Another Part Of Me?

Part 5.19



Part 5.19

0Pagi itu upacara pemakaman Monna akan segera dilangsungkan, tak seperti kemarin, kini rumah itu mewah nan megah itu tampak dipenuhi oleh orang-orang dengan jas dan gaun hitam. Tampaknya para rekan bisnis dan keluarga mereka turut datang untuk menghadiri proses pemakaman itu.     

Keluarga Harris tentu saja memiliki rekan bisnis yang terbilang cukup banyak, entah itu dari sesama pengusaha atau pun pejabat kota itu sendiri. Sedangkan untuk pihak keluarga mereka, bahkan Davine yang notabenenya adalah anak angkat dari keluarga itu tidak pernah benar-benar mengenalinya. Selama ini ia hanya hidup di keluarga kecil itu tanpa tahu bagaimana silsilah keluarga tersebut.     

Tak banyak dari pihak keluarga mereka yang turut hadir, kebanyakan didominasi oleh para partner dan rekan bisnis dari keluarga itu saja.     

Davine memang tak banyak mengetahui perihal seluk beluk keluarga itu, apakah di balik nama besarnya keluarga itu juga memiliki anggota yang besar pula, atau mungkin memang hanya merekalah yang kini tersisa dalam keluarga tersebut. Bagaimana tidak, semenjak dirinya diangkat sebagai anak dalam keluarga itu, ia memang tak pernah sekalipun mengenal atau dipertemukan dengan keluarganya yang lain, baik itu kakek, nenek, bibi, paman, atau saudara sepupu lainnya. Entah mengapa keluarga itu seolah hidup sebatang kara.     

Pemakaman itu tidak dilakukan di pemakaman umum atau tempat yang memang dikhususkan untuk menjadi sebuah pemakaman bagi orang yang telah meninggal. Tampaknya keluarga itu lebih memilih untuk menyemayamkan jasad Monna di pekarangan rumah mereka yang memang terbilang sangatlah luas itu. Menurut Edward itu adalah salah satu permintaan yang pernah sang istri utarakan dulu semasa hidupnya. Monna pernah berkata kepada lelaki itu agar kelak jika dirinya telah berpulang kepada Sang Pencipta, maka ia ingin jasadnya disemayamkan di area pekarangan rumah mereka, menurut Monna dengan begitu maka nantinya ia tak akan merasa begitu kesepian di alam sana.     

Dulunya Edward hanya menanggapi hal itu sebagai angin lalu saja, namun kini apa yang sempat dituturkan oleh wanita itu tampaknya telah menjadi kenyataan.     

Upacara pemakaman itu berlangsung dengan sangat hikmat, para tamu yang hadir tampak menundukkan wajah mereka masing-masing, sedang Edward, lelaki itu tak mampu menahan tangisnya ketika melihat peti sang istri mulai disemayamkan kedalam liang peristirahatannya. Untuk kedua kalinya kini lelaki itu tampak menunjukan kelemahannya. Selama ini Edward memang adalah lelaki yang tegar, ia bagaikan sebuah tembok kokoh yang tak dapat ditembus, ia sangat berwibawa, dan hampir terlihat sempurna di dalam semua aspek. Namun kali ini tembok itu seolah roboh seketika, bahkan bagi lelaki seperti Edward sekalipun, kehilangan sang istri tentu menjadi pukulan hebat baginya.     

Cuaca sangat cerah hari itu, walau semua tamu tampak sangat berkabung, namun alam tak berkata seperti itu, langit cerah itu seolah ingin agar kesedihan itu segera berlalu. Sebagai manusia, tentu saja kesedihan sebab ditinggalkan orang terkasih pasti akan menyakitkan. Namun hidup tak akan pernah menunggu, mereka tetap harus melanjutkan hidup mereka walau telah ditinggalkan oleh orang-orang terkasihnya. Begitulah hidup, semua seolah datang dan pergi, yang harus mereka lakukan hanyalah terus berjalan maju tanpa perlu memandang ke belakang lagi.     

Proses pemakaman itu telah selesai, terlihat rangkaian bunga tampak bertebaran di sekitar area makan tersebut. Para tamu terlihat mulai pergi satu per satu, sedang Edward, Malvine, dan Davine, tampak masih berdiri di depan makam sang ibu. Mereka hanya ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama bersama sang ibu yang kini telah berada di peristirahatan abadinya itu.     

Edward tampak dihampiri oleh dua orang yang tidak Davine kenal. Mereka tampak melakukan pembicaraan singkat, sebelum akhirnya kedua orang itu berlalu setelah beberapa kali terlihat mengusap pundak sang ayah. Tampaknya mereka adalah salah satu dari anggota keluarga mereka yang turut hadir dalam upacara pemakaman itu.     

Hari itu berlalu dengan sangat cepat. Kini waktu menunjukkan pukul 19.00 p.m. itu adalah jam makan malam bagi keluarga mereka. Baik Edward, Malvine, dan Davine tampak duduk di kursi mereka masing-masing, sedang hidangan mewah nan lengkap telah tersaji tepat di meja makan mereka. Namun tak ada satupun dari ketiga orang itu yang tampak mau menyentuh peralatan makan mereka. Kematian Monna tampaknya masih menjadi beban tersendiri bagi keluarga itu.     

Walau tak berbicara satu sama lain, namun jelas terlihat bagaimana penyesalan yang sangat dalam tertanam di hati mereka. Davine dan Malvine tampak sangat menyesalkan kejadian yang menimpa sang ibu. Menurut mereka itu adalah keteledoran yang tanpa sengaja mereka lakukan. Jika saja mereka lebih menjaga dan mengawasi sang ibu dengan lebih baik, mungkin saja kematian wanita itu tak akan terjadi. Sedangkan Edward, tentu saja lelaki itu kini sedang menyesali keputusan yang telah ia ambil untuk tetap melakukan perjalanan bisnisnya.     

"Ini salahku!" ujar Malvine membuka pembicaraan. Lelaki itu tampak berusaha menahan tangisnya.     

"Seandainya aku lebih memperhatikan Ibu dengan lebih baik, mungkin saja kejadian itu tak akan menimpanya!" sesal Malvine. Lelaki itu menggenggam dan menghentakkan tangannya ke atas meja makan.     

"Itu tidak benar, jika itu adalah kesalahanmu, maka aku juga turut bersalah atas kejadian itu. Aku juga ada dirumah ini, namun …" Davine mengusap matanya yang tampak mulai berair.     

Edward tampak menarik napasnya, itu kali pertama bagi Malvine, maupun Davine melihat sang ayah menghela napasnya seperti itu. Edward memang telah mengetahui bagaimana kronologi kejadian itu bisa menimpa Monna, ia tak menyalahkan hal itu pada Malvine, Davine, maupun para suster yang telah ia sewa untuk menjaga Monna saat itu. Walau kenyataan itu sangat pahit baginya, namun Edward berusaha sebisa mungkin menerima hal itu sebagai sebuah kecelakaan yang tak pernah dari tiap-tiap mereka inginkan.     

"Jangan menyalahkan diri kalian!" ujar Edward. Perkataan sang ayah seketika membungkam kedua anak lelakinya itu.     

"Itu adalah sebuah kecelakaan, jadi jangan pernah sekalipun menyalahkan diri kalian atas apa yang telah menimpa Ibu kalian!" tukas Edward.     

Malvine dan Davine saat itu hanya bisa menahan air mata mereka, mereka tahu jika itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diterima oleh sang ayah. Mungkin lelaki itu hanya berusaha terlihat tegar, pikir kedua kakak beradik itu.     

Edward berdiri dari tempatnya, ia mengatakan jika hari itu ia sedang tidak nafsu makan. Lelaki itu menyarankan agar Malvine dan Davine makan malam saja tanpa dirinya.     

"Maafkan ayah, ayah harus kembali ke kamar saat ini juga!" ujar Edward sembari pergi meninggalkan kedua anak lelakinya itu.     

Sedangkan Malvine dan Davine hanya bisa terdiam di tempatnya masing-masing, sebelum akhirnya kakak angkatnya itu memutuskan untuk melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh sang ayah.     

Sepeninggalan Malvine, kini tinggalah Davine sendiri duduk termenung menatap sajian lengkap yang tak tersentuh di atas meja makan itu. Sama halnya dengan sang ayah dan kakak angkatnya itu, Davine juga merasa tidak bernafsu untuk menyantap hidangan tersebut.     

Davine menyandarkan tubuhnya sambari menengadahkan kepalanya menatap langit-langit yang terdapat di ruang makan itu. Ia menatap kosong ke sebuah lampu gantung mewah yang terpasang tepat di tengah-tengah ruangan makan tersebut. Kepulangannya kali ini bukanlah hal yang menyenangkan, pikirnya.     

Davine menerawang setiap sudut langit-langit di ruangan itu. Entah Mengapa tanpa ia sadari perhatiannya tertuju pada sebuah CCTV yang terpasang di salah satu sudut ruangan itu. Davine memang mengetahui jika ada beberapa tempat yang sengaja dilengkapi kamera pengawas guna merekam tiap-tiap aktivitas yang terjadi di rumah itu. Hal itu mereka lakukan hanya untuk berjaga dan mengawasi setiap pergerakan orang-orang yang berada di rumah tersebut. Rumah itu memang memiliki diameter yang sangat luas, dan lagi Edward juga terkadang kerap menjamu para klien bisnisnya di rumah itu, atas dasar pertimbangan tersebut, akhirnya keluarga itu sepakat untuk memasang CCTV di beberapa ruangan atau area yang telah mereka pilih, dan salah satunya adalah ruang makan tempat di mana kini Davine berada.     

Tak hanya di dalam ruangan, mereka juga memasang beberapa CCTV di area pekarangan guna memantau pergerakan yang terjadi di luar rumah megah itu untuk sekedar berjaga-jaga saja.     

Davine yang sedari tadi sedang melamun itu segera tersadar akan sesuatu yang sedikit janggal baginya. Menyadari hal itu, Davine segera bangkit dan berjalan menuju kamar mendiang sang ibu untuk sedikit memastikan dan menjawab rasa penasarannya saat itu.     

Memasuki kamar sang ibu, Davine segera berusaha mencari dan menerawang setiap area sudut langit-langit ruangan itu. Seperti yang ia duga, tak ada CCTV yang terpasang di sana. Sebenarnya ini bukanlah hal yang tak wajar, lagi pula Davine sendiri juga mengetahui jika tak ada satupun kamera CCTV yang terpasang di setiap kamar yang terdapat di dalam rumah itu sejak dahulu, lantas apa yang saat ini seolah menarik perhatiannya.     

Memasang kamera pengawas seperti CCTV pada kamar seseorang pastilah hal yang sangat tidak sopan untuk dilakukan, karena hal itu tentu saja akan mengusik privasi dari sang pemilik kamar tersebut. Sebenarnya itu adalah wawasan yang sangat umum. Namun ada kalanya hal itu boleh mereka lakukan. Tentu saja hal itu baru boleh dilakukan dengan berbagai pertimbangan serta tujuan yang jelas di baliknya, dan dalam kasus Monna, seharusnya hal itu sangat penting untuk dilakukan. Melihat kondisi sang ibu, maka pemasangan CCTV pada kamar itu seharusnya memang sangat penting untuk dilakukan. Mengingat kondisi sang ibu saat itu, tentu saja kamera pengawas seperti CCTV akan sangat berguna bagi mereka. Karena bagaimanapun mereka harus mengetahui setiap aktivitas yang dikerjakan baik itu yang dilakukan para suster maupun dokter yang mereka sewa, dab bahkan Monna sendiri. Namun mengapa hal itu tidak terpikirkan oleh mereka, pikir Davine.     

Davine tahu jika tiap-tiap individu dari keluarga itu, baik Malvine, Davine, dan bahkan sang ayah adalah tipe orang yang sangat teliti dalam memahami suatu keadaan, namun entah mengapa kali ini seolah tak ada satupun dari mereka yang menyadari betapa pentingnya benda itu untuk mereka aplikasikan pada kamar milik Monna, pikir lelaki itu lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.