Another Part Of Me?

Part 5.13



Part 5.13

0 Malvine kembali memasuki mobilnya setelah pembicaraan yang sedikit memakan waktu itu, sedang Davine menatap dengan santai ke arah kakak angkatnya itu, ia tahu jika Malvine telah berhasil menangani kedua polisi korup yang bertugas menjaga perbatasan kota itu.     

"Bagaimana?" tanya Davine.     

"Yaeh, seperti yang kau ketahui. Polisi korup selalu saja ada di mana-mana!" jawab Malvine, lelaki itu membuat seolah itu adalah hal yang sangat wajar.     

"Apa nominalnya cukup tinggi untuk kali ini?" tanya Davine lagi.     

"Itu bukan masalah!" jawab Malvine. Lelaki itu tampak mengecek kamera dashboard mobilnya, tentu saja Malvine dengan sengaja merekam aksi kedua polisi korup tersebut.     

"Kau masih senang melakukan hal itu?" tanya Davine, ia sedikit mengerutkan keningnya.     

Malvine yang mendapat pertanyaan hanya tersenyum tipis. Sedari dulu Malvine memang kerap merekam setiap aksi pungli secara tidak langsung yang dilakukan oleh para polisi korup yang berurusan dengannya. Malvine mengatakan jika hal itu hanya sebagai hobi dan koleksinya saja, namun Davine juga tak jarang mendapati video-video hasil rekaman sang kakak juga beredar pada platform-platform video yang disebarkan secara online. Tampaknya Malvine melakukan hal itu sebagai cara untuk melampiaskan kekesalannya pada para polisi korup tersebut. Dalam beberapa kasus tak jarang ada pula para polisi korup itu yang diberhentikan tugas secara tak hormat sebab video-video mereka yang tersebar di internet itu. Tentu saja itu adalah ulah Malvine, untungnya kakak sepupunya itu tampak mahir dalam mengedit video itu agar identitasnya tidak diketahui oleh setiap orang yang menonton video itu.     

"Apa kau akan mengunggah video itu ke internet?" tanya Davine.     

"Entahlah, mungkin tidak untuk saat ini. Lagi pula kita harus fokus pada kesehatan ibu!" sanggah Malvie.     

Davine sangat setuju akan itu, ia juga akan sedikit menanggalkan kasus yang sedang ia coba ungkapkan di kota itu untuk sementara waktu. Bagaimanapun juga kesehatan sang ibu kini tak dapat dikatakan baik-baik saja, Davine hanya tak ingin jika sesuatu yang buruk terjadi pada sang ibu dan dirinya tak dapat menemani wanita itu untuk melewati masa sulitnya. Tentu saja jika hal tersebut sampai terjadi, maka Davine tak pernah akan bisa memaafkan dirinya sendiri.     

Sesuai kesepakatan Malvine segera memutar balik mobil yang ia kendarai, dan sekitar 15 menit sesuai perjanjian ia akan kembali lagi ke tempat itu.     

"Apa yang akan mereka lakukan pada CCTV yang mengawasi area itu?" tanya Davine.     

"Mereka akan menonaktifkan CCTV tersebut, membuat seolah-olah hal itu disebabkan oleh kesalahan sistem. Mereka meminta waktu sekitar 15 menit untuk melakukannya," jelas Malvine.     

"Mereka juga mengatakan jika kita tidak boleh terlambat, mereka tak bisa melakukan hal itu untuk jangka waktu yang lama, jika tidak kantor pusat bisa saja mencurigai hal itu sebagai sebuah sabotase!" tambah Malvine.     

"Yaeh, aku tak dapat memungkiri ini, demi uang rasanya apa pun akan mereka lakukan," tambah lelaki itu lagi.     

Malvine memutar balikan mobilnya, ia menempatkan kendaraan itu jauh dari pantauan CCTV, sementara mereka akan menunggu kode yang akan diberikan oleh para polisi korup itu untuk melewati area perbatasan yang mereka jaga.     

Terdapat sekitar 5 sampai 6 personil yang menjaga area itu, tampaknya mereka harus saling bekerja sama dan saling menutup mulut mereka masing-masing atas apa yang sedang mereka perbuat untuk saat ini. Hal ini jugalah yang membuat sang personil kepolisian itu meminta imbalan dengan nominal yang cukup besar. Tentu saja mereka harus membagi hasil dari apa yang mereka lakukan itu agar tak ada salah satu dari mereka yang membocorkan dan melaporkan hal itu pada kantor pusat. Malvine tahu betul bagaimana perangai orang-orang seperti mereka.     

Dari kejauhan kini tampak salah satu personil itu melambaikan tangannya ke arah Malvine dan Davine yang sedari tadi telah menunggu tanda itu. Malvine memang telah memposisikan mobilnya sedemikian rupa agar ia dapat dengan mudah menerima tanda yang mereka buat.     

"Itu tandanya. Ayo kita pergi!" ujar Malvine setelah melihat tanda itu.     

Malvine segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Akhirnya hari itu mereka bisa melewati perbatasan kota, walau harus melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, namun hal itu mereka lakukan karena keadaan dan situasi yang mereka hadapi. Bagaimanapun juga kondisi sang ibu yang telah melemah membuat mereka tak punya pilihan lain.     

Malvine memang kerap kali harus melakukan hal-hal seperti itu. Bagaimana tidak, dalam sebuah bisnis tentu ada saja kendala-kendala yang tak dapat ia tangani sepenuhnya, dan terkadang aksi suap adalah jalan terbaik untuk menanggulangi hal tersebut. Banyaknya para pejabat dan petinggi negara yang korup membuat hal ini seolah adalah hal yang sangat wajar dan memang harus untuk dilakukan.     

Tak banyak yang mereka bicarakan dalam perjalanan menuju kediaman keluarga Harris itu, Malvine tampak fokus dengan kemudinya, sedang Davine, pikiran lelaki itu seolah melayang bersama angin hembusan angin yang mereka terobos dengan mobil mewah itu.     

Sesekali Davine teringat bagaimana perlakuan Monna selama merawatnya dulu. Wanita itu adalah tipe yang sangat penyayang, ia bahkan jarang sekali membentak Davine, perangainya sangat baik, setiap kali lelaki itu melakukan kesalahan maka Monna akan menegurnya dengan cara yang sangat halus. Sebelumnya Davine memang tak pernah mengetahui tentang cinta kasih seorang ibu, bagaimanapun ia telah hidup seorang diri di yayasan panti asuhan itu sejak ia masih kecil. Namun hidup di tengah keluarga Harris bersama Monna membuatnya sedikit mengerti apa itu cinta dan kasih. Bagi Davine seorang ibu pastilah memiliki perangai baik layaknya Monna, ia bahkan tak pernah merasa iri akan teman-temannya yang memiliki ibu kandung, bagi Davine Monna telah menggantikan peran sang ibu dengan sangat baik.     

"Davine…!" tegur Malvine.     

"Davine, apa kau mendengarku?" tambah lelaki itu.     

Davine segera tersadar dari lamunannya, tampaknya ia telah mengabaikan Malvine untuk beberapa waktu.     

"Ya, apa kau mengatakan sesuatu?" tanya Davine yang baru saja tersadar dari lamunannya.     

"Smartphonemu berdering. Apa kau tak merasakannya?" tukas Malvine.     

"Benarkah," Davine pun segera merogoh smartphone yang berada di salah satu saku celana jeans yang sedang ia kenakan itu, sayangnya panggilan itu kini telah berakhir.     

Davine menatap layar pada smartphone miliknya, itu adalah panggilan dari Hanna. Tampaknya lelaki itu ingin membahas perihal apa yang telah mereka temukan di pondok milik Lissa beberapa waktu yang lalu.     

"Pastikan kau tak memberitahu siapapun mengenai kepergian kita dari kota itu!" saran Malvine.     

"Yeah, aku mengerti akan hal itu!" jawab Davine.     

Davine kembali memasukkan smartphone itu ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan, rasanya saat itu bukan waktu yang tepat untuk menanggapi apa yang Hanna inginkan dari panggilannya itu.     

Beberapa jam mereka habiskan untuk perjalanan itu, tak terasa kini Davine telah memasuki kawasan yang cukup ia kenal, bagaimanapun sebagian masa sekolahnya ia juga habiskan di kota itu.     

Berbeda dengan keadaan kota tempat ia berkuliah saat ini, keadaan kota itu tampak ramai lancar. Situasi di kota itu sangat tenang dan normal, tak seperti apa yang sedang terjadi di kota yang sedang kacau itu, hal ini membuat Davine sedikit merindukan hari-hari di mana ia dapat hidup dengan normal layaknya para warga di kota tempat orang tuanya tinggal itu. Semenjak kasus pembunuhan berantai mulai terjadi di kota tempatnya tinggal itu, bahkan sampai saat ini Davine tak pernah lagi merasakan ketenangan batin dalam menjalani kehidupannya.     

Sampai di depan gerbang rumah mereka, Malvine segera menekan klakson mobilnya guna memberikan tanda jika dirinya dan Davine kini telah sampai. Malvine memang telah mengabarkan keberangkatannya kembali ke kota itu kepada kedua orang tua mereka.     

Terlihat dua orang satpam segera membuka gerbang rumah yang sangat mewah itu. Sebagai salah satu keluarga dengan jumlah kekayaan yang berada di atas rata-rata, tentu mereka memiliki rumah besar yang juga sangat mewah, walau itu terasa sangat berlebihan untuk mereka tinggali, mengingat jumlah anggota keluarga mereka yang sangat kecil.     

Setelah membuka gerbang rumah itu, kini kedua satpam itu tampak berdiri dan memberikan salam kepada mereka. Malvine menekan kembali klakson mobilnya guna menyapa kedua satpam itu, sebelum akhirnya ia melajukan mobilnya menuju sebuah garasi yang berada di sisi kiri bangunan rumah mewah itu.     

Malvine segera keluar dari mobilnya, lelaki itu tampak sedikit merenggangkan tubuh sebab rasa letih akibat perjalanan yang mereka tempuh. Sedangkan Davine, lelaki itu segera menuju ke arah belakang mobil mewah itu guna mengambil barang-barang miliknya yang berada di bagasi.     

Tak membuang waktu lagi, kini kakak beradik itu segera berjalan menuju pintu utama rumah mewah itu. Terlihat dari kejauhan tampak dua orang asisten rumah tangga mereka berdiri di kedua sisi pintu utama untuk menyambut kedatangan Davine dan Malvine.     

"Bagaimana perjalan Anda Tuan?" tanya salah satu asisten rumah tangga itu.     

"Cukup baik!" jawab Malvine. Ia segera memberikan tas miliknya untuk agar dibawakan masuk oleh salah satu asisten rumah tangga itu.     

Sedangkan salah satu asisten lainnya tampak menawarkan diri untuk membawakan barang yang Davine bawa saat itu. Namun seperti biasa lelaki itu menolak dan mengatakan jika dirinya bisa membawa barang bawaannya sendiri.     

"Ah, tidak perlu, biarkan saya membawanya sendiri!" ujar Davine lembut.     

Sang asisten rumah tangga itu tampak menundukkan kepalanya, ia tahu semenjak dahulu Davine memang tidak suka jika diperlakukan bak seorang raja, walau nyatanya itu memang sebagian dari tugas para asisten rumah tangga yang bekerja di kediaman keluarga Harris itu.     

Davine menatap ke setiap sudut rumah mewah itu, tak banyak yang berubah dari tempat itu, seperti biasa, rumah itu selalu tampak sepi karena volumenya yang terlalu masif untuk ukuran keluarga kecil mereka.     

"Apa Ayah ada dirumah?" tanya Davine.     

"Seharusnya dia akan segera pulang beberapa hari lagi. Saat ini Ayah sedang berada di luar negeri, ia mau tidak mau harus melakukan perjalanan bisnis itu," jawab Malvine.     

"Setelah mendengar jika keadaan Ibu yang semakin memburuk, lelaki itu segera membatalkan semua janji yang harus ia lakukan. Ayah tampak sangat panik saat mendengar kabar buruk ini!" tambah Malvine.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.