Another Part Of Me?

Part 4.17



Part 4.17

0Mata yang awalnya tampak kosong itu kini berubah, mata itu seketika bagaikan mata serigala yang akan segera menerkam mangsanya. Walau telah berubah pemikiran, namun kini sang preman tak lagi memiliki kesempatan untuk menggagalkan aksinya lagi.     

Kevin mencengkeram erat pergelangan tangan preman itu dan segera memelintirnya, membuat sang preman seketika merintih kesakitan. Tak menyudahi sampai di situ saja, kini Kevin telah bersiap mendaratkan tinjunya, tampaknya ia tak menggunakan tangan kosong saat itu, Kevin telah merogoh saku celana jeans yang ia kenakan untuk mengambil sebuah knuckle yang memang selalu ia bawa ke mana-mana itu. Knuckle adalah sebuah senjata yang terbuat dari besi, digunakan pada sela-sela jari guna menambah efek kerusakan yang diterima suatu objek yang diserang langsung menggunakan senjata tersebut.     

Bruuuuuaaakkkk ....     

Sebuah tinju bersarang tepat di wajah sang preman, tampaknya efek dari senjata yang digunakan Kevin itu tidaklah main-main. Seketika darah mengalir deras dari hidung sang preman, tampaknya tulang hidung lelaki itu remuk seketika.     

Menerima serangan itu sang preman seketika terhuyung ke belakang, tampak mata lelaki itu membelalak putih seketika, tentu saja ia akan tak mampu menahan dampak yang begitu hebat sebab serangan yang baru saja diterimanya. Sang preman tumbang seketika, sedang Kevin hanya berdiri diam dengan tatapan yang sangat dingin.     

Kini sang preman telah terkapar tak sadarkan diri, sedang darah masih saja terus mengalir masif dari hidungnya. Sedangkan anak berseragam SMA yang sedari tadi masih berada di tempat itu hanya bisa terdiam dan mematung melihat kegilaan itu. Kevin memalingkan pandangannya ke arah anak berseragam SMA itu, ia masih menatap kosong sambil terus saja mendekatinya. Sang anak dengan seragam SMA itu tentu saja bergidik ngeri akan apa yang telah ia lihat saat itu. Tubuh sang anak mulai bergetar hebat, ia tak tahu harus berbuat apa, ia benar-benar dilanda rasa takut oleh aura yang terpancar dari lelaki yang sedang menuju ke arahnya itu.     

"Pergilah!" ujar Kevin datar.     

"Jangan ceritakan apa yang baru saja kau lihat pada siapa pun!" tambahnya lagi.     

Sang anak berseragam SMA itu tampak berpikir panjang segera berlari dari hadapan Kevin, tampaknya ia masih sangat merasa takut dengan sosok lelaki itu setelah melihat bagaimana Kevin menghabisi sang preman yang baru saja memalaknya. Ketika merasa telah cukup jauh dari tempat itu, sang anak berseragam SMA itu sempat menoleh ke belakang untuk kembali melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun jantungnya tiba-tiba tersentak mendapati Kevin yang masih saja terus menatapnya dari kejauhan, lelaki itu bahkan terlihat menyeringai dengan sangat menyeramkan.     

Tentu saja saat itu Kevin tidak ingin ada seorang pun yang mendapati dirinya telah melakukan hal seperti itu pada sang preman, beberapa kali lelaki itu mencoba menggoyang-goyangkan tubuh sang preman, namun tampaknya sang preman itu benar-benar telah tidak sadarkan diri sepenuhnya. Kevin bukanya tak merasa kesal oleh perlakuan yang baru saja diterimanya oleh sang preman, moodnya memang sedang sangat buruk saat itu, hingga ia sendiri sampai tak dapat mengekspresikan emosi yang saat itu ia rasakan.     

Untuk terakhir kalinya Kevin menginjakkan kakinya tepat di wajah lelaki yang telah terkapar tak berdaya itu, ia bahkan meludah kasar sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan tempat itu.     

Sampai di apartemen miliknya, Kevin terduduk lesu tepat di depan laptop miliknya, ia kembali membuka beberapa foto dari Annie yang dulu sempat ia ambil secara diam-diam. Kevin mulai menangisi wanita itu, ia masih tidak dapat menerima kematian wanita yang dicintainya itu. Andai saat itu Annie lebih memilih dirinya dibanding Davine, tentu ia bisa menyelamatkan hidup wanita itu dengan cara yang benar, ia tak akan memilih cara busuk yang akhirnya malah membebankan wanita itu sebagaimana yang telah Davine lakukan.     

Lelah meratapi hal itu, kini Kevin beranjak ke sebuah ruangan kecil yang terdapat di dalam kamar apartemen miliknya, itu adalah sebuah ruangan yang harusnya menjadi tempat penyimpanan barang-barang dan beberapa peralatan yang memang disediakan sebagai fasilitas dari kamar apartemen yang ia sewa. Karena memang tak memiliki banyak barang untuk disimpan, akhirnya Kevin menyulap ruangan kecil itu menjadi ruang kerja pribadinya.     

Di tiap dinding ruangan itu tertempel beberapa potongan dari surat kabar dan beberapa artikel yang di anggapnya penting. Namun bukan itu tujuannya saat ini, Kevin berjalan menuju sebuah dinding yang di mana di sana terpajang foto Davine dan Siska secara berdampingan. Awalnya ia hanya menatap lama kedua foto itu, hingga akhirnya ia tak mampu lagi menahan emosinya yang pecah begitu saja. Kevin berteriak dalam ruangan itu sejadi-jadinya, untungnya ia telah membuat ruang kerja pribadinya itu menjadi kedap suara.     

Masih belum merasa puas, Kevin segera membuka laci yang terdapat di meja kerjanya untuk segera mengambil sebuah pisau lipat yang berada di dalamnya.     

Berkali-kali lelaki itu menusukkan pisau lipatnya itu pada foto Davine, ia bahkan mengucapkan sumpah serapah guna meluapkan emosinya saat yang sedang meluap-luap.     

"Kau harusnya mati saja lelaki busuk!" maki Kevin sembari terus menusukkan pisau lipatnya pada foto Davine.     

"Aku bersumpah, kau akan menerima akibat semua perbuatanmu dasar bajingan!" teriak lelaki itu penuh amarah.     

Setelah merasa cukup puas menusuk dan mengoyak foto dari Davine dengan penuh amarah, kini Kevin melangkah mundur dengan perlahan. Lelaki itu tertawa terbahak-bahak, sebelum akhirnya tawanya itu berubah menjadi rintihan yang terdengar sangat memilukan.     

Setelah puas dengan apa yang ia lakukan pada foto Davine, kini ia beranjak untuk mendekati foto Siska yang terpajang tepat di sebelah foto lelaki itu. Kevin tampak mencumbu foto itu, menciumi hingga menjilatinya penuh nafsu. Lelaki itu memang sangat tergila-gila pada sosok Siska, membuatnya terus berfantasi dan menjadikan foto dari wanita itu sebagai pelampiasan nafsu birahinya, lelaki itu tidak akan berhenti hingga ia merasakan orgasme pada dirinya sendiri. Tentu saja itu adalah sebuah kelainan, perpaduan antara obsesi dan nafsu yang sangat berlebihan.     

******     

Davine tertunduk tak berdaya, ia benar-benar tidak tahu harus mencari Lissa ke mana, mungkin saat itu ia telah sedikit mengetahui siapa orang yang mungkin saja membawa Lissa pergi dari tempat itu, namun ke mana ia harus mencarinya, ia bahkan tidak mempunyai sebuah petunjuk apa pun yang bisa ia gunakan untuk melacak keberadaan Lissa saat itu.     

Davine menatap kosong pada pondok yang keadaannya sudah tidak karuan itu, melihatnya saja Davine tahu jika saat itu Lissa pastilah digiring dari tempat itu dengan cara paksa. Lantas siapa mereka, satu-satunya yang terpikir oleh Davine saat itu hanyalah keluarga kasta pertama yang Lissa sebutkan dalam jurnalnya itu.     

Davine benar-benar merasa dilema dengan keadaan yang harus ia hadapi saat itu. Di satu sisi ia tentu tidak bisa tinggal diam saja atas apa yang telah terjadi pada Lissa saat ini, namun di satu sisi ia tak tahu harus mencari wanita itu ke mana. Dalam jurnal milik Lissa, ia bahkan tak memberitahukan dengan jelas siapa mereka para keluarga dari kasta pertama yang harus keluarga Cornner layani itu. Tak ada satu pun keterangan yang Lissa cantumkan dalam jurnalnya itu mengenai siapa mereka sebenarnya.     

Davine mencoba memaksa otaknya untuk bekerja lebih dari biasanya, ia yakin jika pasti ada sesuatu yang bisa ia jadikan petunjuk guna mencari di mana keberadaan Lissa saat itu. Davine terus berpikir, ia mencoba menyelaraskan tiap-tiap informasi yang baru saja ia ketahui lewat beberapa jurnal yang baru saja ia temukan saat itu.     

Keluarga kasta pertama, keluarga Cornner, Kakek Robert, Lissa. Davine terus menerus menggumamkan kata-kata itu sembari terus mencoba mencari sebuah titik temu di antaranya. Hingga akhirnya ia tersadar, jika Lissa dan Kakek Robert merupakan bagian dari keluarga Cornner, maka mungkin saja keluarga kasta pertama yang disebutkan oleh Lissa dalam jurnalnya itu mungkin memiliki keterkaitan dengan yayasan tempat tinggalnya dulu. Jika dipikirkan lagi saat itu Kakek Robert memang seolah sedang mengabdikan dirinya pada yayasan tersebut, lantas apa alasan Kakek Robert melakukan hal itu, apa itu memang semata-mata karena pekerjaan yang ia tekuni. Tentu saja tidak, jika mengingatnya lagi rasanya Kakek Robert tak terlihat seperti seseorang yang sedang bekerja di sana, lagi pula apa yang bisa pihak yayasan tawarkan pada pria tua sepertinya.     

Walau Kakek Robert memang seolah tergabung sebagai pengurus yayasan itu, namun nyatanya pria paruh baya itu tak tampak seperti para pengurus lainnya yang berada di yayasan itu, jika para pengurus dan pelatih di sana terlihat sangat kejam dan tidak memiliki empati, hal itu sangat berbeda dengan sosok Kakek Robert yang Davine tahu. Lelaki paruh baya itu tak tampak menikmati apa yang sedang ia lakukan di yayasan itu, ia bahkan terlihat seolah bekerja di tempat itu karena sebuah keterpaksaan saja.     

Lantas mengapa Kakek Robert tetap memilih untuk bekerja dan membantu yayasan itu, jawaban paling masuk akal baginya adalah, karena tanggung jawab untuk mengabdikan dirinya pada keluarga kasta pertama yang sedang ia jalani. Dengan kata lain, pemilik atau pengurus dari yayasan itu mungkin saja adalah keluarga kasta pertama yang Lissa maksud dalam jurnalnya itu.     

Dan tak hanya berbekal dugaan itu saja, kini Davine mulai mengingat di mana ia pernah melihat simbol yang tercetak dalam jurnal medis yang mendokumentasikan tiap-tiap perkembangan dari metode bayi tabung yang mereka lakukan pada Shopia sebagai objeknya itu.     

Kini ia ingat dengan sangat jelas di mana sebelumnya ia pernah melihat simbol seperti itu, itu adalah simbol yang sama seperti yang terpajang di atas gerbang yayasan tempat di mana ia tinggal sewaktu kecil dulu, sesaat ia baru saja diadopsi oleh Monna, ia melihat simbol itu terpajang dengan sangat jelas di atas pagar yayasan itu, sebelum akhirnya ia dibawa pergi oleh Monna untuk meninggalkan tempat yang terasa seperti neraka baginya itu.     

Simbol itu berbentuk sebuah busur dengan tiga buah anak panah yang terlihat siap dilesatkan, yang di mana masing-masing dari ketiga buah anak panah tersebut memiliki sebuah arti mereka masing-masing.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.