Another Part Of Me?

Part 4.29



Part 4.29

0Selang beberapa menit setelah kedatangan Hanna, Davine pun segera menyusul. Namun tak seperti Hanna, tentu saja ia tak bisa dengan serta merta menampakkan dirinya di area itu. Davine bersembunyi di balik sebuah bangunan yang terdapat tidak jauh dari halte itu, sedang Hanna, lelaki itu tampak masih sedang mencari keberadaan Siska di sana.     

Davine tak memfokuskan tujuannya pada Siska saat itu, ia lebih memilih menyerahkan perihal mantan kekasihnya itu pada Hanna, yang menjadi fokusnya saat ini adalah mencari di mana sang pemilik sudut pandang itu berada.     

Davine segera melayangkan pandangannya pada area di mana sudut pandang itu berasal, ia telah melihat dan sedikit menghafal posisi sang pemilik sudut pandang dalam penglihatan yang sebelumnya ia dapatkan.     

Tak butuh waktu lama, Davine segera mendapatkan area itu, namun sialnya tak ada siapa pun yang berdiri di sana, tampaknya sang pemilik sudut pandang itu telah pergi dan menghilang dari tempat itu. Tak menyerah begitu saja, setelah melihat kondisi Siska yang tampaknya telah aman bersama Hanna, Davine segera mengendap dan berusaha mencari sang pemilik sudut pandang tersebut di sekitar area itu, ia sangat yakin jika sang pemilik sudut pandang itu masih belum jauh meninggalkan tempat itu.     

Area itu memang sedikit gelap, penerangan dari lampu jalan tak menjangkaunya dengan baik, wajar kiranya jika sang pemilik sudut pandang itu memilih area itu sebagai tempat pemantauannya, di tambah rute pelarian dari tempat itu juga terbilang sangat strategis.     

Davine menelusuri sebuah gang yang terletak tidak jauh dari titik awal sang pemilik sudut pandang itu berada. Menurut penalaran Davine tampaknya gang itu adalah rute terbaik bagi sang pemilik sudut pandang itu untuk dijadikan sebagai rute pelariannya.     

Sesaat di ujung gang itu, samar Davine mendapati sesosok lelaki dengan setelan serba hitam. Saat itu Davine hanya sempat melihatnya sekilas sebelum lelaki itu akhirnya menghilang setelah persimpangan yang terdapat di ujung gang tersebut.     

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, Davine segera berlari dengan sekuat tenaganya, jarak antara dirinya memang cukup jauh dengan lelaki itu. Namun ia yakin dengan kecepatannya saat itu ia bisa memangkas jarak di antara mereka.     

Davine memacu jantungnya untuk bekerja lebih cepat, ia tak bisa membiarkan dirinya kehilangan jejak lelaki itu. Sampai pada persimpangan itu, Davine memaki kesal, kini sang lelaki itu tak lagi terlihat. Bagaimana mungkin lelaki itu menghilang dengan sangat cepat dari tempat itu, sedang ia sangat yakin jika perbedaan waktu yang ia perlukan untuk menuju tempat itu hanya terpaut beberapa detik saja.     

Davine segera menghentikan larinya. Ia yakin jika lelaki itu masih berada dan mungkin kini sedang bersembunyi pada suatu tempat di area itu. Tak mungkin seseorang bisa menghilang dari tempat itu hanya dalam hitungan detik, pikirnya.     

Davine melayangkan pandangannya ke segala arah, ia mencoba mencari tempat yang sekiranya dapat digunakan sebagai sarana bersembunyi di tempat itu. Namun rasanya tidak banyak area yang bisa digunakan atau di manfaatkan sebagai tempat bersembunyi di sana, tempat itu terasa sangat lapang.     

Di tengah pencariannya itu, fokus Davine tiba-tiba saja terganggu oleh suara langkah kaki yang terdengar dari belakangnya, tampaknya suara langkah itu terpaut beberapa meter dari tempatnya berdiri saat itu.     

Davine segera dikejutkan dengan kedatangan dua pria yang tak ia kenali itu.     

"Kali ini kau akan benar-benar berakhir di tempat ini!" ujar salah satu lelaki itu sembari menodongkan handgun miliknya pada Davine.     

Davine memicingkan matanya, ia merasa benar-benar tak mengenali kedua lelaki yang kini berada tepat di depannya itu. Lalu apa pula maksud dari kata-kata yang baru saja lelaki itu lontarkan padanya.     

"Keberuntunganmu tampaknya harus berakhir sampai di sini!" ujar salah satu lelaki yang kini berada di depannya itu.     

Davine benar-benar tak mengerti akan maksud dari perkataan kedua lelaki yang berada di depannya itu. Namun satu hal yang pasti, situasinya benar-benar buruk saat itu.     

"Beliau tak lagi menginginkan keberadaanmu lagi!" ujar lelaki yang tengah menodongkan handgunnya itu pada Davine.     

"Kau sudah bekerja dengan sangat baik, kini biarkan kami yang mengambil alih atas semua usaha keras yang telah kau lakukan!" tambahnya lagi, sebuah senyuman tampak mengembang di wajahnya.     

Davine yang mendengar hal itu semakin dibuat tidak mengerti akan maksud dari perkataan lelaki itu, namun satu hal yang ia tangkap dalam setiap kata-kata itu.     

"Penghianatan?" gumam Davine.     

Dari setiap kata-kata yang terucap dari kedua lelaki itu, jelas Davine dapat menangkap adanya sebuah penghianatan di sana. Lantas mengapa kedua lelaki itu bersikap seolah dirinya adalah orang yang mereka maksud, pikir Davine.     

"Siapa yang mengirim kalian?" pancing Davine, ia mencoba sedikit mencari tahu tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi.     

Mendengar pertanyaan itu, sang lelaki dengan handgun di tangannya itu segera tertawa terbahak-bahak. Ia bahkan seolah sedang mengejek Davine saat itu.     

"Hey, bagaimana. Apa perlu kita beritahukannya pada orang bodoh ini?" ujar lelaki itu, kali ini ia berbicara dengan rekan yang berada di sampingnya.     

Menanggapi hal itu, sang lelaki yang berada di sebelahnya seketika ikut tertawa.     

"Apa gunanya kau mengetahui hal itu, lagi pula sebentar lagi kau akan mati!" ujar lelaki itu dengan sangat kasar, sebelum akhirnya mereka kembali tertawa terbahak-bahak.     

Kedua lelaki itu tampaknya telah salah kerena terlalu meremehkan Davine yang kini berada tepat di depannya itu. Mereka terlalu percaya diri dengan situasi yang saat itu memang hampir sepenuhnya berada di tangan mereka, membuat mereka lengah, sementara tepat di depannya ada seorang lelaki yang sedari tadi memang telah menunggu kesempatan itu.     

Di tegah gelak tawa kedua lelaki itu, tiba-tiba saja Davine mulai ikut tertawa pula. Mendapati hal itu kedua lelaki itu segera naik pitam di buatnya. Sedangkan Davine, saat itu ia memang sedang berusaha memancing emosi kedua lelaki itu.     

"Apa yang kau tertawakan berengsek!" maki lelaki dengan handgun di tangannya itu.     

"Tidak, tidak ada apa pun yang aku tertawakan," jawab Davine, tampangnya sangat mengesalkan saat itu.     

Merasa sangat di remehkan, kedua lelaki itu segera berusaha semakin mendekat ke arah Davine dengan cukup tergesa, tampaknya mimik wajah yang Davine pasang sangat sukses untuk memancing emosi kedua lelaki itu.     

"Dasar cecunguk, tampaknya kau harus diberi sedikit rasa sakit sebelum kematianmu!" ujar salah satu lelaki itu, ia dengan kasar menjambak rambut Davine.     

Mendapat perlakuan itu, bukannya membuat Davine berhenti untuk memancing emosi dari kedua lelaki itu, kini ia bahkan memasang senyum yang membuatnya seolah sangat menganggap remeh kedua lelaki itu.     

Sang lelaki dengan handgun di tangannya itu segera menempelkan moncong senjata miliknya itu pada pipi Davine, jelas sekali terasa dingin dari sentuhan handgun itu pada permukaan kulit wajah lelaki itu.     

"Apa aku pernah mengatakan jika saat ini kau boleh tersenyum seperti itu!" bisik lelaki dengan handgun itu tepat di telinga kanan Davine, sebelum akhirnya ia menghantamkan gagang senjata itu tepat pada pelipis lelaki itu.     

Seketika darah mengecer dari wajah Davine, pelipisnya robek karena hantaman itu.     

"Bagaimana, bukankah ini menyenangkan!" ujar lelaki yang baru saja menghantamkan gagang handgunnya itu pada Davine, lelaki itu bahkan tertawa dan terlihat sangat menikmatinya.     

Sedang Davine, lelaki itu hanya bisa menundukkan kepalanya, ia berusaha membuat darah yang mengalir cukup deras dari pelipisnya yang sobek itu agar menetes langsung ke tanah, ia tak ingin darah itu mengalir dan mengenai matanya, karena hal itu pasti akan mengganggu penglihatannya. Tentu saja itu adalah hal yang sangat merugikan.     

"Bagaimana, apa kau sudah paham dengan posisimu sekarang?" tanya lelaki yang satunya lagi.     

"Ha ... ha ... ha ... ha ...!" bukanya diam, Davine semakin mengencangkan tawanya. Ia benar-benar seperti tak ada kapoknya sama sekali.     

"Hey bung, apa kalian wanita. Ini bahkan bukan apa-apa bagiku!" Davine, tampaknya lelaki itu mulai kehilangan akal.     

Kesadaran Davine memang telah berada di ambang batasnya saat itu, namun ia mencoba terus terlihat seolah ia sedang baik-baik saja, sedang suara bisikan di telinganya terus saja terdengar. Itu bukan suara dari kedua lelaki itu, Davine tahu benar apa yang sedang terjadi padanya. Tampaknya kini sang alter tengah mencoba mengambil alih kesadarannya.     

Seketika Davine berteriak kencang, kepalanya terasa sangat sakit saat itu. Hal itu membuat kedua lelaki itu kini semakin kehilangan kewaspadaannya. Saat itu mereka begitu tercengang melihat Davine yang seolah sedang bertarung dengan dirinya sendiri guna memperebutkan kesadarannya.     

Davine segera meraih kerah lelaki yang baru saja menghantamkan gagang handgun itu padannya. Gerakan itu begitu cepat, hingga sang lelaki itu bahkan tak dapat merespons serangan yang dilancarkan Davine dengan sangat tiba-tiba itu.     

Dengan gilanya Davine segera membenturkan kepalanya pada wajah lelaki itu, entah mengapa ia sangat senang melakukan hal itu, selain tingkat kerusakan dari serangan itu yang cukup fatal, Davine, lelaki itu tampaknya memiliki kepala batu dalam artian yang sesungguhnya.     

Melihat hal itu sang lelaki lainya segera mengeluarkan handgun miliknya dan menembakkannya langsung tepat pada paha Davine.     

Davine yang menerima timah panas itu segera jatuh berlutut seketika, sedang lelaki yang baru saja menerima hantaman dari kepalanya itu tampak berjalan mundur dengan gontai ke arah belakang.     

Davine yang sedari tadi memang telah berusaha meraih handgun miliknya, kini segera mengeluarkannya, dan tanpa basa basi lagi ia segera menembak lelaki yang baru saja menorehkan timah panas yang bersarang di pahanya itu.     

Peluru itu bersarang tepat di dada sang lelaki, bagi Davine lelaki itu terlalu naif karena hanya berusaha melumpuhkannya dan tidak langsung menembaknya tepat di bagian vital.     

Davine segera berusaha berdiri dengan timah panas yang kini bersarang di pahanya itu. Ia tampaknya tak ingin memberikan waktu bagi kedua lelaki itu untuk kembali memberikan serangan balik mereka.     

Saat itu tubuh Davine memang tengah di kuasai penuh oleh sang alter miliknya. Ia bahkan bagai seorang penonton yang hanya bisa mengamati kejadian itu dari dalam dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.