Another Part Of Me?

Part 5.15



Part 5.15

0Malvin dan Davine menghabiskan waktu mereka untuk menemani sang ibu, mereka terus menjaga dan mengawasi sang ibu hingga wanita itu akhirnya terlelap. Kondisi Monna memang sangat gawat, wanita itu telah dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan, namun pihak keluarga telah sepakat dan lebih memilih mendatangkan langsung tenaga medis dan dokter pribadi untuk merawat Monna di kediaman mereka, tentu itu juga karena permintaan wanita itu sendiri. Selain membutuhkan perawatan intensif, saat ini tentu saja Monna memerlukan ketenangan dan kenyamanan yang tak bisa ia dapatkan bahkan itu dari rumah sakit yang paling mewah yang berada di kota itu sekalipun.     

Perlengkapan medis telah disiapkan dengan sangat lengkap guna menunjang perawatan dan pengobatan pada sang ibu, bagi keluarga Harris tentu saja itu bukanlah hal sulit untuk mereka lakukan. Bahkan jika harus membeli satu unit rumah sakit guna kesembuhan Monna, maka hal itu tidaklah mustahil untuk mereka lakukan, mengingat uang bukanlah masalah bagi keluarga yang sangat terpandang itu.     

Setelah memastikan sang ibu beristirahat dengan baik, Davine beserta kakak angkatnya itu segera meninggalkan kamar yang sekaligus tempat Monna dirawat saat itu. Mereka tak banyak berbicara satu sama lain, tampak kedua kakak beradik itu terlihat sibuk dengan pemikirannya masing-masing.     

Malvine sempat menanyakan kemana dokter pribadi yang mereka pekerjakan kepada para perawat yang berada di luar ruangan itu. Semenjak kedatangannya Malvine memang belum melihat atau mendapati sang dokter berada di rumah itu.     

"Dokter akan segera kembali beberapa jam lagi, setelah memeriksa dan mengalahkan lakukan perawatan beliau meminta izin untuk keluar karena ada keperluan sebentar," jelas sang perawat itu.     

"Lalu apakah pengobatan ini berjalan dengan baik?" tanya Malvine.     

Para suster itu kini tampak saling menatap antara satu sama lain, mereka tak dapat mengatakan jika apa yang telah mereka upayakan itu berjalan dengan baik, bagaimanapun juga komplikasi yang diderita oleh sang ibu memanglah sangat fatal.     

Malvine yang melihat reaksi itu tak lagi menunggu jawaban dari para suster itu, ia tahu apa yang sedang sang ibu alami, dan ia juga tahu jika kemungkinan sang ibu untuk sembuh sangatlah kecil.     

Davine segera memasuki kamar miliknya yang berada di rumah itu. Kamar itu masih tampak seperti dulu, tertata rapi dengan beberapa barang miliknya yang masih berada di sana, tampaknya Monna hanya memerintahkan para asisten rumah tangganya untuk membersihkan kamar itu saja, namun tidak untuk merubah atau memindahkan barang-barang milik anak angkatnya itu.     

Davine menarik napasnya panjang, aroma khas yang dipancarkan oleh kamar itu terasa sangat familiar baginya. Hal ini membuat Davine sedikit bernostalgia ketika ia masih tinggal di rumah itu bersama Monna yang kini kondisinya telah jauh berbeda semenjak sepeninggalannya dari rumah tersebut.     

Davine mungkin bukanlah anak yang begitu manja terhadap ibu angkatnya, sedari dulu ia memang tergolong anak introvert yang sangat pendiam, ia bahkan tak pernah sekalipun membicarakan apa yang ia alami sehari-hari pada Monna, baik itu masalah di sekolah dan pergaulannya. Namun Monna adalah wanita yang sangat peka, ia selalu saja dapat mengetahui jika saja ada sesuatu yang terjadi pada anak angkatnya itu, walau ia tak langsung mempertanyakan hal itu secara langsung pada Davine, tampaknya Monna memiliki caranya sendiri untuk membantu dan menasihati lelaki itu tanpa perlu membahas apa yang sedang terjadi kepada anak angkatnya itu.     

Keputusan Davine mengambil kuliah di kota yang telah mereka tinggalkan itu juga tidak lepas dari persetujuan dan campur tangan Monna. Walau hanya seorang ibu angkat, namun Monna seolah selalu dapat membaca jika ada sesuatu yang saat itu sedang Davine usahakan, meski tak tahu pasti alasan mengapa anak angkatnya itu memilih mengambil kuliah di kota itu, namun sekali lagi Monna seolah tahu jika anak lelaki itu pastilah memiliki alasannya tersendiri.     

Meski berat bagi Monna untuk melepaskan Davine untuk berkuliah di kota itu, namun ia juga tak ingin menghambat apa yang saat itu sedang anak angkatnya itu usahakan. Saat itu keluarga Harris memang sedang sibuk-sibuknya dengan bisnis yang sedang mereka kelola, Edward yang merupakan sang ayah terlihat sangat sibuk, sementara Malvine saat itu masih berada di luar negeri untuk menyelesaikan kuliah semester akhirnya. Tentu saja keputusan Davine untuk meninggalkan rumah itu menjadi sesuatu yang cukup berat bagi Monna, meski ia tahu nantinya ia akan merasa sangat kesepian, namun ia tak ingin menghambat tujuan anak angkatnya itu. Monna, wanita itu dengan berat hati harus mengikhlaskan Davine untuk pergi dan berkuliah di kota tempat tinggal mereka dahulu.     

******     

Davine terbangun oleh suara ketukan pada pintu kamarnya, sedang matahari pagi kini mulai menerpa jendela kamarnya. Tampaknya lelaki itu tertidur lebih cepat malam itu, ia sedikit lelah sebab perjalanan yang ia lakukan kemarin.     

Davine mengacak kasar rambutnya, tak biasanya ia sampai tertidur begitu pulas seperti malam itu, seharusnya perjalanan yang ia sebelumnya tidaklah terlalu banyak memakan tenaga, namun entah mengapa setelah perjalanannya bersama Malvine untuk pulang ke kediaman keluarga Harris itu, ia merasa begitu letih. Bagaimanapun juga Davine tahu kondisi fisiknya, seharusnya ia tak akan merasa begitu lelah hanya karena perjalanan yang ia tempuh kemarin.     

Seingatnya, ia memang tiba-tiba saja merasakan kantuk yang sangat berat ketika ia dan Malvine baru saja menyelesaikan makan malamnya. Namun bisa saja itu adalah pengaruh hormon setelah proses pencernaan, sebagian orang wajarnya memang mengalami hal seperti itu. Pelepasan hormon serotonin dan melatonin setelah proses pencernaan berlangsung, diketahui dapat menimbulkan rasa kantuk. Mungkin hal itulah faktor yang menyebabkannya merasakan kantuk yang begitu hebat malam itu, pikir Davine.     

Setelah mendapatkan kembali kesadarannya secara penuh, Davine segera berjalan menuju pintu kamarnya. Ketukan itu cukup membuatnya terganggu.     

Membuka pintu, Davine mendapati salah seorang dari suster pribadi yang bertugas merawat sang ibu itu sedang berdiri tepat di depannya.     

"Selamat pagi Tuan!" sapa suster itu.     

"Ya, selamat pagi, apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Davine sedikit risau.     

"Tidak Tuan, hanya saja Ibu menginginkan agar Tuan segera berkunjung ke ruangannya," tukas suster itu.     

"Baiklah, saya akan segera menemuinya, beri saya sedikit waktu!" sanggup Davine.     

Setelah menyampaikan hal itu sang suster segera pamit undur diri. Ia mengatakan akan menyampaikan kepada sang ibu jika Davine akan segera menemuinya sesaat lagi.     

Davine segera membasuh wajahnya, baginya melihat keadaan Monna yang kini lemah tak berdaya itu sangat membebani pikirannya. Bagaimana tidak, selama ini Monna adalah tipe wanita dan ibu rumah tangga yang cukup periang dan terbilang sangat aktif, hal ini sangat berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini. Tentu saja bagi Davine yang telah terbiasa melihat Monna dengan karakter itu kini cukup membuatnya merasa sangat sedih. Kenyataan Monna yang kini hanya bisa terbaring lemah di atas kasurnya sangat membuat hati Davine terasa begitu sakit.     

Setelah membasuh wajah dan mengganti pakaiannya, Davine pun dengan segera melesat ke ruangan sang ibu. Ia khawatir kalau saja ada sesuatu yang sangat penting yang ingin ibu angkatnya itu bicarakan kepadanya.     

Davine berjalan dengan tergesa menuruni anak tangga untuk menuju kamar sang ibu. Letak kamar lelaki itu memang berada di lantai dua, sedang kamar sang ibu berada di lantai satu rumah mewah itu.     

Sampai di depan pintu Davine segera disambut oleh dua suster yang sedang berjaga di luar ruangan itu. Kedua suster itu dengan sigap menundukkan kepalanya dan membukakan pintu ruangan tersebut untuk Davine.     

Davine membalas kedua suster itu dengan sedikit menundukkan kepalanya, sebelum akhirnya ia berlalu begitu saja dan segera memasuki ruangan tempat sang ibu di rawat.     

Monna yang menyadari kedatangan Davine segera memerintahkan agar kedua suster dan seorang dokter pribadinya yang sedari tadi turut berada di ruangan itu untuk keluar, tampaknya Monna ingin berbicara secara empat mata dengan anak angkatnya itu.     

Melihat isyarat yang diberikan Monna, kedua suster dan satu orang dokter itu segera berdiri dan undur diri dari ruangan itu. Davine yang saat itu baru saja menginjakkan kakinya ke dalam ruangan itu cukup merasa heran dengan perlakuan yang mereka lakukan saat itu.     

Davine menghentikan langkahnya begitu saja, lelaki itu masih tampak sedikit bingung, hingga akhirnya sang dokter yang yang saat itu telah diperintahkan Monna untuk meninggalkannya bersama anak angkatnya itu menghampiri Davine.     

"Tampaknya Ibu ingin berbicara empat mata bersama Tuan!" ujar sang dokter sebelum akhirnya ia dan kedua suster itu meninggalkan Davine dan Monna berdua di kamar itu.     

Davine segera melangkahkan kakinya untuk menghampiri sang ibu yang saat itu hanya bisa terbaring lemah di atas kasurnya. Saat itu ia tak mengerti mengapa Monna menginginkan dirinya untuk berbicara secara empat mata. Hal ini sedikit membuat firasat buruk muncul di hati lelaki itu.     

"Bagaimana keadaan Ibu?" tanya Davine, lelaki itu mengelus lembut tangan Monna penuh perasaan.     

"Sangat baik Nak!" jawab Monna, wanita itu membalas belaian yang Davine berikan dengan sisa-sisa tenaganya.     

Untuk beberapa saat Davine dan Monna hanya saling menatap satu sama lain, tidak perlu berbicara, rasanya hati mereka seolah saling terpaut hanya dengan saling menatap saja.     

"Aku senang melihatmu baik-baik saja!" ujar Monna membuka pembicaraan itu.     

"Kau anak yang sangat baik Davine," tambah Monna, sebuah senyum terlihat mengembang di pipi tirusnya.     

"Seperti yang kau lihat, aku sudah tak punya banyak waktu lagi!" kini raut wajah wanita itu berubah serius.     

"Kumohon jangan katakan hal semacam itu!" sanggah Davine. Lelaki itu benar-benar tak ingin mendengar hal semacam itu keluar dari mulut sang ibu.     

Monna menatap Davine penuh makna, kini ia beralih mengusapkan tangannya pada wajah anak angkatnya itu.     

"Ada sesuatu yang harus aku sampaikan kepadamu, namun …." Monna menghentikan kata-katanya begitu saja.     

"Namun apa, katakanlah!" tanggap Davine. Ia meraih tangan Monna yang kini tampak sangat kurus itu.     

"Bisakah aku meminta sesuatu kepadamu?" tanya Monna dengan suara paraunya.     

"Ya, tentu saja, aku akan melakukan apa pun yang Ibu inginkan!" jawab Davine.     

"Namun …." ujar Davine terputus. Ia tak mampu menahan air matanya lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.