Another Part Of Me?

Part 4.9



Part 4.9

0Beberapa hal yang disinggung Ryean dalam catatan dengan format docx itu sedikit menarik perhatian Hanna. Dalam catatan itu Ryean seolah menegaskan jika saat itu Annie memang memiliki hubungan dan bahkan terkesan sangat mencintai sosok Davine. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pernyataan dari Bella dan sang ibu dari Annie sendiri. Menurut kesaksian kekasihnya itu, Annie dan Davine telah lama tak menjalin hubungan, hubungan di antara mereka bahkan telah berakhir ketika mereka masih kecil dulu, tepatnya setelah kecelakaan yang menimpa Annie itu terjadi, bahkan Bella tampaknya tak mengetahui siapa sosok Davine, yang ia tahu hanya sewaktu kecil Annie pernah mengalami kecelakaan saja yang membuatnya trauma, itu saja. Hal ini juga diperkuat oleh pengakuan sang ibu yang mengatakan jika Annie selama ini hanya memiliki seorang sahabat yang tidak lain adalah Bella sendiri.     

Tentu jika dipikirkan baik-baik maka hal itu memang terasa sangat janggal. Bagaimana mungkin seorang yang telah lama tak menjalin hubungan bisa menyimpan perasaan cinta seperti itu, pikir Hanna.     

Tentu sangat tidak wajar jika hubungan yang hanya terjalin semasa kecil akan membuahkan perasaan cinta. Berbeda halnya jika hubungan mereka memang terus terjalin sampai saat itu, maka sangat wajar jika Annie memiliki perasaan yang spesial terhadap Davine, seperti yang telah dijelaskan oleh Ryean di dalam catatannya itu.     

Di dalam catatan itu juga Ryean turut menyatakan dengan sangat gamblang akan ke tidak kesukaannya terhadap Davine, bagaimanapun juga Davine adalah alasan utama Annie menolak pernyataan cintanya saat itu. Lantas mengapa saat itu Ryean hanya memberikan sedikit bukti-bukti yang mengarahkan mereka untuk mencurigai Davine sebagai tersangka pelaku pembunuhan Annie. Jika ia punya bukti valid tentang penyebab kematian wanita itu, lantas mengapa Ryean tak memberikan bukti itu saja, mengapa Ryean malah membuat hal ini menjadi rumit, apa ada sesuatu yang sengaja berusaha Ryean tutup-tutupi akan kejadian yang menimpa Annie. Kini semua pemikiran itu mulai menjadi fokus utama bagi Hanna.     

******     

Davine terkejut setengah mati mendapati kondisi pondok milik Lissa yang telah menjadi sangat berantakan, sedang ia melihat beberapa ceceran darah yang berada di sekitar area pondok itu.     

Rasa panik kian menjadi di pikirannya, rasanya baru sebentar ia meninggalkan pondok itu guna mencari perbekalan makanan di hutan itu. Kini ia sangat tercengang mendapati situasi dan kondisi di area sekitar pondok milik Lissa itu, perasaannya seketika berubah tidak enak, ia tahu sesuatu pasti telah terjadi pada wanita itu.     

Benar saja, saat itu Davine tidak menemukan keberadaan Lissa di pondok miliknya, jelas sekali telah terjadi sesuatu yang sangat tidak diinginkannya di tempat itu sesaat kepergiannya untuk mencari bahan makanan di dalam hutan tempat mereka tinggal saat itu. Davine mengutuk dirinya, bagaimana bisa ia meninggalkan Lissa yang masih dalam kondisi terluka seperti itu seorang diri.     

Berkali-kali Davine meneriakkan nama Lissa, ia berharap apa yang sedang ia pikirkan saat itu tidaklah seperti kenyataannya, namun tentu itu adalah hal yang sia-sia, Lissa telah menghilang bersama kekacauan yang telah terjadi di pondok itu.     

Davine berusaha mengikuti setiap noda darah yang tercecer di beberapa bagian pondok itu. Noda darah itu mengarahkan Davine menuju ke arah luar pondok tersebut, jelas sekali jika saat itu tampaknya Lissa telah diserang oleh seseorang dan membawanya pergi dari sana.     

Davine mendapati kalung milik Lissa yang tergeletak tidak jauh dari pondok itu, kalung dengan mata berbentuk kunci itu tergeletak begitu saja dengan sedikit noda darah yang menempel di benda tersebut.     

"Sial!" maki Davine kesal.     

Tak membuang waktu, Davine segera berlari menuju arah yang ditujukan oleh darah yang tercecer di sana. Ia tak lagi peduli akan apa yang sedang terjadi, yang ada di dalam pikirannya saat itu hanyalah bagaimana caranya untuk dapat menemukan keberadaan wanita itu.     

Sialnya setelah jauh mengikuti jejak dari darah yang tercecer itu ia masih belum mendapati tanda-tanda akan keberadaan wanita itu, sedangkan kini noda darah itu juga telah berakhir di penghujung pencariannya itu.     

Davine terus saja meneriakkan nama Lissa, ia berharap wanita itu mungkin saja akan menjawab panggilan darinya, namun sekali lagi, tak ada sedikit pun jawaban yang ia terima, hanya dengung dan suara hewan-hewan saling bersahutan yang terdengar olehnya saat itu.     

Davine menjatuhkan dirinya lemah di atas tanah yang menjadi tumpuannya, ia sangat menyesali kepergiannya saat itu, jika saja ia tak meninggalkan Lissa seorang diri di pondok itu, mungkin saja hal seperti itu tak akan terjadi.     

Davine bukanya tak menduga hal seperti itu bisa saja terjadi, ia sangat tahu jika luka yang diterima oleh Lissa beberapa saat yang lalu itu pasti adalah perbuatan yang disengaja oleh seseorang. Ia tahu mungkin saja saat itu Lissa sedang dikejar-kejar sebab sesuatu yang tidak ia ketahui, walau ia tak tahu penyebab akan hal itu, namun ia sangat yakin jika saat ini Lissa tengah dibawa secara paksa oleh orang tersebut.     

Berkali-kali Davine memaki kesal, ia terus saja mengutuk dirinya sendiri karena dengan bodohnya meninggalkan wanita itu seorang diri, sedang ia yakin jika seseorang yang kini membawa Lissa itu memang telah mengawasi mereka sejak kejadian yang menimpa Lissa beberapa waktu yang lalu.     

Dalam beberapa kesempatan, Davine terkadang merasa jika ia seolah melihat sesosok bayang-bayang yang terlihat bersembunyi di antara pepohonan di daerah sekitar pondok mereka. Saat itu ia memang beberapa kali mendapati hal tersebut, namun karena itu hanyalah penglihatan sekilas darinya, maka Davine berpikir jika mungkin saja itu hanya halusinasinya semata. Namun jika ia pikirkan baik-baik setelah apa yang telah terjadi saat itu, kini ia yakin jika saat itu yang ia lihat bukanlah sekedar halusinasinya saja, dengan kata lain memang ada seseorang yang telah mengintai mereka dalam beberapa waktu belakangan ini.     

Davine terus saja mencari keberadaan Lissa dengan penuh rasa putusan asa. Tentu saja bukan hal mudah untuk menemukan seseorang di tengah luasnya hutan itu, sedangkan kini tak ada lagi jejak yang tertinggal di sana, jejak darah itu telah berakhir hanya dalam jarak beberapa meter dari pondok milik Lissa.     

Davine menggenggam erat kalung milik Lissa yang dipenuhi dengan beberapa noda darah yang menempel di beberapa bagiannya, sekali lagi ia sangat menyesali keteledorannya dalam menjaga wanita itu.     

Setelah terus mencari keberadaan Lissa, akhirnya Davine mau tidak mau harus segera menghentikan pencariannya itu, hari telah mulai gelap, akan sangat berbahaya jika ia terus melanjutkan pencariannya di tengah gelapnya hutan itu, ia bahkan bisa saja tak dapat menemukan jalan untuk kembali ke pondok milik Lissa, bagaimanapun Davine masih belum terlalu menguasai setiap rute yang berada di area hutan tersebut.     

Setelah berulang kali memikirkannya, Davine akhirnya dengan berat hati memutuskan untuk kembali dan mengakhiri pencariannya terhadap Lissa, ia juga tidak mendapati sedikit pun jejak yang ditinggalkan oleh Lissa dan seseorang yang telah membawanya itu.     

Sampai di pondok, Davine segera terduduk lemas, ia mengacak kasar rambutnya, rasa bersalah kini kian bersarang di hati lelaki itu, seandainya ia tak meninggalkan Lissa saat itu, mungkin saja kejadian itu tak akan menimpa Lissa.     

Davine kembali memeriksa setiap sudut pondok itu, jelas sekali kekacauan telah terjadi di sana, tampaknya Lissa memberikan perlawanan yang cukup hebat pada seseorang yang telah membawanya itu. Hal itu terlihat dengan sangat jelas dari kekacauan yang terlah terjadi di dalam pondoknya tersebut.     

Beberapa peralatan di dapur seperti, piring dan gelas terlihat pecah berserakan di mana-mana, sedang beberapa barang lainya juga terlihat sudah tak lagi pada tempatnya, jelas sekali telah terjadi pertikaian hebat di sana, tampaknya Lissa telah mencoba memberikan perlawanan yang sebisa mungkin ia lakukan.     

Melihat banyaknya darah dan sebuah pisau dapur yang tergeletak di lantai pondok itu, membuat Davine memikirkan hal yang sangat buruk tentang wanita itu, belum lagi luka yang diderita Lissa juga masih belum sembuh. Davine berteriak kencang, ia berusaha mengendalikan perasaan yang kini bercampur aduk di dalam dirinya.     

Davine memungut pisau yang terdapat noda darah di ujungnya, pisau itu tergeletak begitu saja dengan beberapa ceceran darah yang kini mulai mengering di lantai pondok itu.     

Keadaan kacau di dalam pondok itu membuat karpet yang menutupi lantai pondok itu tersingkap. Membuat Davine kembali teringat akan sesuatu janggal yang sempat ia temukan beberapa waktu yang lalu mengenai suara lantai kayu yang dihasilkan oleh lantai pondok tersebut.     

Kini atensi Davine sedikit teralihkan oleh hal itu, ia segera mencoba mencari titik di mana kejanggalan yang telah ia temukan pada lantai pondok itu beberapa saat yang lalu.     

Setelah mendapatkan titik itu, Davine kembali menghentakkan kakinya pada ke lantai yang terasa kopong itu, ia sangat yakin jika ada sesuatu yang tersembunyi di sana.     

Benar saja, setelah menyingkap karpet yang melapisi lantai kayu itu, Davine menemukan sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik karpet itu. Pintu itu menyatu dengan bagian lantai kayu yang terdapat di pondok itu. Tak seperti yang lain, Davine telah memastikan jika di balik pintu kecil itu tampaknya terdapat sedikit ruang yang bisa saja dijadikan tempat untuk menyimpan sesuatu dengan sangat rahasia.     

Beberapa kali Davine mengetuk-ngetuk pintu kecil itu, tepat seperti dugaannya, rasanya terdapat sedikit ruang kosong di balik pintu kecil itu. Davine berusaha membuka pintu itu, namun ia sedikit mengalami kendala karena tak terdapat gagang atau sesuatu yang dapat mempermudahnya untuk membuka pintu tersebut.     

Tak kehabisan akal, Davine segera mencungkil celah yang terdapat pada pintu itu dengan pisau dapur yang baru saja dipungutnya di lantai itu, namun sial, tampaknya pintu kecil itu terkunci dengan sangat rapat. Di sana juga terdapat sebuah lubang kecil yang tampaknya berguna untuk memasukkan anak kunci guna membuka pintu tersebut.     

"Sial ini terkunci!" gumam Davine, lelaki itu tampak sedikit kesal.     

Sesaat ia segera teringat akan mata kalung berbentuk kunci milik Lissa yang baru saja ia temukan di luar pondok itu.     

"Jangan-jangan ini kuncinya?" gumamnya lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.