangkan Malvine, kakak angkat dari Davine itu saat ini memang telah meninggalkan rumah itu untuk melanjutkan pendidikan jenjang kuliahnya di luar negeri.     

Sebagai orang tua asuh, Monna sangat memperhatikan anak angkatnya itu, wanita itu juga khawatir jika nantinya Davine akan kesusahan dalam beradaptasi di lingkungan barunya, mengingat sampai saat ini pun Davine tampak masih kesulitan dalam hal bergaul, terbukti dari Davine yang saat ini terlihat masih tidak memiliki teman sedikit pun. Teman-teman Davine hanya berkutat di sebatas teman sekolahnya saja. Davine pun bahkan tidak pernah terlihat begitu dekat dengan mereka, entah mengapa anak itu lebih terlihat suka menyendiri, pikir Monna.     

Edward yang mendengar pernyataan Monna juga tampak setuju dengan pemikiran istrinya itu, bagaimana pun mereka juga tidak bisa lepas tangan atas kehidupan anak angkatnya itu saat ini, karena bagaimanapun juga mereka turut bertanggung jawab dalam tumbuh kembang anak angkatnya tersebut.     

"Tak mengapa jika kita harus pindah dari kota ini!" sela Davine dalam pembicaraan mereka.     

"Kalian tak perlu memikirkan tentangku terlalu dalam, aku baik-baik saja sampai saat ini, dan aku rasa tidak ada salahnya jika aku harus pindah sekolah di tahun keduaku seperti ini!" tukas Davine, ia tentu bukanlah anak yang tidak tahu diri dan mau merepotkan kedua orang tua angkatnya itu.     

Monna menatap lekat anak angkatnya itu, ia melihat sebuah kekosongan yang berada di mata anak tersebut, entah hal apa yang sedang terjadi pada anak angkatnya itu, namun Monna sangat tahu perubahan mood yang ditunjukan oleh Davine dalam beberapa waktu belakangan ini.     

"Kau yakin akan baik-baik saja?" tanya Monna, memastikan hal itu lagi. Ia meraih lembut tangan anak angkatnya itu.     

Davine hanya mengangguk, ia tersenyum dan mencoba meyakinkan Ibu angkatnya itu.     

Edward hanya bisa terdiam saat itu, sebagai seorang ayah ia memang kurang memberikan perhatian pada kedua anaknya, ia selalu saja disibukkan dengan bisnis yang sedang ia jalani, membuatnya tidak memiliki banyak waktu luang yang bisa ia berikan untuk keluarga kecilnya itu.     

"Lalu bagaimana dengan perusahaan kita yang berada di kota ini? Lantas siapa yang akan memimpinnya jika kau harus mengurus cabang baru yang akan segera kau dirikan di kota itu?" tanya Monna.     

"Aku sudah memikirkan hal itu dengan sangat matang. Aku telah memberikan kepercayaan pada salah satu kolega kita guna memimpin perusahaan itu. Aku harap Malvine bisa segera menyelesaikan kuliahnya agar nantinya ia dapat melanjutkan dan memimpin perusahaan itu untukku," jelas Edward.     

Keputusan akhirnya telah diambil. Sesuai apa yang telah mereka rundingkan, keluarga itu akhirnya memutuskan untuk pindah ke luar kota guna mengurus bisnis yang sedang mereka kelola. Edward juga menegaskan jika pekan depan mereka akan segera pindah dari kota itu.     

Kini tak banyak waktu yang tersisa bagi Davine untuk berada di kota itu. Tentu saja keputusan itu cukup berat baginya, ia masih mengharapkan jika persahabatannya bersama Annie masih dapat terus berlanjut, walau nyatanya kini hubungan di antara mereka tidaklah sedang baik-baik saja.     

Davine segera menghubungi Kevin, ia meminta agar lelaki itu terus mengawasi dan memberi tahukan keberadaan Annie padanya. Davine, lelaki itu berharap untuk dapat menemui sahabatnya itu sekali saja sebelum kepergiannya yang dikarenakan harus pindah ke luar kota dalam waktu dekat ini.     

Davine bukanya telah menyerah untuk kembali dapat menjalin persahabatannya dengan wanita itu. Tentu ia adalah lelaki yang sangat keras kepala. Terbukti dari bagaimana cara yang ia lakukan agar tak ada seorang pun yang bisa mendekati wanita itu selain dirinya. Ia juga masih sangat mempertanyakan perihal penyebab Annie mulai menjauhinya, ia tahu wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Memar yang diderita oleh wanita itu tentu adalah perbuatan seseorang yang dengan sengaja menganiayanya, yang menjadi pertanyaan besar bagi diri Davine adalah, mengapa Annie terlihat berusaha menyembunyikan hal itu darinya, lalu siapakah orang yang telah menganiaya sahabatnya itu. Davine, tentu lelaki itu sangat merasa penasaran karenanya.     

******     

Davine menerima pesan dari Kevin. Saat itu Kevin memberitahukan jika Annie telah berjalan keluar dari gerbang sekolahnya. Davine yang menerima pesan itu segera mengambil posisi dan mencoba mencari keberadaan sahabatnya itu. Ia akan mencoba menemui wanita itu, bahkan jika ia harus sedikit memaksanya sekalipun saat itu.     

Davine sudah tidak punya banyak waktu, besok ia dan keluarganya sudah harus pindah dari kota itu, sedangkan Annie, wanita itu masih saja terus menghindar darinya.     

Davine yang memang sudah menunggu sedari tadi di sebuah warung kecil yang terletak tidak jauh dari sekolah Annie itu. Davine segera bergerak untuk menemui sahabatnya itu. Setidaknya ia ingin sekedar mengucapkan sebuah kata perpisahan pada wanita itu. Walau di satu sisi ia juga tidak rela jika wanita itu nantinya akan dimiliki oleh orang lain selain dirinya.     

Davine segera berlari, ia telah menemukan keberadaan Annie di tengah ramainya pada siswa dan siswi yang juga tengah keluar dari gerbang sekolah itu. Davine tidak mensia-siakan kesempatan itu lagi, baginya mungkin saja itu bisa jadi kesempatan terakhirnya pula untuk dapat bertemu langsung dengan sahabatnya itu.     

Davine dengan segera meraih lengan Annie, ia tak membiarkan wanita itu pergi darinya kali ini.     

"Davine!" ujar Annie sedikit terpekik.     

Tak memberikan kesempatan, Davine segera menarik lengan wanita itu, dengan segera menggiringnya keluar dari ramainya para siswa dan siswi yang berada di tempat itu.     

Annie sedikit berontak, ia bahkan berusaha mencoba untuk terlepas dari cengkeraman tangan Davine pada lengannya itu, namun apa daya kekuatannya tak setara dengan lelaki itu.     

"Lepaskan aku!" ujar Annie lirih. Namun lelaki itu tak menghiraukannya sedikit pun.     

Sesampainya di sebuah lokasi yang cukup sepi, Davine segera melepaskan genggaman tangannya pada lengan Annie. Ia tidak langsung berbicara pada wanita itu, ia hanya menatap lekat pada mata sahabatnya yang kini telah berada tepat di depannya saat itu.     

Sesaat keadaan begitu hening di antara mereka, terlihat jelas Annie, wanita itu menunjukkan gestur yang tidak nyaman saat itu.     

"Mengapa kau menghindar dariku?" tanya Davine.     

Annie tak menjawab pertanyaan lelaki itu, ia hanya membuang wajahnya ke arah lain.     

"Apa aku melakukan kesalahan padamu?" tanya Davine lagi.     

Kali ini Annie hanya menggelengkan wajahnya saja.     

"Lantas apa?" desak Davine. Mata lelaki itu mulai berair, ia merasakan sakit yang begitu dalam melihat tingkah Annie yang seakan berubah hampir 360° padanya itu.     

Annie yang melihat hal itu, segera menatap lelaki itu penuh rasa. Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri, jika saat itu ia tengah sangat merindukan sahabatnya itu.     

Annie meraba wajah Davine, ia mulai menyapu air mata yang mulai mengalir dari mata lelaki itu.     

"Maaf ...!" ujarnya lirih.     

"Maafkan aku, kita tak bisa terus bersama!" tambah Annie. Tangannya kian terasa bergetar.     

Davine yang menyadari hal itu segera meraih tangan lembut sahabatnya itu. Ia tahu ada sebuah beban yang begitu terasa di sana.     

"Mengapa, apa yang salah dariku?" tanya Davine, ia kian mendesak wanita itu.     

Annie kembali menggelengkan wajahnya, ia seolah tak dapat berkata-kata saat itu, sedang kini air matanya juga mulai mengalir begitu saja. Davine yang melihat hal itu segera mendekap sahabatnya itu, ia tak mengerti dengan apa yang saat itu tengah wanita itu hadapi. Jelas sekali terlihat jika semua yang ia lakukan saat itu bukanlah kehendak dari dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.