Another Part Of Me?

Part 4.7



Part 4.7

0Seperti apa yang baru saja dikatakan Malvine, Siska juga sebisa mungkin berusaha untuk tidak mempercayai hal itu, keyakinannya pada Davine sangatlah tinggi.     

Ia juga tak begitu terlalu terkejut ketika ia mendengar pernyataan itu dari Malvine, walau selama ini Davine kerap bercerita akan persahabatan antara dirinya dan Annie, namun nyatanya Siska bahkan tidak pernah sekalipun melihat mereka bersama, lantas mengapa Davine bercerita seolah mereka masih bersahabat hingga saat itu, pikirnya. Apakah hal itu hanya bualan Davine semata, atau mungkin mereka memang masih bersahabat sampai saat itu. Siska benar-benar dibuat bingung, ia tak tahu harus mempercayai Davine atau kakak angkatnya itu.     

"Apa benar mereka sudah lama tak berhubungan?" tanya Siska penasaran.     

"Ya, itu sudah lama sekali, hubungan antara mereka harus berakhir setelah kecelakaan itu terjadi!" jelas Malvine.     

"Apa, kecelakaan?" tanya Siska lagi, ia semakin dibuat penasaran akan hal itu.     

Malvine pun segera menjelaskan apa yang telah terjadi pada mereka di waktu kecil dulu, ia juga sangat menyayangkan bagaimana kejadian itu bisa terjadi, namun yang paling membuatnya kesal adalah sikap keluarga Annie yang seolah sangat memberatkan Davine atas terjadinya kecelakaan itu.     

"Setelah kejadian itu, pihak Keluarga Annie segera melarang mereka untuk berteman lagi, bahkan hanya untuk bertemu saja rasanya itu adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan," jelasnya.     

"Setelah kejadian itu, perselisihan antara keluarga Harris dan keluarga Annie tak dapat terhindarkan. Mereka seolah menyalahkan keluarga kami atas apa yang telah menimpa Annie saat itu," tambah Malvine.     

"Saat itu Annie adalah satu-satunya teman yang Davine miliki, lelaki itu tampak sangat terpukul atas kejadian yang menimpa mereka!" tambahnya lagi.     

Mendengar hal itu Siska benar-benar dibuatnya tercengang, ia tak pernah mengetahui jika hal seperti itu pernah terjadi sebelumnya, kini rasanya ia sangat tahu seperti apa rasa bersalah yang harus ditanggung oleh mantan kekasihnya itu. Namun jika itu benar, lantas apakah semua yang Davine ceritakan tentang hubungannya dengan Annie selama ini adalah kebohongan semata.     

Seketika Siska kembali teringat akan pernyataan Davine, sebelumnya lelaki itu pernah mengatakan jika ada beberapa ingatan yang memang seolah menghilang darinya. Jika itu benar, bisa saja Davine memang benar-benar tidak dapat mengingat kejadian itu, yang di mana memaksa dirinya untuk membuat skenarionya sendiri dan berpikir jika hubungan antara dirinya dan Annie masihlah baik-baik saja. Degan kata lain semua hubungan baik yang kerap lelaki itu ceritakan padanya hanyalah khayalan Davine semata. Sungguh lelaki yang malang, pikir Siska.     

"Lalu apa yang harus kita lakukan saat ini?" tanya Siska. Wanita itu mulai merasakan perasaan yang kian berkecamuk di dalam dirinya.     

"Jika kita bisa menemukan Davine sebelum pihak Kepolisian menemukannya, aku bisa saja mengirimnya ke tempat yang sangat jauh, aku bisa memastikan hal itu, dan tentu Davine juga akan sangat aman berada di sana," jawab Malvine. Lelaki itu menatap lekat mata wanita itu, ia seolah tahu jika saat itu Siska mengetahui sesuatu tentang Davine.     

Siska menundukkan wajahnya, ia berusaha menghindar dari tatapan itu, bagaimanapun ia punya firasat yang tidak baik tentang lelaki yang kini sedang berada di depannya. Ia tak bisa begitu saja memberitahukan jika setidaknya Davine masih berada di kota itu. Ia hanya belum bisa mempercayai orang lain, bahkan jika itu adalah kakak angkat dari Davine sendiri.     

Siska pun sebenarnya sedikit bingung mengapa ia seolah tak dapat mempercayai lelaki yang kini berada di hadapannya itu, namun intuisinya berkata seperti itu, ia tak dapat menepis kata hatinya, karena pada dasarnya seperti itulah cara wanita berpikir, ia tak hanya menggunakan otaknya saja, mereka lebih cenderung mendengarkan kata hatinya juga.     

"Sayangnya aku benar-benar tidak tahu di mana Davine saat ini!" ujar Siska. Ia masih ragu untuk memberikan informasi yang ia ketahui tentang Davine pada lelaki itu.     

"Aku pikir mungkin saja kau sedikit mengetahui sesuatu, namun jika begitu adanya, aku tak dapat berkata apa-apa lagi," sambut Malvine.     

"Apa kau bisa memberitahu aku jika kau menemukan sesuatu tentang Davine. Aku sangat menghawatirkan adik angkatku itu!" pinta Malvine, lelaki itu tampak sangat berharap pada Siska.     

"Baiklah, aku akan segera menghubungi Kakak, jika aku mengetahui sesuatu tentang Davine," jawab Siska.     

Setelah percakapan itu, Siska segera pamit untuk undur diri, tampaknya ia tak ingin berlama-lama lagi dengan lelaki itu, ia bukanya tak ingin membantu pihak Keluarga Harris, namun nyatanya ia bahkan juga tidak mengetahui di mana keberadaan sang mantan kekasihnya itu, yang ia tahu hanyalah jika saat ini mungkin saja Davine masih berada di sekitar kota itu.     

"Maaf kak, sepertinya saya harus pamit sekarang!" tukas Siska, ia sedikit tak enak hati karena saat itu ia masih belum bisa memutuskan untuk membantu lelaki itu atau tidak.     

"Apa kau mau aku antar?" tawar Malvine.     

Tentu saja Siska segera menolak tawaran itu, ia tak ingin merepotkan lelaki itu.     

"Tidak perlu Kak, saya bisa pulang sendiri!" tolak Siska ramah.     

"Baiklah jika begitu, hati-hatilah di jalan, aku rasa kota ini sedang benar-benar tidak aman!" sambut Malvine, lelaki itu tampak melirik jam di tangan kirinya.     

Siska pun segera meninggalkan cafe itu, sementara Malvine memutuskan untuk tetap berada di tempat itu, ia lebih memilih untuk menikmati secangkir kopi hitam yang telah ia pesan dengan sebatang rokok mild yang baru saja ia bakar.     

Sepeninggalan Siska, Malvine masih saja berkutat dengan pikirannya sendiri, kini ia tak tahu harus mencari Davine seperti apa, ia tahu jika Davine bukanlah lelaki yang bodoh, tentu ia akan sangat waspada dan berhati-hati dalam menentukan tempat persembunyiannya. Dengan kata lain, baik dirinya dan pihak Kepolisian, mereka akan sama-sama mengalami kendala dalam mencari di mana keberadaan lelaki itu.     

Siska masih belum bisa mengambil keputusan apakah ia lebih baik memberitahu Malvine mengenai pertemuannya dengan Davine beberapa saat yang lalu, atau malah ia lebih baik bungkam dan tak memberitahukannya saja. Jika dipikirkan lagi seharusnya tidak ada salahnya mempercayai Malvine, bagaimanapun juga ia adalah keluarga dari mantan kekasihnya itu, yang menjadi hal aneh adalah mengapa dirinya merasa enggan untuk melakukan hal itu, jika dipikirkan secara logika seharusnya lelaki itulah adalah orang yang paling bisa ia percaya untuk saat ini. Namun sekali lagi, Siska lebih memilih untuk mendengarkan kata hatinya, lagi pula informasi yang ia miliki saat itu tampaknya tak akan cukup membantu untuk dapat menemukan keberadaan Davine saat ini.     

Dalam percakapannya barusan, ada satu hal yang ia tunggu keluar dari mulut Malvine saat itu. Siska menunggu lelaki itu membahas perihal Davine yang menurutnya memiliki kepribadian ganda dalam dirinya. Namun tampaknya lelaki itu tidak mengetahui akan hal itu, apa benar mereka sekeluarga tidak mengetahui jika Davine bisa saja mengidap DID seperti yang Davine dan ia pikirkan saat ini. Rasanya sangat tidak masuk akal jika mereka yang notabenenya adalah keluarga dan orang terdekat Davine tidak menyadari hal itu. Walau di satu sisi Siska juga tahu jika hal itu memang tidak cukup mudah untuk disadari, karena memang perbedaan antara dua kepribadian milik Davine itu tidaklah terlalu mencolok.     

******     

Malvine memasuki sebuah kamar apartemen secara paksa, saat itu keadaan pintu kamar apartment itu memanglah tidak terkunci, sedang seorang lelaki yang berada di dalamnya tampak sangat kaget dengan kedatangan Malvine yang sangat tiba-tiba.     

Buuuuuukkkk ...     

Sebuah tinju mendarat tepat di wajah lelaki pemilik kamar apartemen itu.     

Tak merasa puas Malvine segera mendaratkan pukulan demi pukulan ke arah lelaki itu, sedang sang lelaki tampak hanya diam dan tak melakukan perlawanan sedikit pun.     

"Mengapa kerjamu sangat lamban?" bentak Malvine pada lelaki itu.     

"Tampaknya sampai saat ini kau masih belum bisa menjalankan apa yang telah aku perintahkan padamu!" tambah Malvine, masih penuh dengan emosinya.     

"Seharusnya kita bisa menyingkirkannya saat ini!" sambung Malvine.     

Sedangkan lelaki yang sedari tadi sedang ia ajak berbicara itu hanya bisa diam dan menundukkan wajahnya saja.     

"Sa ... saya sudah berusaha Bos, saya pikir rencana ini akan berjalan dengan baik!" jawab lelaki itu.     

"Lalu apa, kau tahu apa yang saat ini sedang terjadi saat ini kan!" bentak Malvine lagi.     

Lelaki itu masih terus menundukkan wajahnya, ia bahkan tak berani untuk menatap langsung mata Malvine yang saat itu masih terlihat penuh dengan kemarahan.     

"Kau benar-benar tidak berguna!" tambah Malvine, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan kamar apartemen itu masih dengan penuh kekesalannya.     

Sedang lelaki yang baru saja menjadi tempat pelampiasan dari amarah Malvine itu masih saja terus menunduk, ia sangat kesal dengan apa yang saat ini tengah terjadi, hal itu semakin membuat dendam dalam dirinya kian membara, ia bersumpah suatu saat Davine akan merasakan pembalasan darinya.     

******     

Davine menatap pada salah satu lantai yang berada di pondok itu, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Bagaimana tidak, setiap kali ia melangkahkan kakinya pada lantai itu, maka lantai tersebut selalu berderit dan terasa sangat berbeda dengan lantai lainnya yang berada di pondok milik Lissa itu.     

Perbedaannya memang tidak begitu kentara, setiap lantai yang terbuat dari kayu yang terdapat di pondok itu memanglah selalu mengeluarkan derit saat diinjak, namun berbeda dengan yang satu ini, entah mengapa Davine merasakan jika derit yang dihasilkan sedikit lebih nyaring dari lantai lainnya. Padahal jika dilihat sekilas tidak ada yang aneh dari lantai tersebut.     

Di dalam pondok milik Lissa itu, setiap lantai memang dibalut menggunakan sebuah karpet, hal itu membuat Davine tak dapat melihat apa yang berada di balik karpet tersebut, yang ia tahu hanyalah jika setiap lantai yang berada di pondok itu pastilah terbuat dari kayu, ia bisa mengetahuinya dari bunyi derit yang di hasilkan setiap kali seseorang berjalan di lantai tersebut. Namun untuk yang satu ini rasanya cukup berbeda, derit yang dihasilkan oleh lantai di area itu jelas terdengar lebih nyaring dari yang lainnya, pikir Davine.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.