Another Part Of Me?

Part 4.22



Part 4.22

0Tak seperti yang Davine harapkan. Setelah beberapa lama berselancar di dunia maya, tampaknya ia masih belum mendapatkan sedikit pun informasi yang ia inginkan. Hal ini tentu sangat jauh dari harapannya, ia tidak mengerti bagaimana bisa kota itu tak memiliki situs resmi yang menerangkan data-data dan informasi seputar kota itu di internet, hal yang menurut Davine terasa sangat janggal di era milenial sepeti sekarang.     

Ketika ia baru saja ingin mengakhiri aktivitasnya itu, seketika sudut pandang itu kembali menghampirinya. Seperti biasa hal itu diiringi dengan rasa sakit yang sangat tak tertahankan di kepalanya.     

Davine masih berada di ambang kesadarannya, ia tentu ia tidak boleh pingsan yang di mana nantinya hanya akan membuat dirinya menjadi pusat perhatian di tempat itu.     

Dalam sudut pandang itu, Davine terlihat sedang berjalan di sebuah area yang terlihat telah terbengkalai. Ia tak terlalu mengenali area itu, namun dalam sudut pandang itu ada satu hal yang kian menjadi perhatiannya. Dalam sudut pandang itu ia terlihat sedang berjalan melewati beberapa bangunan terbengkalai yang berada di area itu, sampai akhirnya ia sampai pada sebuah bangunan yang cukup besar, entah bangunan apa itu, Davine tak mampu mengenalinya karena penglihatan yang ia lihat dalam sudut pandang itu terasa kian samar, ia bahkan seperti layaknya sedang menonton siaran televisi lawas dengan gambar hitam putih yang terdistorsi. Ini sama halnya dengan bagaimana sudut pandang yang juga ia lihat pada kejadian beberapa waktu yang lalu ketika ia mendapati orang di balik sudut pandang itu yang sedang berusaha mengikuti Siska. Saat itu penglihatan dalam sudut pandang itu juga terlihat sepeti itu, walau tak separah yang saat ini ia lihat. Hal itu juga yang membuatnya dapat menyadari tempat dan jam dinding digital yang berada di dalam bus yang sedang mereka tumpangi saat itu. Namun kali ini terasa sangat berbeda, ia bagaikan sedang menonton sebuah video dengan kualitas yang sangat buruk.     

Davine berjalan memasuki area bangunan terbengkalai itu dari belakang, beberapa kali ia harus membuka pintu dan melewati lorong yang menghubungkannya ke pintu lainnya yang terdapat pada bangunan itu. Di dalam perjalanannya itu, samar ia mendengar seperti ada suara tangisan dari anak kecil yang seolah merintih kesakitan. Davine yang berada dalam sudut pandang itu tentu tak dapat berbuat apa-apa. Sampai akhirnya ia tiba di sebuah pintu yang memiliki akses masuk dengan menggunakan beberapa digit kode. Tentu saja itu adalah hal yang sangat aneh, bagaimana bisa sebuah bangunan yang terlihat seolah telah lama terbengkalai seperti itu memiliki kunci pengaman berbasis kode yang terlihat sangat modern, pikir Davine.     

Tak hanya sampai di situ saja, kini ia kembali menemukan hal yang sangat mencengangkan, bagaimana tidak, walau penglihatan yang ia lihat dalam sudut pandang itu memang hampir bisa di katakan sangat buruk, namun ia sangat yakin jika penglihatannya itu tidaklah salah. Ia melihat sebuah simbol yang terpajang pada pintu itu, dan gilanya simbol itu sama persis dengan simbol yang ia temukan pada jurnal medis milik Lissa dan juga yang terpajang di atas gerbang yayasan yang ia cari saat ini. Jelas sekali itu adalah simbol berbentuk sebuah busur dengan tiga anak panah yang siap dilepaskan.     

Sesaat pintu itu akan terbuka, tiba-tiba saja Davine seolah tertarik keluar dari sudut pandang itu, ia kini kembali pada sudut pandangnya sendiri yang masih berada di depan unit komputer yang baru saja ia gunakan saat itu.     

Davine segera menarik nafasnya panjang, sesaat ia merasakan sesak yang begitu hebat di dadanya, entah itu adalah efek samping dari situasinya itu, atau malah karena rasa terkejut yang baru saja ia alami dari dalam sudut pandang tersebut, karena pada dasarnya hal itu baru kali ini ia alami, biasanya efek yang ia rasakan hanyalah rasa sakit begitu hebat yang menyerang kepalannya saja.     

Apa yang baru saja ia lihat dalam sudut pandang itu kini seolah menegaskan siapa sebenarnya orang di balik sudut pandang itu, seorang yang berkaitan langsung dengannya dan juga yayasan itu. Bagaimanapun ia sangat yakin jika lambang di pintu yang baru saja ia lihat itu sama persis dengan lambang yang ia lihat terpajang di atas gerbang yayasan sebelum Monna membawanya pergi saat itu. Membuatnya tak salah jika ia menyebut orang itu sebagai bagian lain darinya.     

Sialnya Davine sangat merasa asing akan tempat yang baru saja ia lihat dalam sudut pandang itu, namun tampaknya itu lebih seperti sebuah area pemukiman yang telah diterlantarkan begitu saja. Sayangnya itu bukan yayasan yang ia cari.     

Semua keterkaitan antara setiap hal yang ia temui benar-benar membuatnya tak habis pikir, bagaimana dunia terasa sangat sempit, dan mengapa semua hal buruk itu seolah mempunyai keterkaitan langsung pada masa lalunya, yang sialnya kini ingatan demi ingatan itu terasa begitu samar. Davine tak lagi menganggap semua hal yang telah terjadi sampai saat ini adalah hal yang tak ada hubungannya dengan dirinya, entah pembunuhan berantai yang terjadi, menghilangnya Lissa, dan keselamatan Siska yang kini mungkin saja sedang terancam sebagai sesuatu yang tak memiliki keterkaitan padanya, jelas semua hal yang terjadi sampai saat ini memiliki keterkaitan secara internal padanya.     

Setelah merasa kondisinya telah sedikit normal, Davine segera bergegas untuk meninggalkan tempat itu, ia butuh sedikit udara segar guna menjernihkan pikirannya, saat itu otaknya telah bekerja terlalu keras, ia benar-benar memerlukan waktu dan suasana yang nyaman untuk sekedar melakukan meditasi ringan.     

******     

Siska tertegun seketika, saat itu ia seolah merasa melihat sosok yang sangat ia kenal di tengah kerumunan warga yang sedang berlalu lalang di tengah kesibukan kota itu.     

Saat itu jarak di antara mereka terbilang cukup jauh, ramainya para warga yang berlalu lalang juga menjadi kendala tersendiri bagi wanita itu untuk mendekati sosok yang tampak sangat familier itu.     

Siska bahkan beberapa kali menyapu matanya, ia seolah masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat, bagaimana orang itu bisa berkeliaran di tengah ramainya warga kota seperti itu, pikirnya. Bukankah itu hal yang tak seharusnya lelaki itu lakukan.     

Di tengah usahanya untuk mendekati lelaki itu, ia terhenti oleh sebuah kekacauan yang terjadi begitu saja. Situasi saat itu berubah panik, sedang Siska masih tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.     

Para warga yang awalnya padat berlalu lalang di jalanan itu seketika terlihat membuat kerumunan di satu titik area. Siska yang awalnya ingin mengejar sosok yang baru saja ia lihat segera membatalkan niatnya, tampaknya ia juga telah kehilangan jejak lelaki itu karena keributan yang baru saja terjadi.     

Siska berjalan mendekati kerumunan itu, tentu ia telah merasa sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Menggunakan kedua tangannya wanita itu segera membelah kerumunan itu dengan sedikit memaksa. Sedang beberapa orang yang terlihat berdesak-desakan di area itu tampak sedikit kesal sebab apa yang telah wanita itu lakukan. Namun dengan cuek Siska mengabaikan mereka.     

Berhasil menerobos kerumunan itu, Siska segera mendapati seorang pria tua yang terlihat sedang kejang-kejang dengan busa yang keluar dari mulutnya. Hanya melihat penampilan pria tua itu saja Siska tahu jika ia pasti adalah seorang dengan gangguan jiwa.     

Seperti biasa beberapa warga hanya terlihat menonton dan merekam kejadian itu dengan smartphone mereka, sedang hanya beberapa di antaranya yang terlihat benar-benar peduli atas apa yang tengah menimpa pria tua itu.     

"Apa kalian telah menelepon ambulans?" tanya Siska pada seseorang yang berada tepat di sampingnya. Namun tampaknya orang itu tak terlalu menggubris apa yang wanita itu katakan, ia tampak lebih terlihat asyik merekam kejadian itu dengan smartphone miliknya.     

Siska yang merasa kesal dengan perlakuan yang ditunjukkan orang-orang itu segera berteriak di tengah-tengah kerumunan itu.     

"Apa sudah ada yang menelepon ambulans!" teriaknya kesal.     

Seketika hal itu membuat hening para kerumunan warga itu, sampai pada akhirnya ada seorang ibu yang menjawab dan mengatakan jika dirinya telah menelepon ambulans untuk pria tua yang tampak terlihat masih kejang-kejang itu. Wanita itu juga mengatakan jika tampaknya sebentar lagi ambulans itu akan segera tiba.     

Siska yang mendapati hal itu akhirnya bisa sedikit bernafas lega, walau nyatanya ia masih merasa sangat kesal pada sebagian warga yang menjadikan hal itu seperti tontonan mereka semata. Siska mendengus kesal pada para warga itu, ia benar-benar tak habis pikir mengapa mereka tak segera melakukan tindakan dari pada hanya menjadikan pria tua itu sebagai objek tontonan mereka. Tampaknya moral dan rasa kepedulian memang semakin terpuruk di kota itu, pikirnya.     

Menunggu beberapa saat akhirnya ambulans pun tiba di tempat itu, sang petugas dengan segera melakukan penanganan pada pria tua dengan gangguan jiwa itu, mereka di bantu oleh beberapa warga untuk segera menaikan sang pria ke dalam mobil ambulans yang nantinya akan segera mereka berikan penanganan pertama selagi mereka menuju rumah sakit terdekat.     

Masih tak ada yang tahu apa penyebab pasti kejadian itu, namun tampaknya sang pria tua dengan gangguan jiwa itu mengalami keracunan makanan, terlihat dari sebuah nasi dengan kemasan kotak yang jatuh berhamburan tepat di sebelahnya. Lantas mengapa hal seperti itu bisa terjadi, pastinya ada seseorang yang memberikan makanan itu pada sang pria tua itu sebelumnya, mengingat jika pria itu tampaknya adalah seorang penyandang gangguan mental, tampaknya tidak masuk akal jika ia mendapatkan makanan itu dengan membelinya. Apa ia memungutnya di tempat sampah, namun sekali lagi hal itu ditepiskannya, mengingat kondisi makanan yang telah tercecer itu yang terlihat masih sangat baik dan segar.     

Kejadian itu seketika mengingatkan Siska akan kejadian serupa yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu. Sebuah keracunan masal yang menyebabkan beberapa penyandang disabilitas tewas karena hal serupa. Namun Siska segera menepiskan pikirnya itu, rasanya belakangan ini ia kerap berpikir terlalu jauh, entah mengapa ia merasa segala hal seolah memiliki maksud terselubung di dalamnya, walau nyatanya kejadian itu bisa saja tak ada hubungannya sama sekali dengan kejadian yang menimpa para penyandang disabilitas itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.