Another Part Of Me?

Part 4.10



Part 4.10

0Davine segera mengeluarkan mata kalung berbentuk kunci milik Lissa itu dari kalungnya, dengan harapan mata berbentuk kunci itu dapat membuka pintu itu.     

Cklaaakk ....     

Benar saja, hanya dengan sekali percobaan kunci pada pintu kecil itu kini telah terbuka, Davine segera kembali mencungkil sela pintu itu dengan pisau dapur yang dipegangnya, tampaknya walau pintu kecil itu sudah tak terkunci lagi, namun rasanya tetap sukar untuk membukanya. Butuh sedikit usaha lebih sampai akhirnya kini pintu kecil itu dapat terbuka dengan sempurna.     

Tepat seperti dugaannya, di balik pintu kecil itu terdapat ruang kecil berukuran sekitar 40cm di tiap sisinya, itu lebih terlihat seperti kotak penyimpanan rahasia bagi Davine yang melihatnya.     

Di dalam ruang kecil itu terdapat sebuah kotak medis dan beberapa jurnal yang tampaknya sangat penting. Davine segera membuka kotak medis itu, ia sangat cukup terkejut dengan isi dari kotak medis itu, kotak itu berisikan berbagai jenis pisau bedah dan beberapa obat-obatan lainnya yang Davine sendiri tidak tahu untuk apa semua hal itu. Menanggalkan hal itu, kini atensi Davine beralih pada beberapa jurnal yang juga terdapat di ruang penyimpanan kecil itu. Tak membuang waktu Davine pun segera meraih dan membuka salah satu jurnal itu, rasa penasarannya telah benar-benar berada di puncak kala itu.     

Dari jurnal pertama itu, kini Davine dapat mengetahui sedikit tentang identitas Lissa. Dalam jurnal itu tertera nama panjang dari Lissa, dan nama dari wanita itu sungguh benar-benar membuat Davine tercengang. Bagaimana tidak, nama belakang dari wanita itu tampak sangat tidak asing baginya.     

"Lissa Cornner?" ujar Davine hampir terpekik.     

Sebuah nama yang tentunya sangat tidak asing lagi bagi Davine, hal itu juga menegaskan jika Lissa dan kakek Robert ternyata memiliki hubungan darah. Selama ini Davine memang tidak mengetahui perihal nama lengkap dari mereka masing-masing, mereka hanya memperkenalkan nama depan mereka tanpa saling memberitahukan nama keluarga yang mereka sandang, namun hal ini tentu sangat di luar dari dugaan Davine. Ia benar-benar tak habis pikir jika Lissa ternyata memiliki hubungan darah dengan pria tua yang semasa kecil itu merawatnya     

Jurnal itu diberi judul, The Cornner family's death journal. Davine memicingkan matanya, tentu ia dibuat sangat bertanya-tanya dengan seperti apa isi dari jurnal milik Lissa itu, apa yang ia bahas dalam jurnal itu, apa ada yang salah dalam kematian keluarga Cornner seperti yang tertera dalam judul jurnal itu, pikirnya.     

Dalam catatan awal, jurnal itu pertama-tama membahas akan silsilah keluarga Cornner terlebih dahulu. Dalam jurnal itu menjelaskan bagaimana keluarga itu berdiri dan apa hubungan antara keluarga tersebut dengan kota yang menjadi tempat tinggal mereka saat itu.     

Lissa menjelaskan jika keluarga Cornner adalah keluarga yang berada di kasta kedua. Kembali ke masa lalu ketika kota itu masih belum terbentuk, terdapat dua keluarga besar yang menjadi penghuni kota itu, dalam jurnal itu mereka menyebut diri mereka sebagai suku asli. Jauh sebelum era modern terdapat dua suku yang menjadi penduduk wilayah atau asli kota itu, namun bukanya hidup rukun dan saling berdampingan, kedua belah suku itu selalu terlibat peperangan guna menentukan siapa penguasa sejati dari wilayah tersebut. Singkat cerita keluarga Cornner yang merupakan keluarga Lissa harus mengaku kalah dalam peperangan itu. Berlandaskan hasil dari peperangan itu, sudah menjadi peraturan bagi pihak Keluarga yang kalah untuk mengabdikan dirinya pada pihak Keluarga pemenang, hal itu menjadikan keluarga Cornner sebagai keluarga di kasta kedua dan harus dengan setia melayani keluarga pemenang, yang saat itu menjadi pemegang kasta utama.     

Davine terus membaca jurnal itu, ia bahkan belum pernah mengetahui bagaimana sejarah asli dari kota itu. Dengan kata lain keluarga Cornner adalah salah satu dari dua suku asli yang telah lama menduduki wilayah itu sebelum akhirnya mulai terasing karena invasi yang dilakukan oleh pihak eksternal, pikir Davine.     

Tentu saja pemerintah tidak dapat dengan mudah dalam menyatukan tiap-tiap wilayah yang akhirnya bersatu menjadi sebuah negara saat itu. Mereka mau tidak mau harus melakukan hal itu secara paksa, karena pada dasarnya beberapa wilayah dulunya memang telah di kuasai oleh suku-suku asli mereka sendiri, dan tentu saja bukanlah hal mudah dalam menyatukan beberapa wilayah yang notabenenya telah memiliki pemimpin mereka masing-masing itu. Sama halnya dengan kota itu, yang dahulu wilayah itu telah menjadi kekuasaan keluarga kasta pertama.     

Banyak metode yang dilakukan pemerintah guna mengambil alih wilayah-wilayah yang nantinya akan tergabung secara resmi menjadi bagian negara itu. Tak jarang mereka harus melakukan hal yang di luar akal sehat demi mendapatkan wilayah yang menjadi kekuasaan dari suku-suku asli yang sedari awal mendiami wilayah tersebut. Walau nyatanya ada juga beberapa yang berhasil mereka ambil alih hanya dengan pendekatan tanpa melakukan paksaan atau tindak kekerasan.     

Dalam kasus wilayah yang dulunya dikuasai oleh keluarga kasta pertama dan keluarga Cornner sebagai kasta kedua itu, pihak pemerintah harus mau tidak mau merebut wilayah itu secara paksa, setelah berkali-kali gagal dalam melakukan pendekatan dengan berbagai cara dan metode, mereka akhirnya memilih untuk memerangi keluarga itu guna merebut wilayah yang menjadi kekuasaan mereka. Hal ini semata-mata untuk mendirikan sebuah negara yang terstruktur dan terorganisir secara menyeluruh.     

Dalam upaya itu pemerintah tentu saja berhasil mengambil alih dan menjatuhkan kedua keluarga yang menjadi penduduk asli wilayah itu. Membuat mereka tersaring setelah kekalahan yang mereka terima dalam upaya mempertahankan wilayah kekuasaan mereka.     

Kedua keluarga itu sangat menentang keras akan invasi yang coba dilakukan oleh pihak Pemerintah, mereka tak ingin wilayah mereka terusik dengan adanya para pendatang lain di kota itu. Bagi mereka wilayah kekuasaan itu hanya boleh didiami oleh mereka yang menjadi suku asli di wilayah itu, tentu itu sangat bertentangan dengan apa yang menjadi progres pemerintah kala itu.     

Di saat itulah pemerintah melakukan aksi kejinya guna menyingkirkan kedua keluarga yang merupakan suku asli dari wilayah telah lama menjadi daerah kekuasaan dua suku asli itu. Pembantaian besar-besaran pun dilakukan. Setelah tak menemukan titik temu dalam upaya perundingan dan negosiasi yang mereka lakukan, akhirnya pihak pemerintah mau tidak mau harus melakukan aksi tegas pada mereka yang merupakan suku asli dari wilayah tersebut. Lantas apa aksi tegas yang harus diambil pemerintah saat itu. Karena tak kunjung menemukan titik temu akhirnya pihak Pemerintah memutuskan untuk menyingkirkan kedua keluarga itu secara paksa. Dengan kata lain mereka memilih memusnahkan dan membantai kedua suku asli itu, hal ini bertujuan untuk mempermudah pihak pemerintah dalam menata ulang wilayah tersebut.     

Pembantaian besar-besaran itu pun dilakukan. Pihak Pemerintah tampaknya sudah tak punya pilihan lain. Walau kembali mendapatkan perlawanan dari kedua suku asli itu, tampaknya itu bukan hal yang berarti bagi mereka, bagaimanapun mereka mempunyai tentara yang sangat terorganisir dengan perlengkapan dan senjata tempur jauh lebih mumpuni dari pada senjata tradisional yang di gunakan oleh mereka para suku asli wilayah itu.     

Kekacauan pun tak dapat dihindari, para penduduk asli wilayah itu dibantai dengan sangat keji, pihak pemerintah terlebih dahulu menargetkan para petinggi yang menjadi pemimpin dari kedua suku itu. Seolah belum puas setelah menghabisi para pemimpin itu, para tentara dari pihak Pemerintah itu juga menghabisi setiap penduduk asli wilayah itu tanpa pandang bulu, entah itu lansia, anak muda, balita, semua tak luput menjadi target kekejian mereka. Tak banyak yang selamat dari tragedi pembantaian itu, beberapa yang selamat hanyalah mereka yang telah sempat melarikan diri dan bersembunyi ke hutan-hutan di wilayah tersebut. Setidaknya begitulah cara pemerintah mengambil alih wilayah itu dari mereka yang merupakan suku asli dari wilayah tersebut.     

Davine yang membaca jurnal itu kembali dibuat tercengang, ia benar-benar tak percaya dengan hal keji yang dilakukan perintah pada mereka suku asli wilayah itu. Tentu saja sejarah seperti itu tidak akan dibeberkan oleh pihak Pemerintahan, tampaknya mereka berhasil menutupi pembantaian itu dengan sangat baik. Terbukti dengan Davine yang tidak pernah sekalipun mendengar hal itu, bahkan di masa sekolahnya hal itu juga tak pernah di angkat dalam mata pelajaran sejarah mereka.     

Dalam jurnal itu menegaskan jika hanya beberapa dari kedua keluarga itu yang berhasil selamat dari invasi yang pemerintah lakukan saat itu. Beberapa terdiri dari keluarga kasta pertama, sedang beberapa lainya terdiri dari keluarga kasta kedua.     

Kini jurnal itu mulai beralih ke pembahasan awalnya. Dalam jurnal itu menerangkan beberapa anomali aneh yang terjadi pada keluarga Cornner yang merupakan kasta kedua dari suku asli yang awalnya menduduki wilayah itu. Seperti yang tertera pada judul jurnal itu, tampaknya Lissa akan segera memasuki pembahasan di mana ia menemukan kejanggalan dari kematian tiap-tiap keluarganya itu.     

The Death with a smile, sebuah kematian yang merujuk pada sebagian besar penyandang nama keluarga Cornner tulis Lissa dalam jurnal itu. Jurnal itu menjelaskan bagaimana sebagian besar keluarga dari kasta kedua itu diketahui meninggal dengan ciri-ciri fisik yang sedikit aneh, entah bagaimana para jenazah dari setiap keluarga Cornner yang telah meninggal dunia selalu tampak seolah tersenyum.     

Membaca jurnal itu, seketika Davine kembali teringat pada momen kematian Kakek Robert, ia tahu jika sang kakek saat itu juga tersenyum dalam kematiannya, hal ini juga sangat tepat seperti apa yang Lissa tulis dalam jurnalnya.     

Lantas apa penyebab anomali aneh yang dialami oleh setiap jenazah dari keluarga Cornner itu, apa yang menyebabkan mereka mati dengan sebuah senyum yang terlihat mengembang di wajahnya. Tentu hal itu yang akan menjadi pembahasan dalam jurnal yang ditulis oleh Lissa saat itu.     

Dalam jurnal itu menyatakan jika sebagian besar kematian yang menimpa keluarga itu bukanlah kematian karena faktor eksternal. Entah bagaimana keluarga Cornner memiliki kecenderungan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri, dengan kata lain mereka kerap kali melakukan bunuh diri guna mengakhiri hidup mereka. Yang menjadi perhatian Lissa dalam tulisannya itu adalah, apa penyebab mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup mereka seperti itu. Hal ini nantinya akan Lissa jelaskan secara rangkum dalam jurnalnya itu. Tentu ini adalah hal yang sangat menarik bagi Davine, ia tak menyangka jika Lissa ternyata memiliki hubungan darah dengan Kakek Robert yang merawatnya sewaktu kecil dulu, lantas apa benar ada sebuah anomali aneh di balik senyuman yang tercetak di wajah Kakek Robert ketika kematiannya itu seperti apa yang Lissa tuliskan dalam jurnal buatannya tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.