Another Part Of Me?

Part 3.49



Part 3.49

0Davine duduk meringkuk pada sebuah kursi penumpang di dalam sebuah bus, tangan lelaki itu masih sedikit gemetar sebab aksi yang baru saja ia lakukan.     

Davine berharap dengan aksi yang telah ia lakukan itu maka Annie akan segera terbebas dari penderitaannya, walau itu berarti ia harus mencelakai sang ayah dari wanita itu sekalipun. Kenyataannya kini ia baru saja berhasil dalam melakukan rencananya itu, meski ia juga masih belum tahu bagaimana nasib sang ayah dari Annie itu setelah sengaja ia tabrak dengan cukup keras beberapa waktu yang lalu. Tampaknya ia baru akan mengetahui kabar dari pria itu besok setelah berita itu dimuat pada surat kabar harian kota.     

Davine masih belum bisa sepenuhnya mengendalikan dirinya, rasa gelisah dan panik masih menghantuinya setelah aksi yang baru saja ia lakukan itu. Davine beberapa kali memukulkan tangannya yang masih saja terus bergetar itu ke pahanya, ia tidak boleh terus terlihat dalam kondisi seperti itu, terlebih di angkutan umum seperti saat itu.     

Beberapa kali bus yang ia tumpangi itu harus berhenti pada beberapa halte yang ia lalui saat itu, sedang keadaan bus itu tidak ramai, namun juga tidak dapat dikatakan sepi akan penumpang.     

Davine yang saat itu duduk di bagian paling belakang bus itu sedikit dikagetkan oleh datangnya seorang wanita yang saat itu tiba-tiba saja duduk di sebelahnya, sedangkan Davine merasa jika masih banyak tempat kosong selain di tempatnya duduk kala itu.     

Merasa sedikit terganggu, Davine mencoba untuk mengacuhkan wanita yang kini telah duduk tepat di sampingnya itu. Ia tak ingin wanita itu melihat tangan miliknya yang sampai saat itu masih saja sedikit bergetar.     

Davine berusaha sedikit menggeser posisi duduknya, ia tidak ingin terlalu dekat dengan wanita itu, selain takut di curigai akan kondisinya yang saat itu masih belum normal, Davine juga merupakan tipe lelaki yang memang sedikit anti sosial, tentu ia sangat kesulitan jika harus berinteraksi dengan orang asing yang tidak ia kenal sebelumnya.     

"Maaf, apa aku membuatmu sedikit risih?" tanya wanita itu pada Davine.     

"Ah, tidak. Tidak sama sekali!" jawab Davine, ia mencoba menghindar dari tatapan wanita yang berada di sebelahnya itu.     

"Benarkah, itu bagus. Jika tidak, aku bisa saja pindah ke kursi penumpang yang lain!" tukas wanita itu.     

Namun Davine segera melarang wanita itu, akan sangat tidak nyaman jika wanita itu sampai harus pindah dari tempatnya hanya gara-gara dirinya.     

"Tidak perlu, sungguh aku tak merasa risih, hanya saja aku memang sedikit kesulitan jika harus berinteraksi dengan orang asing, itu saja!" Davine, lelaki itu kini mencoba membalas tatapan dari wanita yang tengah duduk di sampingnya itu.     

"Orang asing?" tanggap wanita itu.     

"Owh, maafkan aku, kita belum berkenalan ya!" tambah wanita itu.     

Davine mengerutkan keningnya seketika, ia tidak ingat jika pernah mengenal wanita itu sebelumnya.     

"Perkenalkan, aku Siska. Kita adalah teman satu kampus!" ujar wanita itu memperkenalkan dirinya.     

Itu adalah kali pertama bagi Davine bertemu dengan Siska yang nantinya akan menjadi kekasihnya itu.     

"Aku Davine, salam kenal!" Sambut Davine. Ia masih mencoba mengingat siapa wanita itu. Namun bagaimanapun ia mencoba mengingatnya, tetap saja ia merasa jika mereka memang tidak saling kenal sebelumnya.     

"Apa kau tak mengingatku?" tanya Siska, wanita itu terlihat sedikit kecewa.     

Dengan perasaan sungkan, Davine menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tak mengingat wanita itu sedikit pun.     

Di hari pertama pembukaan penerimaan mahasiswa dan mahasiswi baru kita duduk bersebelahan, apa kau tak ingat?" jelas Siska, ia mencoba mengingatkan bagaimana pertemuan pertama mereka.     

"Kau sempat mengembalikan buku milikku yang tertinggal di aula itu ketika acara itu telah berakhir!" tambahnya lagi.     

Setelah mendengar penjelasan itu barulah Davine mulai mengingat wanita itu, seperti yang telah Siska katakan, mereka memang duduk bersebelahan ketika acara pembukaan mahasiswa dan mahasiswi baru di kampus itu. Ia juga sempat mengembalikan buku milik Siska yang tertinggal saat wanita itu ingin meninggalkan acara tersebut.     

"Astaga, kini aku mengingatnya. Maafkan aku, aku memang tidak terlalu memperhatikan saat itu!" ujar Davine.     

"Sesaat ketika aku menaiki bus ini, aku melihatmu dan merasa jika kau tidak asing, setelah mengingat hal itu, aku segera memutuskan untuk duduk di sebelahmu!" jelas Siska, wanita itu tersenyum pada Davine.     

"Terima kasih!" ujar Siska.     

"Untuk apa?" tanya Davine.     

"Untuk yang kau lakukan saat itu, aku rasa aku lupa mengucapkannya saat itu," jawab Siska.     

"Tak perlu dipikirkan, itu hanya hal kecil!" tukas Davine.     

Tak terasa percakapan di antara mereka mengalir begitu saja, Siska tampaknya adalah wanita yang sangat mudah bergaul, wanita itu juga sangat manis di mata Davine, jarang sekali bagi lelaki itu merasakan hal seperti itu dalam interaksi pertamanya dengan seseorang yang sebelumnya tidak ia kenal.     

Kini tangan Davine tak lagi terasa bergetar, getaran itu menghilang seiring dengan percakapan di antara dirinya dan wanita itu. Davine yang sedari awal merupakan lelaki introvert, merasa sangat berbeda kali ini. Entah karena Siska yang memang pandai bergaul, atau memang ada sesuatu yang menarik bagi Davine pada diri wanita itu.     

Selama ini ia tak pernah bisa berbincang panjang lebar seperti itu selain pada Annie, namun kali ini sangat berbeda, untuk ukuran seorang yang baru ia kenal, entah mengapa ia merasa nyaman ketika berbincang dengan wanita itu.     

Tak lama berselang, kini perbincangan itu harus terhenti, Siska tampaknya telah sampai di halte yang menjadi tujuannya. Wanita itu juga tidak lupa untuk meminta nomor ponsel milik Davine, menurut wanita itu mereka mungkin bisa berteman lebih akrab lagi. Davine segera menerima permintaan itu, sekali lagi entah mengapa di depan wanita itu tembok kokoh yang selama ini selalu ia pasang seakan roboh begitu saja.     

"Mungkin kita bisa berbincang di lain waktu!" ujar Siska, sebelum akhirnya ia turun di halte itu dan kembali meninggalkan Davine yang kini duduk seorang diri di bangku yang terdapat pada bagian belakang bus itu.     

Davine hanya mengangguk, ia merasa tak keberatan dengan hal itu.     

Sesampainya di apartemen yang Davine sewa sebagai tempat tinggalnya selagi ia berkuliah di kota itu, lelaki itu segera menuju wastafel yang terdapat di kamar mandinya, ia segera membasuh wajahnya berulang kali, seolah masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan malam itu.     

Pukul 11.00 p.m. perasaan lelah mulai menyelimuti seluruh tubuhnya.     

Pukul 11.05 p.m. lelaki itu segera tertidur di atas kasur empuknya.     

******     

Sinar mentari masuk melewati celah jendela kamar apartemen itu, menerpa wajah dan segera membangunkan Davine dari tidurnya. Jam telah menunjukkan pukul 07.30 a.m. ia harus bergegas jika tidak ingin terlambat dalam mengikuti kelas pertamanya hari itu.     

Di perjalanan ke kampusnya, Davine menyempatkan diri untuk membeli sebuah surat kabar harian kota itu, tentu ia masih sangat penasaran bagaimana nasib sang ayah dari Annie setelah ia tabrak dengan sengaja semalam. Berhasil mendapat surat kabar itu, Davine segera bergegas untuk menaiki sebuah bus untuk pergi ke kampusnya, mengingat kini ia tak lagi memiliki kendaraan pribadi. Di satu sisi ia juga cukup risih jika harus pergi ke kampusnya itu dengan menggunakan sebuah mobil yang terbilang cukup mewah itu, karena dengan begitu tentu ia akan segera menjadi pusat perhatian bagi para mahasiswa dan mahasiswi lain yang juga berkuliah di kampusnya, dan hal itu memang telah terjadi karena beberapa waktu saat ia baru mulai berkuliah di tempat itu, ia telah menggunakan mobil sport itu sebagai sarana transportasinya.     

Dalam perjalanan, Davine segera mencari berita tentang tabrak lari yang dilakukannya malam itu, mungkin saja di angkat ke dalam media cetak itu, pikirnya.     

Benar saja walau tak dimuat pada halaman awal, nyatanya Davine dapat menemukan berita tabrak lari itu dengan cukup mudah. Menurut berita yang dicantumkan pada surat kabar itu, pihak Kepolisian kini sedang berusaha mencari sang pelaku tabrak lari yang itu nyatanya adalah dirinya sendiri. Dalam berita itu pihak Kepolisian menyatakan kendalanya dalam menangani kasus tabrak lari tersebut.     

Dalam surat kabar itu di jelaskan jika pada ruas jalan yang menjadi tempat kejadian tabrak lari itu tidak terdapat satu pun kamera CCTV yang terpasang, hal itu cukup menyulitkan bagi mereka dalam melacak siapa sebenarnya pelaku tabrak lari. Hal itu memang telah diperhitungkan oleh Davine sebelumnya, tentu saja sebelum melakukan aksi yang sangat berisiko itu, ia telah memastikan hal tersebut sebelumnya. Pihak Kepolisian juga telah melacak pelat nomor dari kendaraan yang saat itu digunakan oleh sang pelaku, namun sial bagi mereka, karena pelat nomor itu nyatanya tidak terdaftar pada dinas yang terkait. Dengan kata lain pelat nomor yang digunakan oleh sang pelaku adalah palsu, kini satu-satunya hal yang menjadi petunjuk bagi mereka hanyalah tipe dan merek dari mobil sport yang digunakan oleh sang pelaku, namun sekali lagi hal itu tidak banyak membantu, karena pada dasarnya banyak sekali unit seperti itu yang juga digunakan oleh warga yang tinggal di kota itu.     

"Jika hanya berbekal dari kesaksian dan ciri-ciri kendaraan yang diterangkan oleh saksi mata di tempat kejadian, tentu saja hal itu tak akan cukup membantu," ujar seorang petugas kepolisian yang menangani kasus itu.     

"Namun kami akan terus memproses kasus ini lebih lanjut!" tambahnya, tertulis di surat kabar itu.     

Sesuai apa yang telah Davine rencanakan, tampaknya sampai saat ini semua telah berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan. Namun bukan hal itu yang mau ia ketahui dari berita yang dituliskan di surat kabar itu, yang menjadi fokusnya utamanya adalah bagaimana kondisi dari pria berengsek itu setelah menerima tabrakan keras yang ia lakukan saat itu. Davine tertawa girang, ia bahkan sampai menghentakkan salah satu kakinya pada lantai bus yang sedang ia tumpangi, ia tak dapat menutupi rasa bahagianya saat itu, walau setelahnya juga muncul perasaan takut dan rasa bersalah yang sangat besar dalam hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.