Another Part Of Me?

Part 3.60



Part 3.60

0Bella menyapu sedikit air mata yang mengalir di pipi Hanna, ia tak menduga jika masa lalu sang kekasihnya itu terbilang cukup pahit. Tentu sangat berat rasanya jika harus mengalami hal seperti itu di masa yang bisa dikatakan masih sangat labil seperti itu, namun Bella tahu jika Hanna adalah lelaki yang hebat, terbukti dari bagaimana sikap dan kepribadian yang saat ini telah terbentuk di dalam diri lelaki itu.     

Hanna menetap jauh, ada sebuah penyesalan yang masih tertanam di dirinya, selama ini ia selalu mengutuk dirinya sendiri karena tidak pernah bisa terus berada di sisi mendiang ibunya itu ketika masa sulit yang wanita itu hadapi sendiri. Mengingat hal itu saja sudah cukup membuat hatinya serasa hancur seketika.     

Hanna berusaha menahan tangisnya, perlakuan yang diberikan Bella saat itu seolah menambah rasa harunya. Lelaki itu segera menggenggam lembut tangan Bella, ia berusaha menghentikan perlakuan manis itu, jika tidak bisa saja air matanya akan mengalir begitu saja tanpa bisa dibendungnya lagi.     

Bella segera mendekap lelaki itu, ia membenamkan wajah lelaki itu di dadanya, memberikan rasa hangat yang tak dapat dilukiskan. Untuk beberapa saat Hanna terhanyut dalam dekapan itu. Ia merasa sangat beruntung telah memiliki wanita itu.     

"It's Okey, semua telah berlalu!" bisik Bella lembut di telinga Hanna.     

"Aku percaya kau bisa menghadapi semua itu, kau hanya perlu berdamai dengan dirimu sendiri!" tambah wanita itu.     

Hanna mengangguk dalam dekapan Bella, ia berusaha melepaskan semua penyesalan yang masih tertanam di dalam dirinya. Rasa sakit yang selama ini terus ia pendam, tenggelam dalam penyesalan tanpa akhir tentu bukanlah hal yang baik. Seperti apa yang dikatakan kekasihnya itu, yang harus ia lakukan saat itu hanyalah berdamai dengan dirinya sendiri.     

******     

Davine dengan keras mengancam agar Lissa tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Menurutnya wanita itu masih perlu banyak beristirahat guna memulihkan kondisinya saat itu, ia juga tahu jika luka yang diderita wanita itu tentulah cukup parah.     

Namun seperti biasa, Lissa wanita yang sangat keras kepala, ia tak bisa hanya diam dan dilayani bak seorang ratu seperti itu.     

Pertikaian kecil tak terhindarkan di antara kedua orang itu, mereka saling beradu mulut satu sama lain, mereka sama-sama keras kepal bagaikan anak kecil yang sedang memperebutkan sebuah permen, tak ada satu pun dari kedua orang itu yang mau mengalah.     

"Tidak, aku baik-baik saja, kau tidak perlu memperlakukanku seolah aku bisa mati hanya karena luka seperti ini!" tukas Lissa dengan keras kepalanya.     

"Astaga, harus berapa kali aku katakan padamu, biarkan aku yang mengurus semuanya, kau hanya perlu beristirahat hingga luka yang kau derita itu benar-benar sembuh," sahut Davine yang tak kalah keras kepalanya dari wanita itu.     

Merasa tak ada ujungnya, Davine segera pergi ke arah dapur untuk mengambil seutas tali. Melihat hal itu tentu saja Lissa seketika dibuat sangat bertanya-tanya akan maksud dan tujuan dari lelaki itu.     

"Apa yang ingin kau lakukan dengan benda itu?" tanya Lissa, wanita itu segera mengerutkan keningnya.     

"Tentu saja aku akan mengikatmu!" ujar Davine dengan ekspresi yang sangat datar.     

"Astaga, apa kau gila!" sambut Lissa.     

Davine segera tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi lucu yang ditunjukkan Lissa saat itu. Tentu saja ia tak akan melakukan hal bodoh seperti itu, ia hanya bermaksud untuk sedikit menggoda Lissa saja.     

"Kau, awas kau ya!" ujar Lissa kesal, ia segera memanyunkan bibir tipisnya, sedang Davine, lelaki itu terus saja tertawa tanpa bisa ia hentikan.     

Setelah perdebatan konyol itu, akhirnya Lissa menyerah dan hanya bisa pasrah dengan perlakuan yang diberikan oleh lelaki itu. Ia benar-benar dilayani Davine bak seorang ratu, Lissa bahkan tidak boleh menurunkan kedua kakinya dari atas tempat tidurnya. Davine, dibalik niat dan tujuan baiknya, ia juga masih ingin sedikit bersenang-senang dengan cara menggoda Lissa dengan cara seperti itu.     

Setelah puas mengerjai Lissa, Davine memutuskan untuk segera mencari bahan makanan dan sedikit kayu bakar, jika tidak mereka bisa saja kembali melewatkan jam makan mereka karena stok makanan di pondok itu hanya tinggal beberapa saja.     

Davine membawa beberapa kail pancing, dan sebuah pisau sebagai alat berburunya saat itu. Beberapa waktu yang lalu ia juga telah memasang beberapa jebakan yang telah ia sebar di beberapa titik di hutan itu, berharap jika salah satu dari jebakan yang telah ia pasang itu akan membuahkan hasil.     

Davine segera menuju tempat di mana ia memasang jebakan-jebakan itu sebelumnya, kini lelaki itu telah sedikit hafal akan area sekitar hutan itu. Ada sekitar empat jebakan yang telah ia sebar di beberapa titik yang berbeda, membuatnya harus memeriksa tiap-tiap jebakan itu satu persatu.     

Sial bagi lelaki itu, tampaknya tidak ada satu pun dari sekian banyak jebakan yang telah ia pasang itu yang membuahkan hasil, membuatnya mau tidak mau harus mengambil langkah terakhir dengan cara memancing ikan pada sebuah danau kecil yang terdapat di tegah hutan itu. Walau sebenarnya ia sudah merasa cukup bosan jika harus terus mengonsumsi ikan sebagai makanan utamanya.     

Setelah memasang umpan pada kail pancingnya, Davine segera memilah di mana tempat yang sekiranya strategis untuk meletakan kail pancingnya itu, ia bahkan harus sedikit masuk dan menginjakkan kakinya pada sisi danau itu, berharap sebuah keberuntungan terdapat di spot yang telah ia pilih saat itu. Baru saja Davine melemparkan mata kailnya itu ke danau tersebut, tiba-tiba saja ia kembali mengalami kondisi di mana sebuah rasa sakit yang seolah datang dengan sangat tiba-tiba yang menyerang kepalnya. Lelaki itu sangat tahu apa yang akan ia alami selanjutnya, tentu saja itu bukanlah hal baik mengingat posisinya saat itu bisa dikatakan berada di area yang tidak cukup baik.     

"Astaga, jangan sekarang!" maki lelaki itu, ia tampak memegang erat kepalanya yang tiba-tiba terasa seperti berdengung itu.     

Davine segera melepaskan alat pancing yang sedari tadi ia pegang, ia tahu jika ia harus segera keluar dari danau itu sebelum kesadarannya benar-benar hilang.     

Kini penglihatan lelaki itu perlahan mulai memudar, ia tak dapat mempertahankan kesadarannya lagi saat itu. Davine terus berusaha dengan sekuat tenaganya untuk melangkahkan kakinya keluar dari danau itu, bisa sangat berbahaya jika ia sampai pingsan di tempat tersebut. Ia bahkan bisa mati karena tengelam di danau tersebut.     

Sebuah penglihatan kini kembali muncul. Saat itu Davine sedang berada di sebuah halte yang terasa sangat familier baginya. Dalam penglihatan itu ia hanya berdiri dan terus saja mengamati seorang wanita dari kejauhan, ia tahu jika wanita itu tidak lain adalah Siska yang merupakan mantan kekasihnya.     

Beberapa saat berselang, sebuah bus tampak merapat pada halte itu, sedang Siska, wanita itu tampak segera menaiki bus tersebut. Davine berusaha memanggil wanita itu, namun seperti biasa dalam situasi itu ia tak dapat melakukan apa pun selain hanya bisa mengamati apa yang sedang terjadi dari dalam sudut pandangnya saat itu.     

Davine mulai bergerak dari tempatnya, kini ia mulai mencoba menyatu dalam kerumunan para warga yang juga sedang berada di halte itu, mengendap dan mulai menaiki bus yang terhenti di sana. Davine yang berada di sudut pandang itu tahu pasti akan maksud dari pergerakan yang ia lakukan saat itu, hal itu tidak lain adalah guna membuntuti Siska, yang telah lebih dahulu telah menaiki bus tersebut.     

Davine berhasil kembali mendapatkan kesadarannya, saat itu ia tengah berusaha merangkak dari danau tempatnya semula berdiri, ia bahkan telah basah kuyup saat itu, tampaknya untuk sesaat ia telah jatuh dan benar-benar hampir tak sadarkan diri di dalam danau tersebut.     

Berhasil keluar dari danau itu, Davine segera merentangkan tubuhnya yang terasa sangat lemah itu, sedang kepalanya masih merasakan sakit yang luar biasa.     

Kini ia kembali beralih dalam sudut pandangnya yang lain, saat itu ia telah berhasil naik dan duduk tepat beberapa bangku di belakang Siska dalam bus yang mereka tumpangi saat itu.     

Davine tak henti-hentinya berusaha untuk memanggil wanita itu, namun sekali lagi usahanya tampak sia-sia saja. Ia hanya bisa diam tanpa melakukan hal apa pun dari dalam sudut pandangnya itu. Sedang Siska, wanita itu tampaknya masih belum menyadari jika ia sedang dibuntuti oleh sang pemilik sudut pandang itu. Beberapa saat berlalu, kini bus itu tampak mulai sepi, satu persatu penumpang bus itu mulai turun di tujuannya masing-masing, hingga hanya menyisakan Siska dan dirinya dan beberapa orang lainnya di dalam bus tersebut. .     

Kini Davine mulai berdiri dari tempatnya, dalam sudut pandang itu ia segera berjalan dengan sangat perlahan menuju ke arah Siska, sedang wanita itu tampak masih belum menyadari akan hal tersebut. Davine yang mulai panik segera berusaha meneriakkan nama wanita itu terus menerus, saat itu ia benar-benar merasa sangat frustrasi keran hanya bisa melihat kejadian itu tanpa bisa melakukan apa pun. Ia bahkan terus mengutuk dirinya sendiri kala itu. Ia tahu hal buruk mungkin akan terjadi pada mantan kekasihnya itu.     

Di saat-saat terakhir, tiba-tiba saja bus itu berhenti, membuat Davine saat itu juga segera menghentikan pergerakannya. Kini Siska tampak berdiri dari tempat duduknya, tepat saat itu juga tampaknya wanita itu telah sampai di tempat tujuannya. Siska segera beranjak dan turun dari bus tersebut, sedang Davine, lelaki itu hanya bisa terdiam melihat Siska yang turun dan meninggalkannya di dalam bus tersebut. Davine sempat melayangkan pandangannya pada sebuah jam digital yang terpasang di dalam bus itu, betapa terkejutnya ia ketika mendapati waktu dan tanggal yang tertera pada jam tersebut.     

Davine kembali tersadar dan sekali lagi berhasil keluar dari sudut pandang itu. Nafasnya masih sangat tak beraturan, sedang sakit di kepalanya masih kian terasa. Dari apa yang baru saja ia lihat dalam sudut pandang itu, kini ia menyadari akan sesuatu yang sangat penting. Jika selama ini ia berpikir itu adalah sebuah ingatan dari masa lalu miliknya yang datang dengan tiba-tiba, kini ia tahu jika dugaannya selama ini akan hal itu adalah salah. Itu bukan sebuah ingatan yang ia miliki, itu lebih seperti penglihatan darinya yang seolah terkoneksi secara langsung pada suatu individu lain yang berada di kota itu. Hal itu dapat ia buktikan dengan tanggal dan waktu yang baru saja ia lihat dari dalam sudut pandangnya saat itu. Bagaimana bisa waktu dan tanggal itu menunjukkan jam, hari, bulan, dan tahun yang sama dengan waktu dan tanggal saat ini, pikirnya. Dengan kata lain saat itu penglihatannya benar-benar terkoneksi langsung dengan seseorang yang berada di tempat lain di kota itu.     

(Part 3. Connection selesai.)     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.