Another Part Of Me?

Part 3.51



Part 3.51

0Davine mencari keberadaan Lissa di setiap ruangan yang terdapat di pondok kecil itu, namun sepertinya wanita itu sedang tidak berada di sana. Tampaknya Davine tertidur seharian penuh hari itu, kini mentari bahkan telah terbenam, hanya meninggalkan sebuah kesunyian yang begitu menusuk dalam kesendiriannya itu.     

Beberapa waktu berlalu, namun Lissa masih tak tampak menunjukkan dirinya. Hal itu cukup menjadi pikiran tersendiri bagi Davine, karena tak biasa rasanya wanita itu masih belum kembali sedang malam sudah cukup larut.     

Davine terlihat mondar-mandir di depan pekarangan pondok itu, ia masih menunggu kepulangan wanita itu, ia khawatir jika saja telah terjadi sesuatu yang buruk padanya, mengingat di hutan itu masih sangat banyak berkeliaran binatang-binatang buas yang bisa saja membahayakan nyawanya.     

Mendengar sebuah suara dari salah satu semak yang berada tidak jauh darinya, Davine segera menyangka jika itu adalah Lissa yang baru saja kembali ke tempat itu. Namun setelah ia mencoba mendekati sumber suara tersebut, nyatanya ia tak mendapati seorang pun di yang berada di balik semak tersebut. Davine mencoba memberikan sedikit penerangan dengan lentera yang saat itu tengah dibawanya, namun setelah ia coba menyisir area itu, nyatanya tidak terdapat hal apa pun di sana, baik itu Lissa, ataupun hewan yang menghuni hutan itu.     

Davine beberapa kali meneriakkan nama Lissa, kalau saja benar suara yang ia dengar barusan berasal dari wanita itu. Namun untuk ke sekian kalinya, ia tak mendapatkan jawaban apa pun. Merasa itu hanya halusinasinya saja, Davine pun segera memutuskan untuk kembali ke pondok milik Lissa itu, lagi pula tak mungkin Lissa kembali dengan mengambil rute yang dipenuhi semak seperti itu, pikirnya.     

Sesaat ketika ia beranjak dari tempat itu, Davine kembali dikagetkan dengan sebuah suara langkah yang seolah membelah semak itu, yang mana sua itu diiringi oleh sekelebat bayangan hitam yang seolah melesat dengan sangat cepat di ujung garis matanya. Menyadari hal itu Davine kembali dengan cepat menyodorkan lentera yang sedang ia bawa ke arah sumber suara tersebut.     

"Apa-apaan itu, lagi-lagi tampaknya aku berhalusinasi," gumamnya kesal.     

Namun Davine memaklumi hal tersebut, menurut buku milik Lissa yang pernah ia baca beberapa waktu yang lalu, sangat wajar jika orang yang mungkin saja menderita gangguan dissosiative identity disorder sepertinya mengalami halusinasi seperti itu, karena pada dasarnya hal itu adalah salah satu gejala yang memang sering dialami oleh penderita DID sepertinya. Belum lagi jika mengingat ia sudah cukup lama tidak mengonsumsi pil antidepresan seperti yang dulu rutin ia lakukan guna mengurangi intensitas halusinasi dan delusi yang kerap kali ia rasakan.     

Hari itu cukup lelah baginya, bukan karena kegiatan fisik yang ia lakukan, namun lebih ke keadaan mental yang sedang ia rasakan. Kembalinya potongan ingatan tentang masa lalunya itu kini kian memberikan beban tersendiri baginya, terlebih kenyataan jika ia adalah seorang pembunuh, yang telah menghabisi nyawa dari ayah sahabatnya sendiri itu tentu sangat berdampak pada psikisnya. Kenyataan itu juga membuat dirinya semakin mencurigai jika ialah sebenarnya sang pembunuh berantai yang meneror kota itu sampai saat ini. Mengingat tidak adanya kasus pembunuhan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir setelah kepergiannya dari kota itu, semakin membuatnya kian mencurigai dirinya sendiri. Walau terhentinya kasus pembunuhan berantai yang saat ini sedang terjadi sangatlah baik bagi kota itu sendiri, namun dengan itu ia juga dapat menyimpulkan jika hal itu disebabkan karena dirinya yang kini tidak lagi tinggal di kota itu. Dengan kata lain, selama ia berada di hutan itu, kini ia tidak lagi dapat melanjutkan aksi pembunuhan berantainya tersebut. Walaupun itu hanya opininya semata, tentu saja Davine juga masih belum bisa memastikan jika dirinyalah sang pembunuh berantai yang selama ini ia cari.     

Merasa lelah Davine memutuskan untuk kembali tidur, walau ia telah banyak menghabiskan waktu untuk itu sebelumnya, namun kualitas tidurnya sungguh tak dapat dikatakan baik.     

******     

Pagi hari Davine terbangun kerena mendengar suara langkah kaki yang memasuki pondok itu, derit langkah yang beradu dengan lantai kayu pondok itu terasa begitu kentara, membuat Davine sedikit terusik dari tidurnya. Merasa terganggu karenanya, Davine segera bangkit untuk memastikan siapa pemilik dari langkah kaki tersebut, ia memang sedikit paranoid karena kejadian semalam.     

Sampai di dapur, Davine menghembuskan nafasnya lega, ia mendapati Lissa yang saat itu tengah memasak sarapan untuk mereka.     

"Astaga, ke mana saja kau?" tanya Davine.     

"Aku menunggumu semalaman!" ujar Davine, ia sedikit mengacak rambutnya, lelaki itu tampaknya masih belum benar-benar sadar dari tidurnya.     

"Aku ada sedikit urusan!" jawab Lissa. Wanita itu masih fokus akan masakannya, membuat seolah itu bukan hal yang perlu Davine khawatirkan.     

"Setidaknya kau bisa memberitahuku jika kau tidak akan pulang malam itu!" keluh Davine.     

"Aku pikir telah terjadi sesuatu padamu!" tambahnya.     

Menanggapi hal itu Lissa hanya tersenyum, ia memberikan isyarat agar Davine membantunya untuk mengambil piring yang akan mereka gunakan untuk menyantap sarapan yang telah ia siapkan saat itu.     

Davine segera menuruti perintah wanita itu, sesaat ketika ia menyodorkan piring itu, ia mendapati sebuah memar pada lengan wanita itu ketika ia menyodorkan tangganya untuk menyambut piring yang Davine berikan.     

Lissa yang menyadari tatapan Davine tertuju pada memar di tangannya itu segera menarik kembali lengannya, wanita itu terlihat berusaha menutupi memar tersebut, membuat Davine sedikit merasa dejavu akan hal itu. Itu mengingatkannya pada tingkah Annie ketika wanita itu berusaha menyembunyikan hal seperti itu darinya.     

Namun tidak seperti dulu, kini Davine tidak akan tinggal diam dan tak menanyakan hal itu secara langsung seperti apa yang dulu ia lakukan terhadap Annie. Davine segera meraih lengan Lissa dengan paksa, ia segera meminta penjelasan bagaimana wanita itu bisa mendapatkan memar itu di lengannya. Ia tak ingin Lissa berakhir sama dengan Annie, ia tak ingin wanita itu juga kelak menjauh darinya.     

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Davine, tanpa sadar ia mencengkeram erat lengan Lissa, membuat wanita itu sedikit meringis kesakitan.     

"Jawab, apa yang terjadi padamu?" tanya Davine lagi, kali ini sedikit membentak. Ia bahkan tak memberikan Lissa waktu untuk menjawab pertanyaannya itu.     

Lissa yang menyadari keanehan pada tingkah Davine, segera melayangkan tamparannya pada wajah lelaki itu.     

"Hentikan itu, kau menyakitiku!" tukas Lissa, seketika menyadarkan Davine yang hampir berada di luar kendali itu.     

Menerima tamparan itu, Davine segera tersadar akan apa yang sedang ia perbuat, rasa familier akan apa yang sedang terjadi membuatnya merasakan kekhawatiran yang sangat berlebih saat itu. Tentu ia tidak bisa menyamakan apa yang sedang terjadi pada Annie dengan Lissa waktu itu.     

"Maafkan aku, aku hanya ...." Davine menghentikan kata-katanya, ia tidak mungkin menjelaskan apa yang tengah ia rasakan saat itu pada Lissa.     

Lissa tampak memicingkan matanya pada lelaki itu, ia sedikit bertanya-tanya dengan reaksi yang baru saja Davine perlihatkan saat itu. Menurutnya itu adalah hal yang tak biasa Davine perlihatkan selama mereka bersama, tak pernah sekalipun Davine membentak dan berbuat sedikit kasar padanya.     

Lissa menarik nafasnya panjang, wanita itu memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu.     

"Aku tidak apa-apa, ini hanya memar biasa karena sebuah benturan. Kau tak perlu begitu mencemaskannya!" jelas Lissa. Wanita itu segera mengajak Davine untuk menyantap sarapan yang telah ia buat pagi itu.     

Di tengah kegiatan sarapan mereka, Davine tiba-tiba saja menanyakan hal yang bagi Lissa terdengar cukup menarik. Saat itu Davine bertanya, apa yang akan dilakukan Lissa ketika ia menghadapi dua pilihan yang sangat sulit. Apakah wanita itu akan melakukan hal yang di anggapnya benar, walau cara yang saat itu ia lakukan adalah salah, atau wanita itu lebih memilih diam dan tak menyelesaikan masalah yang seharusnya ia hadapi, dan membiarkan seseorang menderita karenanya.     

Lissa cukup dibuat berpikir akan jawaban mana di antara dua pilihan itu yang dianggapnya benar.     

"Apa aku tidak boleh melakukan opsi lain?" Lissa balik bertanya.     

"Maksudku, aku akan memilih melakukan apa yang menurutku benar, dengan cara yang benar juga!" jawabnya.     

Mendengar jawaban itu, Davine segera tersenyum, walau hatinya sedikit merasa tak nyaman. Dengan jawaban itu, Davine dapat menyimpulkan, jika kedua pilihan yang bisa saja ia pilih dalam ingatan masa lalunya itu tidak ada yang benar. Ia bahkan mengutuk dirinya karena telah memilih melakukan hal keji yang ia lakukan pada ayah dari Annie dulu. Seharusnya ia tak melakukan hal itu, bahkan jika ada alasan baik di balik tindakannya itu, namun jika cara yang ia lakukan adalah salah, maka niat baik yang berada di balik hal itu pun akan tetap menjadi sebuah kesalahan. Entah bagaimana perasaan sahabatnya itu jika mengetahui ialah yang telah membunuh ayahnya. Apa reaksi wanita itu, tentu ia akan sangat marah dan menyalahkan Davine atas semua yang telah terjadi, walau nyatanya keberadaan ayahnya menjadi sumber penderitaannya sendiri kala itu. Jika dipikirkan lagi, rasanya ia tak jauh beda dengan sang ayah dari Annie, ia sama berengseknya dengan pria paruh baya itu. Manusia normal tidak akan memilih untuk melakukan hal gila seperti itu, pikirnya.     

Lissa yang masih bingung dengan Davine yang tiba-tiba saja menanyakan hal seperti itu padanya, lantas balik bertanya pada lelaki itu.     

"Mengapa tiba-tiba kau menanyakan hal seperti itu?" tanya Lissa. Ia sedikit merasa aneh dengan segala tingkah Davine pagi itu.     

"Apa kau telah kembali mengingat sesuatu?" tambahnya lagi.     

Davine mengangguk, lelaki itu membenarkan pernyataan Lissa saat itu.     

"Lalu, apa kau melakukan kesalahan dalam ingatan itu?" pertanyaan Lissa terus mengalir begitu saja. Namun Davine, lelaki itu tampak enggan untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan itu.     

"Baiklah, jika kau tak ingin membicarakan hal ini!" sambung Lissa.     

"Menurutku, setiap manusia tak akan lepas dari yang namanya kesalahan, jika kau menyadari kesalahan yang telah kau perbuat, maka yang harus kau lakukan adalah mencoba memperbaikinya!" Lissa segera menepuk pundak Davine. Wanita itu percaya apa pun yang telah lelaki itu lakukan dulu, ia yakin jika ada alasan kuat mengapa Davine melakukan hal yang ia anggap adalah sebuah kesalahan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.