Another Part Of Me?

Part 4.6



Part 4.6

Tidak banyak hal yang dapat Malvine temukan di kamar apartemen milik Davine, hanya barang-barang milik adik angkatnya itu yang tertinggal di sana, tak ada satu pun hal yang dapat dijadikan bukti jika Davine memanglah pelaku dari pembunuhan itu. Yang sedari awal menjadi tanda tanya baginya adalah, di manakah kini keberadaan adik angkatnya itu.     

Setelah merasa tak menemukan petunjuk sedikit pun, Malvine segera memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, untungnya ia telah memikirkan ke mana lagi ia akan mencoba menanyakan perihal keberadaan Davine saat ini. Lebih tepatnya kepada siapa ia akan menanyakan hal tersebut.     

Malvine segera memohon diri pada sang wanita pemilik apartemen itu, ia juga sangat berterima kasih atas segala informasi yang telah wanita paruh baya itu dengan suka rela berikan padanya, berkat informasi itu kini Malvine setidaknya tahu jika pihak Kepolisian saat ini juga masih menemukan kendala dalam membuktikan secara pasti jika Davine memanglah tersangka dalam kasus pembunuhan itu.     

Malvine segera merogoh smartphone miliknya dari kantongnya, ia mencari-cari sebuah kontak yang dulu sempat ia simpan, ia sedikit berharap jika wanita pemilik kontak itu mengetahui keberadaan Davine saat ini.     

"Halo ...!" ujar Malvine dalam panggilannya itu.     

"Ya, Halo ...!" jawab wanita itu di seberang panggilan.     

"Siska, bisakah kita bertemu?" ujar Malvine.     

"Ini saya, Malvine. Kakak angkat dari Davine.     

Tampaknya Siska cukup terkejut mengetahui siapa orang di balik panggilan itu.     

"Apa ini soal Davine Kak?" tanggap Siska, wanita itu tampak sedikit ragu untuk menyanggupi ajakan dari lelaki itu.     

Jika mengingat kembali, Malvine memang sempat meminta kontak milik Siska ketika wanita itu berkunjung ke rumah sakit tempat di mana saat itu Davine sedang di rawat ketika mengalami luka tusukan di perutnya. Tentu saja Malvine melakukan hal itu secara diam-diam, ia tak ingin Davine mengetahui jika ia telah meminta kontak dari Siska, walau hal itu ia lakukan hanya untuk sekedar berjaga-jaga saja. Ia melakukan hal itu ketika ia meminta tolong pada Siska untuk menyerahkan surat keterangan pada dosen tempat mereka berkuliah. Di tengah kesempatan itu Malvine segera meminta kontak milik Siska tanpa sepengetahuan Davine.     

"Tampaknya kau tahu sesuatu tentang adik angkatku itu?" sambut Malvine.     

"Aku hanya ingin sedikit berbincang saja padamu," tambahnya.     

"Bagaimana apa kita bisa bertemu di suatu tempat?" tambahnya lagi.     

Merasa tak punya pilihan lain, Siska mau tidak mau menyanggupi ajakan itu, sedari awal ia sebenarnya memang sedikit merasa tidak nyaman dengan lelaki itu, intuisinya saat itu seolah berkata jika Malvine adalah tipe lelaki yang tak mudah untuk dipercaya. Lagi pula hal ini bersangkutan dengan Davine, Siska juga tentu telah menyadari jika cepat atau lambat pihak keluarga Davine pasti akan mengetahui perihal menghilangnya anak mereka.     

******     

Sesuai janji yang telah mereka buat, tepat pukul 14.30 p.m. mereka segera bertemu di sebuah cafe yang terletak tidak jauh dari kampus tempat Siska dan Davine berkuliah.     

Malvine telah terlebih dulu sampai di cafe itu, secangkir kopi hitam bahkan telah menemaninya di sana. Sedang Siska, wanita itu sedikit terlambat karena kelas terakhirnya sedikit diperpanjang oleh sang dosen.     

"Maafkan aku Kak, apa kakak telah lama menunggu?" sapa Siska, ia benar-benar merasa tidak nyaman akan hal itu. Bagaimanapun ia adalah tipe wanita yang lumayan menghargai waktu, tentu tak etis baginya membuang-buang waktu seseorang, terlebih lagi mereka belum terlalu mengenal satu sama lain.     

"Tidak masalah, aku punya sedikit waktu luang!" jawab Malvine, tentu ia juga masih belum bisa menentukan ke mana nantinya ia akan mencari keberadaan adik angkatnya itu.     

Setelah mempersilahkan Siska untuk duduk, Malvine segera memberikan buku menu, ia menyarankan agar sekiranya Siska memesan minuman terlebih dahulu sebelum nantinya mereka melanjutkan pembicaraan mereka.     

Melihat Siska yang sedikit bingung dalam menentukan pilihannya, Malvine segera menyarankan agar wanita itu memesan secangkir kopi saja untuk dirinya.     

"Bagaimana dengan coffee!" saran lelaki itu.     

Sebenarnya Siska tidaklah sedang kebingungan dalam menentukan pilihannya, hanya saja ia sedang memikirkan tentang apa yang akan mereka bahas saat itu.     

"Terima kasih atas sarannya Kak, tapi rasanya saya lebih ingin memesan lemon tea saja untuk saat ini!" jawab Siska.     

"Caffeine membuat jantung saya berdegup sangat kencang!" tambahnya lagi.     

"Oke, baiklah. Secangkir lemon tea!" Malvine segera melambai pada seorang waiters yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka, lelaki itu memberikan isyarat jika ia ingin kembali memesan sesuatu.     

"Tolong secangkir lemon tea!" ujar lelaki itu sopan. Tak seperti kebanyakan lelaki sukses seumurannya, tampaknya Malvine bukanlah tipe orang yang sombong akan apa yang telah ia punya. Hal ini juga sedikit mengingatkan Siska pada sifat mantan kekasihnya itu. Entah mengapa anak-anak dari keluarga Harris tampaknya tidak terlalu terlena atas semua yang telah mereka miliki saat ini.     

"Jadi apa keperluan Kakak mengajak saya kemari?" tanya Siska langsung pada intinya, walau sebenarnya ia juga tahu jika hal itu pastilah ada hubungannya dengan Davine, seperti apa yang telah ia singgung dalam panggilan telepon sebelumnya.     

Sesaat Malvine kembali menyeruput kopi hitam miliknya, sebelum akhirnya ia memulai percakapan itu.     

"Ini tentang Davine!" ujar lelaki itu membuka pembicaraan mereka.     

Siska tak terlalu terkejut akan hal itu, selain mereka memang sempat menyinggungnya, ia juga sudah menduga hal itu bahkan ketika Malvine menyebutkan namanya dalam panggilan telepon beberapa saat yang lalu itu.     

"Apa kau tahu jika saat ini Davine menghilang?" sambung Malvine.     

"Ya, aku tahu, dalam beberapa minggu ini ia memang sudah tak pernah terlihat lagi di kampus," jawab Siska membenarkan hal itu.     

Malvine mengangguk, ia sudah seperti sorang manager yang sedang mewawancarai seorang wanita yang sedang melamar pekerjaan di perusahaan miliknya. Merasa situasi terasa sedikit canggung, Malvine segera mencoba sedikit mencairkan suasana saat itu.     

"Sebelum itu, bagaimana kabarmu, rasanya sudah cukup lama kita tidak bertemu semenjak pertemuan kita di rumah sakit saat itu," ujar Malvine, untuk sesaat ia mencoba sedikit mengubah topik pembicaraan itu, sebelum nantinya ia akan kembali masuk ke dalam topik itu lagi.     

Sedikit berbincang tentang hal-hal kecil, setelah merasa suasana cukup mencair, Malvine segera kembali mengiring topik pembicaraan mereka ke topik semula.     

"Kapan terakhir kali kau bertemu dengan Davine, saat ini aku bahkan tak bisa menghubunginya sama sekali. Aku takut terjadi sesuatu padanya!" tanya Malvine.     

Siska yang tak ingin ada orang lain yang tahu akan pertemuan yang ia dan Davine lakukan pada hari ulang tahunya itu segera berbohong dan mengatakan jika terakhir kali mereka bertemu adalah saat ia menjenguk lelaki itu di rumah sakit. Entah mengapa wanita itu kini sangat berhati-hati dalam menjaga informasi yang ia miliki tentang mantan kekasihnya itu.     

"Benarkah, itu sayang sekali. Dalam beberapa minggu ini kami telah hilang kontak dengannya, apa kau tahu jika saat ini pihak Kepolisian sedang mencurigai lelaki itu sebagai pelaku pembunuhan dari kasus kematian Annie sekaligus Ryean yang menjadi korban terakhir pembunuhan berantai yang terjadi di kota ini!" jelas Malvine. Ia mengatakan hal itu pada Siska karena ia tahu wanita itu memiliki sesuatu yang sepesial dengan adik angkatnya itu.     

Mendengar hal itu Siska segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya, ia bukanya tidak menduga akan hal itu, namun pernyataan langsung yang ia dengar dari Malvine itu seketika menegaskan apa yang menjadi dugaannya selama ini adalah benar.     

"Bagaimana bisa, apa ada hal yang bisa membuktikan hal itu? Sambut Siska, walau ia tahu pasti jika foto-foto yang ia temukan di kamar Hanna itu pasti adalah bukti yang menjadi tiang pendukung bagi pihak Kepolisian untuk mencurigai Davine sebagai pelaku dari pembunuhan itu.     

Saat ini pihak Kepolisian telah mengantongi dua buah bukti permulaan, dalam hukum hal tersebut memang telah memenuhi syarat bagi mereka untuk menetapkan seseorang sebagai terduga pelaku. Bahkan Malvine sekalipun tak dapat membantah hal itu.     

"Untungnya sampai saat ini belum ada bukti yang cukup valid untuk menegaskan hal itu. Namun akan sangat berbahaya jika pihak Kepolisian sampai dapat meringkus Davine. Bisa saja mereka memaksa Davine untuk mengakui hal yang sebenarnya tidak ia lakukan!" tukas Malvine.     

Ia juga menjelaskan jika saat ini tentu pihak Kepolisian sedang membutuhkan seseorang untuk mereka jadikan kambing hitam dalam kasus pembunuhan berantai yang sampai saat ini telah terjadi.     

Siska juga tak menyangkal apa yang baru saja lelaki itu utarakan, tentu ia juga sangat tahu betul jika saat ini pihak Pemerintah dan Kepolisian sedang sangat merasa tidak diuntungkan sebab ramainya isu-isu miring yang tengah beredar di warga kota saat ini, di tambah para mahasiswa yang saat ini juga sedang gencar-gencarnya melakukan orasi guna dilakukannya pencabutan atas kebijakan jam malam yang sedang berlangsung di kota tersebut.     

"Aku sangat setuju akan hal itu!" sambut Siska.     

"Tentu saja mereka tidak akan segan-segan menjadikan Davine sebagai kambing hitam jika saja hal itu terjadi," tambah wanita itu.     

"Lalu apa yang harus kita lakukan saat ini?" tanya wanita itu. Tentu saja ia tak ingin hal seperti itu terjadi pada Davine.     

"Itu sudah jelas. Kita harus menemukan keberadaan Davine sebelum pihak Kepolisian menemukannya terlebih dahulu!" tukas Malvine.     

Yang menjadi permasalahannya saat ini adalah, di mana keberadaan lelaki itu, jika pihak Kepolisian saja sampai saat ini tak mampu menemukannya, bagaimana dengan mereka yang notabenenya hanyalah warga sipil yang tidak terlatih dalam melakukan pencarian dapat menemukan di mana saat ini Davine sedang bersembunyi.     

"Apa Kakak, mempercayai jika Davine adalah pelaku pembunuhan itu?" tanya Siska.     

"Tentu saja tidak!" jawab Malvine tegas.     

"Ia bahkan sudah lama tidak berhubungan dengan Annie, bagaimana bisa ia terlibat dalam hal itu," tambahnya lagi.     

"Untuk foto-foto yang mereka jadikan bukti, bisa saja hal itu hanyalah sebuah kebetulan semata!" tambahnya lagi. Walau kemungkinannya sendiri sangatlah kecil, namun bukan berarti dengan adanya foto itu mereka bisa menyimpulkan dengan mudah jika Davine adalah pelaku dari pembunuhan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.