Another Part Of Me?

Part 4.16



Part 4.16

0Siska mendengus kesal, sudah beberapa hari ini ia selalu mendapat pesan-pesan dari seseorang yang tak dikenalnya.     

Pesan itu sangat random, beberapa seolah merintih padanya, beberapa lainya bertuliskan sajak demi sajak dengan majas metafora yang terkadang terasa sangat disturbing. Siska sudah mencoba mengabaikan pesan-pesan itu, namun tampaknya sang pengirim pesan misterius itu sangat kekeh dengan apa yang dilakukannya, tentu saja hal itu semakin hari semakin membuat Siska terganggu.     

Siska tak dapat mengartikan makna dari puisi-puisi itu dengan benar, kosa kata yang digunakan terkesan aneh dan mengerikan, tak jarang tanpa sadar bulu kuduknya berdiri seketika saat membaca puisi-puisi yang dikirimkan oleh orang misterius itu padanya.     

Siska telah mencoba berpikir positif, baginya jalan pikiran sastrawan memang terkadang sulit sekali untuk dimengerti, namun bukannya sajak-sajak indah yang menyentuh hati, nyatanya tiap-tiap puisi itu seolah melambangkan sesuatu yang gelap. Permainan kata yang sungguh di luar nalar wanita normal sepertinya.     

Setelah ia mulai mendapatkan kiriman pesan dari orang misterius itu kini Siska menjadi sedikit paranoid, ia mulai takut pada sekelilingnya, ia tahu jika sang pengirim itu pastilah sedang mengintainya dari suatu tempat.     

Beberapa hari sudah ia mendapatkan kiriman puisi-puisi itu, beberapa hari pula kini Siska tampak enggan untuk bepergian ke mana-mana, sepulang dari kuliahnya ia selalu memutuskan untuk langsung pulang ke rumahnya, kiriman puisi-puisi itu membuatnya tidak nyaman untuk berada terlalu lama di luar rumah.     

Hanna yang melihat keanehan itu segera mempertanyakan apa yang telah terjadi pada Siska, ia tahu jika wanita itu sedang tidak baik-baik saja.     

Tak mudah bagi Hanna untuk mempertanyakan kekhawatirannya itu pada Siska. Tentu saja wanita itu tidak akan mudah untuk menceritakan apa yang sedang terjadi padanya, Hanna tahu jika wanita itu lebih suka memendam masalahnya sendiri. Namun dengan kegigihan Hanna akhirnya wanita itu dengan sedikit terpaksa mulai menceritakan keresahan yang ia alami itu pada Hanna.     

"Beberapa hari ini aku mulai mendapat kiriman pesan dari seseorang yang tak kukenal!" ungkap Siska.     

Hanna mengangguk paham, ia berusaha terus mendengar dan mencerna apa yang sedang Siska katakan saat itu.     

"Awalnya pesan itu sangat random, aku pikir itu hanya ulah orang iseng yang dengan random pula mengirimkan pesan-pesan itu pada siapa pun. Namun tampaknya aku salah, orang itu benar-benar rutin mengirimkan pesan itu padaku!" jelas Siska, ia menegaskan keresahannya.     

"Pesan seperti apa yang orang itu kirimkan padamu?" tanya Hanna, wajah lelaki itu kini terlihat sangat serius.     

"Awalnya ia hanya seolah menyapa saja, seperti mengucapkan selamat pagi atau selamat malam. Namun beberapa hari belakangan ia mulai mengirimkan aku sajak-sajak yang rasanya sedikit aneh," jawab Siska.     

"Jika seseorang akan memilih sesuatu yang indah ataupun cantik untuk mengungkapkan sebuah perumpamaan dalam puisinya, namun entah mengapa sang pengirim misterius ini lebih memilih hal-hal yang terasa sangat gelap seperti, darah, ataupun keji hal-hal yang sangat menjijikkan," tambah Siska.     

Wanita itu pun segera memperlihatkan beberapa puisi yang dikirimkan oleh pengirim misterius itu. Benar saja setelah membacanya Hanna segera mengerti mengapa Siska mengatakan hal seperti itu, bahkan bagi seseorang yang lumayan menyukai dunia sastra sepertinya, tak dapat dipungkiri jika pemakaian majas yang digunakan oleh pengarang puisi itu terasa di luar nalar. Walau sedikit banyaknya Hanna masih dapat mengerti apa makna dari setiap puisi yang dikirimkan oleh sang pengirim misterius pada adik sepupunya itu.     

"Apa kau pernah mencampakkan seseorang?" tanya Hanna tiba-tiba.     

Mendengar pertanyaan itu Siska segera merinding hebat. Ia memang tak dapat mengartikan setiap puisi itu dengan sangat baik, namun tampaknya dugaan jika puisi itu berisikan rasa kekecewaan yang mendalam adalah benar.     

"Aku rasa pencipta puisi ini ingin menyampaikan rasa kesedihan dan kekecewaannya padamu!" tukas Hanna.     

Seketika itu juga Siska segera teringat pada Kevin, rasanya satu-satunya orang yang ia kecewakan dalam beberapa waktu terakhir ini hanyalah lelaki itu. Ia tak dapat memungkiri hal itu, namun jika dipikirkan lagi rasanya wajar jika ia melakukan hal seperti itu, mengingat tindakan lelaki itu yang dirasa sudah sangat melewati batas. Namun di sisi lain ia juga tidak bisa menyimpulkan hal tersebut tanpa adanya bukti yang valid.     

Jika saat itu Siska sedang disibukkan oleh pemikirannya tentang Kevin. Berbeda dengan Hanna, setelah melihat dan membaca puisi-puisi itu entah mengapa ia mulai merasa sedikit familier dengan gaya tulisan yang digunakan oleh sang pengirim misterius itu, rasanya ia pernah membaca sesuatu yang seperti itu namun entah di mana, lelaki itu masih mencoba menggali ingatannya.     

Hanna telah menanyakan apakah Siska pernah mencoba menelepon atau mencari tahu siapa pemilik dari nomor pengirim pesan misterius itu. Siska mengatakan sekali waktu ia pernah mencoba melakukan hal itu, namun seseorang yang berada di balik panggilannya saat itu hanya diam dan enggan mengatakan apa pun dalam panggilan yang ia lakukan, hanya suara desah nafas dari orang itu yang terdengar di ujung panggilannya saat itu. Siska juga mengatakan jika nomor itu jarang sekali aktif, sang pengirim itu tampaknya dengan sengaja mengganti nomor telepon yang ia gunakan secara berkala, hal ini dapat di ketahui dari beberapa pesan yang dikirim dengan nomor telepon yang berbeda. Namun di satu sisi Siska sangat yakin jika pesan itu dikirim oleh orang yang sama.     

Hanna tak terlalu terkejut mendengar hal itu, tentu saja hal itu dilakukan sang pengirim guna menyembunyikan identitasnya agar tak dapat dilacak dengan mudah. Tampaknya sang pengirim pesan misterius itu cukup berhati-hati dalam melakukan aksinya.     

Hanna juga segera meminta nomor terakhir yang digunakan oleh pengirim pesan misterius itu, ia akan mencoba meminta tolong pada Sersan Hendrik agar sekiranya salah satu bawahannya bisa melacak nomor tersebut. Tentu saja apa yang dilakukan sang pengirim pesan misterius itu sudah termasuk tindak pidana ITE, menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman juga termasuk dalam kategori pengancaman.     

"Berhati-hatilah, banyak orang-orang yang tidak waras berkeliaran di dunia ini!" ujar Hanna. Kata-kata lelaki itu mengandung sangat banyak pengertian.     

******     

Kevin berjalan dengan pandangan yang tampak kosong, ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya saat itu. Setelah ia dilabrak oleh Siska beberapa waktu yang lalu, kini moodnya menjadi sangat buruk, ia merasa tertekan sebab kegagalan dari semua rencananya itu. Balas dendamnya pada Davine tampaknya belum juga berhasil ia lakukan.     

Di sebuah jalan Kevin mendapati seorang preman yang tampak sedang memalak seorang anak berseragam SMA, ia tak terlalu peduli dengan apa yang sedang terjadi saat itu, ia hanya terus berjalan seolah di sana tidak terjadi sesuatu apa pun, pandangannya benar-benar kosong.     

Jalan itu tampaknya cukup sepi, hanya terdapat mereka di tempat itu, sedang tak ada orang lain yang terlihat melintasi jalan tersebut.     

Kevin melihat beberapa kali anak berseragam SMA itu menerima pukulan dari sang preman, walau anak itu telah memberikan seluruh uang yang ia miliki namun tampaknya hal itu belum cukup bagi sang preman. Kevin yang melihat ketamakan dari lelaki itu hanya tersenyum sinis.     

Baaak ... buuuk ... baaak ... buukk ...     

Beberapa kali bogem dari sang preman mendarat tepat di wajah anak berseragam SMA itu, sedang sang anak tampak merintih kesakitan.     

"Hanya itu uang yang saya punya, tolong biarkan saya pergi," rintih anak berseragam SMA itu.     

Namun tampaknya sang preman tidak mempercayainya begitu saja, ia merogoh setiap saku yang dimiliki anak berseragam SMA itu dengan sangat kasar.     

Tak mendapat hasil yang ia inginkan, untuk terakhir kalinya sang preman mencengkeram kerah anak berseragam SMA itu dan kembali mendaratkan bogem mentahnya pada wajah sang anak.     

Kevin yang melihat hal itu hanya diam dan terus berjalan seolah tak terjadi apa pun di depan kedua matanya, mata lelaki itu masih tampak sangat kosong.     

Sang preman yang menyadari keberadaan Kevin segera merasa panik, ia terlalu asyik menyiksa anak berseragam SMA itu hingga membuatnya tak sadar jika perbuatannya saat itu telah dilihat oleh seseorang yang tidak lain adalah Kevin.     

Melepaskan cengkeramannya dari sang anak berseragam SMA, kini sang preman tampak mengalihkan atensinya pada Kevin. Awalnya ia tampak sedikit ragu karena melihat tingkah Kevin yang terlihat sangat tak begitu peduli dengan apa yang telah sang preman lakukan pada anak berseragam SMA itu.     

"Hey bung, bisakah kau berhenti sebentar!" ujar sang preman, nada bicaranya sedikit tinggi saat itu.     

Kevin yang mendapati hal itu segera berhenti tepat di hadapan sang preman, ia menatap kosong pada lelaki itu.     

Merasa sangat diremehkan sang preman tentu segera naik pitam, rasanya tidak ada salahnya jika ia juga turut memalak lelaki yang kini berada tepat di depannya itu, pikir sang preman.     

Sang preman tanpa basa-basi lagi segera mencengkeram kerah baju yang tengah Kevin kenakan. Ia berusaha mengintimidasi lelaki itu.     

"Tampaknya kau telah melihat apa yang baru saja aku lakukan!" bisik sang preman tepat di sebelah kuping lelaki itu.     

"Bisakah kau membantuku, aku masih butuh sedikit uang untuk membeli barang yang aku inginkan!" ujar sang preman itu lagi.     

Mendapati hal itu Kevin segera tertawa sinis, hati dan pikirannya sedang kacau, tentu ia tak ingin direpotkan seperti itu.     

Mendengar tawa yang keluar dari mulut Kevin, sang preman tentu saja merasa sangat diremehkan, tak banyak omong sang preman segera melancarkan bogem mentahnya pada Kevin yang tampak hanya berdiri dan menatapnya dengan tatapan kosong itu.     

Kevin hanya diam di tempatnya, ia membiarkan wajahnya menerima beberapa pukulan dari sang preman, sebelum akhirnya ia mulai bertindak dan memberikan perlawanannya. Tampaknya sang preman sedikit salah dalam mencari mangsanya kala itu, walau tak seterampil anak-anak lainnya, bagaimanapun juga Kevin sudah sangat terbiasa dengan pertarungan semenjak ia masih sangat kecil dulu.     

Kevin meraih tangan sang preman yang tengah mencengkeram bajunya, menariknya dengan sangat kuat hingga membuat baju yang ia kenakan hampir saja sobek karena hal itu. Sang preman yang merasakan kekuatan dari lengan Kevin yang menarik lengannya, saat itu juga mulai bergidik ngeri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.