Another Part Of Me?

Part 5.21



Part 5.21

0Seharian penuh Davine tak mendapati sang kakak terlihat di rumah itu, ia telah mempertanyakan perihal di mana keberadaan sang kakak pada salah satu asisten rumah tangganya, menurut sang asisten rumah tangga itu, seharian ini Malvine memang tampak tak beranjak sedikitpun dari kamarnya.     

Waktu menunjukan pukul 16.00 p.m. tampaknya sang kakak telah melewatkan dua jam makannya dan memilih terus mengurung diri di kamar. Sedangkan Edward lelaki itu tampak lebih memilih menghabiskan waktunya untuk mengurus makam sang istri. Lelaki itu tampak menyibukkan diri dengan menanam bunga-bunga cantik guna menghiasi makan wanita itu. Mungkin Edward tak ingin terlalu larut dalam kesedihan yang ia rasakan, maka dari itu ia lebih memilih untuk menyibukkan waktunya dan mengisi kekosongan yang ia rasakan dengan membuat makam sang istri tampak menjadi lebih indah. Lelaki itu berharap dengan merubah suasana pada makam sang istri, maka perasaan berkabung yang ia rasakan juga akan sedikit menghilang.     

Davine yang merasa khawatir akan keadaan sang kakak, memutuskan untuk menyiapkan beberapa roti panggang untung ia berikan dan antar kepada lelaki itu. Bagaimanapun juga Malvine telah mengurung dirinya di dalam kamar itu seharian suntuk. Sebagai adik, tentu saja Davine merasa sedikit khawatir akan kesehatan lelaki itu, bagaimanapun sejak tadi malam sang kakak tampak belum mengkonsumsi makanan sedikit pun.     

Davine beberapa kali mengetuk pintu kamar Malvine, namun ia tak mendapatkan jawaban apapun dari sang kakak. Merasa penasaran, Davine memutuskan untuk sedikit mencuri dengar dengan menempelkan kupingnya pada pintu kamar tersebut. Walau samar, namun Davine dapat mendengar sedikit suara rintih kecil dari sang kakak.     

Mendengar hal itu, kekhawatiran Davine pun semakin kian bertambah, ia tahu jika kematian dari sang ibu memang terasa sangat pahit bagi sang kakak, namun di satu sisi Davine juga tak ingin jika sang kakak terus menyalahkan dirinya sendiri akan hal itu. Bukan hanya Malvine, bahkan Davine sendiri turut merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh sang kakak saat itu, namun ia juga tak boleh terus berlarut dalam penyesalan. Seperti apa yang Siska katakan kepadanya, takdir seseorang telah ditentukan sedari awal. Bahkan jika mereka mencoba dan memaksakan sesuatu seperti yang mereka inginkan, bukan berarti takdir itu bisa mereka ubah.     

Davine kembali mengetuk pintu kamar itu, kini ia sembari memanggil nama sang kakak, berharap dengan begitu maka lelaki itu akan membukakan pintu itu untuknya. Namun hasilnya tetap saja nihil, entah mengapa Malvine seolah mengabaikan dirinya begitu saja.     

"Malvine, apa kau mendengarku?" teriak Davine dari luar pintu kamar kakak angkatnya itu.     

"Malvine, jawablah!" teriak lelaki itu sekali lagi.     

Tentu saja ini adalah hal yang tidak beres, tak biasanya Malvine mengabaikan panggilan orang sekitarnya, sedang Davine merasa sangat yakin jika teriakannya itu pastilah terdengar oleh sang kakak.     

Firasat buruk mulai bersarang di benaknya, Davine tahu saat ini Malvine pastilah sedang mengalami depresi sebab kepergian sang ibu.     

Davine kembali mencoba memanggil kakaknya itu dengan lebih intens, ia bahkan mulai menggedor-gedor kamar lelaki itu. Kini tangisan itu tak lagi samar terdengar di kuping Davine, ia mendengar dengan sangat jelas jika saat itu sang kakak sedang merintih dengan sangat pilu di dalam kamar tersebut.     

"Malvine, kumohon … buka pintunya sekarang juga!" Teriak Davine. Ia sedikit merasa kesal karena keberadaannya seolah diabaikan begitu saja oleh sang kakak.     

Malvine masih saja tak menjawab panggilan itu, sedang tangis lelaki itu kini semakin menjadi. Hal ini tentu membuat Davine semakin merasa panik. Ia tak ingin skenario buruk yang kini berada di otaknya itu terjadi.     

"Malvine, jangan bercanda!" teriak Davine lagi.     

Merasa itu telah percuma, Davine segera berusaha mendobrak pintu kamar sang kakak, ia tidak bisa tinggal diam dan hanya terus-menerus meneriakan hal yang sia-sia.     

Bruuuakkk …     

Percobaan pertama itu gagal. Tampaknya keributan yang terjadi kini mulai menarik perhatian pada asisten rumah tangga dan bahkan Edward yang sedang berada di rumah itu.     

Kini Davine mengambil ancang-ancang lebih jauh dari sebelumnya, ia memfokuskan semua dorongan dari tenaga yang ia keluarkan pada bahu kanannya.     

Bruuuuuuaaakkkk …     

Pintu itu ambruk sebab usaha yang Davine lakukan. Betapa terkejutnya ia melihat saat itu sang kakak telah berdiri di atas kursi dengan sebuah tali melingkar yang siap ia gunakan untuk menggantung lehernya.     

Davine yang melihat hal itu segera berlari dan menarik Malvine jatuh dan menjauh dari simpul tali yang telah ia buat itu. Sedikit terlambat saja maka apa yang ia pikirkan di dalam otaknya itu akan menjadi kenyataan.     

"Apa kau gila!" bentak Davine. Ia mendaratkan sebuah tamparan keras pada wajah sang kakak. Itu kali pertama bagi Davine melakukan hal sekasar itu pada sang kakak.     

"Apa kau pikir Ibu akan senang melihatmu melakukan hal seperti ini?" ujar Davine.     

"Kau benar-benar gila!" caci Davine, ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ingin dilakukan oleh sang kakak.     

Malvine tampak terdiam, ia tak segera bangkit, posisinya saat itu sedang jatuh telentang sebab tarikan kasar yang dilakukan adik angkatnya itu kepadanya. Tatapan lelaki itu tampak kosong, sementara air mata terus mengalir tanpa bisa dihentikan melewati ujung dari kedua matanya.     

Davine mengacak kasar rambutnya. Ia benar-benar tak pernah memikirkan jika Malvine sampai berniat melakukan aksi bunuh diri sebab kejadian yang membuat Ibu mereka tewas itu.     

"Aku bersalah, ini semua salahku. Seharusnya aku menjaga ibu dengan benar!" rintih Malvine.     

Plaaaakkk …     

Davine kembali mendaratkan tamparannya pada wajah sang kakak.     

"Apa itu bisa membuatmu sadar?" tanya Davine kasar.     

Malvine hanya memalingkan wajahnya dari sang adik, lelaki itu tampak enggan berbicara lagi.     

"Apa aku perlu menamparmu sekali lagi!" bentak Davine. Ia benar-benar merasa kesal dengan sikap yang ditunjukkan oleh sang kakak.     

"Sudah, hentikan semua itu!" sebuah suara berat yang tak asing di telinga mereka terdengar dari arah belakang.     

Itu adalah Edward. Tampaknya keributan itu telah memancing sang ayah untuk memeriksa apa yang sedang terjadi. Tak hanya sang ayah kini kedua asisten rumah tangga, dan salah satu dari dua orang satpam yang bekerja di rumah itu telah datang dan tampak berdiri di depan pintu dari kamar milik Malvine. Mereka tentu sangat penasaran dengan apa yang sedang terjadi.     

"Davine hentikan itu. Biar Ayah yang menasihatinya!" titah Edward.     

Davine yang menerima perintah itu segera berdiri dan menjauh dari sang kakak. Sementara Malvine masih tampak diam sembari terbaring di lantai ruang kamarnya itu.     

Perasaan berdebar terasa di jantung Davine. Itu kali pertama sang ayah memerintahkannya untuk melakukan sesuatu. Suara lelaki itu sangat berat, dingin, namun juga berwibawa, membuat Davine yang mendengarnya seketika merasa membeku.     

Sedangkan Malvine, lelaki itu tampak pasrah dengan apa yang akan ia terima dari sang ayah. Ia tahu jika dirinya telah melakukan hal yang sangat bodoh. Namun bisikan itu terus mengganggu dan memaksanya untuk melakukan aksi bunuh dirinya. Tentu saja itu bukanlah hal yang nyata, bisikan itu adalah sebuah delusi yang muncul sebab rasa bersalah yang begitu besar yang terpendam di dalam hatinya.     

"Malvine, bangkit dan duduklah!" titah Edward.     

Tanpa berkata, Malvine segera bangkit dan beranjak duduk di atas kasurnya. Lelaki itu tak berani menatap mata sang ayah, ia menundukkan kepalanya dan diam seribu bahasa.     

"Bukankah ini adalah hal yang kekanak-kanakan!" tegur Edward, nada bicaranya tampak stabil, nada bicaranya tidak tinggi, namun juga tidak rendah.     

Malvine yang mendapat teguran itu seolah membeku di tempatnya. Ia tak pernah ingin sang ayah menegurnya atau membuat lelaki itu merasa kecewa. Selama ini Malvine adalah sesosok anak yang sangat haus akan pengakuan dari sang ayah. Tentu saja perlakuannya kali ini hanya akan semakin menambah rasa kecewa yang sang ayah miliki terhadapnya, pikir lelaki itu.     

"Aku mengecewakanmu lagi?" kata-kata itu mengalir begitu saja dengan sangat pelan dari mulut Malvine. Ia tahu saat ini sang ayah pastilah sedang merasa sangat kecewa atas tindakan yang berusaha ia lakukan.     

Edward yang mendengar hal itu hanya diam, ia tak menjawab atau mengargumenkan perkataan dari anak laki-lakinya itu. Lelaki itu hanya diam dan menatap sang anak dengan tatapan yang penuh misteri, entah lelaki itu merasa marah, sedih, atau yang lainnya. Semua orang yang berada di tempat itu tak dapat memahami maksud dari tatapan sang ayah, bahkan untuk Davine sekalipun.     

Edward membalikkan badannya dan keluar dari kamar itu. Hal itu tentu membuat hati Malvine tersentak, saat itu ia menyimpulkan jika ayah benar-benar telah merasa kecewa terhadapnya. Di luar dugaan, sang ayah kembali dengan beberapa roti panggang yang sebelumnya Davine letakan di samping pintu kamar sang kakak saat ia berusaha mendobraknya beberapa waktu yang lalu.     

"Makanlah, Ayah tahu kau belum makan apapun sejak semalam!" ujar Edward sembari menyodorkan piring yang berisi beberapa roti panggang yang telah Davine buat untuk kakaknya itu sebelumnya.     

Malvine yang menerima perlakuan itu, segera menyodorkan tangannya untuk menyambut piring berisi roti panggang itu. Ia tampak tertegun sesaat, sebelum akhirnya lelaki itu segera menyambar dan memakan roti panggang itu dengan air mata yang terus berlinang di pipinya. Malvine, ia tak tahu harus melakukan apa saat itu. Ia hanya terus menyantap hidangan yang diberikan oleh sang ayah itu kepadanya.     

Davine yang melihat pemandangan itu segera tanpa sadar ikut meneteskan sedikit air matanya, Edward, lelaki itu ternyata tak seperti yang selama ini ia pikirkan.     

Sebelum pergi dari ruangan itu, Edward menepuk pundak anak lelakinya itu. Hal itu seolah ia lakukan untuk membuat sang anak merasa lebih tenang, sebelum akhirnya ia memerintahkan Davine dan beberapa orang lainnya yang ada di tempat itu untuk pergi dan memberikan waktu bagi Malvine untuk menenangkan dan menjernihkan pikirannya.     

Itu adalah hari yang sangat tidak terduga bagi Davine. Ia hampir saja kehilangan sosok sang kakak setelah kepergian sang ibu. Untung saja kata hatinya seolah mendorong dirinya untuk melakukan hal yang akhirnya berhasil menggagalkan usaha bunuh diri yang dilakukan oleh sang kakak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.