Another Part Of Me?

Part 5.14



Part 5.14

0Davine tak ingin membuang waktu lagi, lelaki itu segera berjalan menuju kamar sang ibu. Dari kejauhan tampak beberapa suster pribadi sedang berjaga tak jauh dari kamar tersebut. Saat dalam perjalanan menuju rumah itu, Malvine memang telah mengatakan jika saat ini setidaknya ada empat suster dan seorang pribadi yang telah mereka sewa guna merawat keadaan sang ibu.     

Davine yang kini telah berada tepat di depan pintu kamar Monna itu segera di hadang oleh salah satu suster yang berjaga di luar ruangan itu. Tampaknya ia tak tahu siapa Davine sebenarnya, ini adalah hal yang sangat wajar, karena notabenenya Davine memang telah lama tidak kembali pulang ke rumah itu, sedang para suster itu memang baru saja bekerja di kediaman keluarga mereka.     

"Maaf, saat ini Ibu sedang istirahat!" ujar sang suster pada Davine. Tampak wanita itu terlihat bertanya-tanya siapa lelaki yang kini berada di hadapannya itu.     

Malvine menyusul dari kejauhan, melihat kedatangan lelaki itu, sontak kedua suster yang sedang berjaga di luar ruangan itu segera membungkukkan badannya.     

"Dia Davine, dia adikku!" tegas Malvine.     

Sang suster yang sebelumnya menghadang Davine itu terkejut ketika, ia tak tahu jika lelaki yang ada di hadapannya itu adalah Davine yang merupakan salah satu anak dari keluarga itu.     

"Maafkan saya Tuan, saya tidak mengenali Anda!" mohon suster itu pada Davine.     

"Tak apa, kau tak perlu memikirkannya, yang terpenting saat ini bolehkan saya melihat keadaan Ibu?" jawab Davine. Seperti biasa lelaki itu tampak ramah, walau juga sedikit kaku.     

"Tentu saja, namun saat ini Ibu sedang beristirahat Tuan!" tukas sang suster.     

"Aku mengerti, aku hanya ingin melihat keadaannya saja, aku tak akan mengganggu waktu istirahatnya!" sambut Davine.     

Sang suster segera melayangkan pandangannya pada Malvine, tampaknya ia ingin hal itu mendapat persetujuan terlebih dahulu dari lelaki itu.     

Malvine yang menyadari hal itu segera membalas pandangan sang suster, ia menganggukkan kepalanya, memberikan tanda jika ia mengizinkan hal itu.     

"Baiklah Tuan, silahkan," ujar sang suster sembari membukakan pintu kamar itu untuk Davine.     

Tanpa membuang waktu lagi Davine segera memasuki kamar yang sangat luas dan mewah itu. Terlihat dari tempatnya berdiri saat itu, sang ibu sedang terbaring di atas kasur mewahnya, sedang kedua suster yang bertugas berjaga di dalam tampak duduk mengawasi keadaan sang ibu dengan jarak yang tidak cukup dekat. Hal itu mereka lakukan agar sang ibu tak merasa risih sebab kehadiran mereka.     

Melihat kedatangan Davine kedua suster yang berjaga di dalam itu segera berdiri. Sesaat mereka terlihat saling melayangkan pandangannya satu sama lain, tampak sama halnya dengan kedua suster sebelumnya, ini adalah kali pertama mereka melihat sosok Davine.     

Malvine segera menyusul ke dalam ruangan itu, ia segera melambaikan tangannya pada kedua suster itu agar segera menghampirinya.     

"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Malvine sedikit berbisik kepada kedua suster itu.     

"Untuk saat ini Ibu sedang istirahat, seperti yang Anda tahu, keadaannya semakin memburuk beberapa waktu belakangan ini!" jelas sang suster.     

Davine yang mendengar pembicaraan itu semakin merasa khawatir akan keadaan sang ibu.     

Sebelumnya ketika mereka masih dalam perjalanan menuju ke tempat itu, Malvine sempat sedikit menjelaskan apa yang saat ini sedang terjadi pada sang ibu.     

Malvine menjelaskan jika awalnya sang ibu memang kerap mengalami sakit kepala hebat yang kerap datang secara tiba-tiba. Ini adalah akibat dari aneurisma otak yang dideritanya. Pada dasarnya aneurisma otak terjadi karena melemahnya dinding pembuluh darah yang berada pada otak. Penyebab pasti di balik melemahnya dinding pembuluh darah itu masih belum bisa dipastikan oleh para peneliti. Namun ada beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi tersebut. Seperti, menderita hipertensi, berusia di atas 40 tahun, berjenis kelamin perempuan, pernah memiliki riwayat cedera pada kepala, dan juga faktor keturunan.     

Keluarga Harris mungkin tak mempunyai riwayat penyakit seperti itu, namun diketahui jika keluarga itu memang memiliki daya tahan tubuh yang lemah terhadap penyakit, terutama pada mereka yang telah menginjak usia di atas 40 tahun. Menurut Malvine hampir semua kematian di keluarga itu disebabkan oleh penyakit yang menyerang mereka di masa tua, Malvine juga menegaskan jika tak banyak dari keturunan keluarga itu yang tewas sebab faktor eksternal, seperti kecelakaan dan sebagainya.     

Davine menghentikan langkahnya, ia menatap ke arah Malvine yang sedang berbincang dengan salah satu suster yang sedari tadi sedang berjaga di dalam kamar itu. Malvine menggerakan tangannya, ia memberikan isyarat jika Davine boleh melihat keadaan sang ibu saat itu. Bagaimanapun juga kedatangan Davine sangat dirindukan oleh wanita yang kini terbaring lemah di atas kasurnya itu.     

Davine berdiri mematung tepat di depan Monna yang saat itu sedang tertidur. Ia tampak menatapi wajah wanita itu dengan seksama, sebelum akhirnya air matanya jatuh begitu saja. Selama ini Davine selalu melihat Monna sebagai ibu dan wanita yang sangat kuat dan periang, namun melihat keadaan wanita itu yang kini sedang terbaring lemah di depannya, tentu saja membuat hati lelaki itu terasa sakit.     

Davine yang tak dapat membendung air matanya mulai menangis di depan sang ibu yang sedang tertidur itu, tanpa sadar kini lelaki itu telah menangis sesenggukan bagaikan seorang anak kecil.     

Malvine yang melihat hal itu menahan langkahnya untuk mendekati adik angkatnya itu. Ia tahu jika lelaki itu butuh waktu untuk menerima kenyataan yang sedang terjadi pada ibu mereka.     

Davine terus menangis, beberapa kali lelaki itu mencoba mengusapnya, namun air mata itu seolah tak mau berhenti. Melihat keadaan sang ibu saat ini membuatnya merasa kesal kepada dirinya sendiri, ia merasa bagaikan anak yang tak tahu diri. Seharusnya ia tidak meninggalkan sang ibu dan pergi berkuliah di kota lain, sedangkan ia tahu saat itu sang ayah dan kakak angkatnya itu sedang sangat sibuk karena harus mengurus bisnis keluarga yang mereka punya. Meninggalkan Monna sendirian tentu akan membuat wanita itu merasa sangat kesepian, pikirnya.     

Davine yang masih terus bergelut dengan hatinya sendiri dikagetkan oleh tarikan yang terasa pada ujung bajunya saat itu.     

"Mengapa kau menangis seperti itu Sayang!" ujar Monna lembut.     

Mendapati sang ibu yang telah terbangun dari tidurnya, belum lagi suara lembut yang sangat familiar di telinganya itu segera membuat tangis Davine pecah seketika.     

"Bagaimana kabarmu Nak, Ibu sudah mencoba menghubungimu beberapa kali, apa kau sangat sibuk?" tanya Monna, wanita itu tampak tak ingin membahas perihal tuduhan yang sempat diberikan oleh pihak Kepolisian pada anak angkatnya itu, dan lagi Monna juga telah mengetahui jika hal itu ternyata hanyalah sebuah kekeliruan saja.     

"Maafkan aku Bu … maafkan aku!" jawab Davine, ia bahkan sangat kesulitan hanya untuk mengatakan hal itu.     

"Tak mengapa Nak, Ibu senang kau baik-baik saja," sambung Monna. Wanita itu tersenyum sangat manis pada anak angkatnya itu.     

"Tapi … maksudku, kondisimu, aku …." lelaki itu semakin menangis sesenggukan.     

"Tak ada yang perlu kau khawatirkan, ini hanya penyakit sepele!" ujar Monna, ia berusaha menenangkan Davine dengan mengelus lembut tangan lelaki itu.     

Davine menyambut tangan halus milik sang ibu, ia menggenggam dan menciumnya, masih dengan air mata yang terus mengalir tanpa bisa ia hentikan.     

Malvine yang sedari tadi hanya melihat mereka dari belakang kini beranjak dan menghampiri kedua ibu dan anak itu. Ia segera menghampiri dan mencium pipi sang ibu, Malvine juga beberapa kali mengusap lembut pundak adik angkatnya itu.     

"Aku merasa sangat bodoh karena tak menyadari apa yang telah terjadi pada Ibu," rintih Davine, ia terus mengutuk dirinya sendiri.     

"Itu bukan kesalahanmu, Ibu memang meminta hal ini dirahasiakan darimu. Ia tak ingin menjadi pikiran bagimu!" jawab Malvine.     

"Tapi kenapa, bukankah aku berhak mengetahui apa yang sedang terjadi, bukankah aku adalah salah satu bagian dari keluarga ini!" protes Davine.     

Sang ibu yang kondisinya sudah sangat lemah itu, tak dapat menjelaskan mengapa dirinya memilih melakukan hal itu dengan baik. Ia hanya tak ingin menjadi beban pikiran bagi Davine dan keluarganya. Berbeda dengan Malvine yang memang masih kerap pulang ke rumah itu setiap kali ia telah selesai dengan perjalanan bisnisnya, jadi rasanya wajar jika Monna tak dapat menyembunyikan kondisinya dari anak kandungnya itu, terlebih lelaki itu memang selalu menghubungi Monna dan para asisten rumah tangganya untuk sekedar menanyakan kondisi sang ibu. Namun untuk Davine yang saat itu sedang berkuliah di luar kota dan hampir tak pernah pulang itu membuat Monna dengan mudah dapat menyembunyikan kondisi kesehatannya itu.     

"Tapi, mengapa hanya aku yang tidak tahu akan hal ini?" tambah lelaki itu.     

"Itu karena Ibu tidak dapat menyembunyikan hal itu pada kami. Bagaimanapun juga aku dan ayah masih tinggal di rumah ini, walau tak dapat aku pungkiri jika waktu yang kami miliki sangat terbatas!" jawab Malvine.     

"Ibu tak ingin menjadi beban bagi siapapun, namun ia tak dapat menyembunyikan hal itu dari kami, namun tidak untuk dirimu. Itulah mengapa ibu juga meminta kami untuk merahasiakan kondisi kesehatannya darimu!" jelas Malvine.     

"Namun bukankah ini tidak adil!" tanggap Davine, ia masih tak bisa menerima hal itu.     

"Maafkan Ibu Nak, Ibu hanya ingin kau bisa fokus dengan kuliah dan apa yang sedang kau kejar di kota itu. Sebagai seorang Ibu, Ibu akan merasa bangga ketika melihat anaknya dapat meraih apa yang mereka inginkan, entah itu bagi kau maupun Malvine. Ibu ingin kalian tumbuh menjadi lelaki yang baik!" tutur Monna, suara wanita itu terdengar lembut, namun sedikit serak.     

"Ibu tak ingin kondisi ini menjadi penghalang bagi kalian untuk melakukan apa yang kalian inginkan. Mengertilah, Ibu hanya tak ingin menjadi beban, itu saja!" tambah sang ibu.     

"Kau tak pernah menjadi beban untuk kami. Tolong jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi!" mohon Davine. Ia kini memeluk dan menciumi pipi Monna yang kini mulai tirus.     

Mendengar dan melihat hal itu, Malvine yang sedari tadi berusaha tegar, tampak tak dapat membendung air matanya lagi, ia segera merangkul ibu dan adik angkatnya itu. Untuk beberapa saat mereka saling bertaut dalam tangisan mereka masing-masing. Waktu memang berlalu begitu cepat, manusia bukanlah mesin yang dapat direstorasi dengan cara mengganti part-part yang rusak. Pada akhirnya manusia akan menua dan mulai kehilangan daya tahan tubuh mereka. Sama halnya seperti Monna, takdir manusia memanglah seperti itu, kita dilahirkan, namun pada akhirnya akan kembali kepada Sang Pencipta, tak akan ada yang abadi di dunia ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.