Another Part Of Me?

part 5.20



part 5.20

0Davine termenung untuk sesaat di dalam ruangan itu, ia mulai berpikir jika apakah itu hanyalah sebuah pemikiran yang terlalu berlebihan. Mengingat rasa bersalah yang juga ia rasakan atas kematian sang ibu. Tampaknya saat itu dirinya hanya sedang mencoba mencari kambing hitam agar dirinya bisa terbebas dari perasaan bersalahnya tersebut.     

Beberapa Davine kali menampar wajahnya sendiri, entah mengapa belakangan ini ia merasa seolah terlalu berpikir skeptis akan tiap-tiap masalah yang sedang ia hadapi. Davine sudah berusaha untuk membuang pemikirannya itu, walau di satu sisi ia juga merasa ada yang tidak beres akan hal tersebut. Berkali-kali ia berpikir, mengapa tak ada satupun dari mereka yang terpikirkan untuk memasang sebuah CCTV untuk mengawasi keadaan sang ibu. Bukankah bisa saja para suster dan dokter pribadi yang mereka sewa itu melakukan malpraktek atau sabotase hingga menyebabkan kematian bagi sang ibu. Namun di sisi lain Davine juga merasa jika tidak ada motif ataupun alasan bagi mereka untuk melakukan hal-hal semacam itu kepada sang ibu. Namun di sisi lain Davine juga berpikir jika saja mereka memasang CCTV itu, setidaknya mereka akan mengetahui bagaimana kronologi pasti terjatuhnya Monna dari tempat tidurnya lewat hasil rekaman yang tertangkap dalam CCTV tersebut.     

Davine yang merasa dirinya telah berpikir terlalu jauh itu segera melangkahkan kakinya pergi dari ruangan itu, ia butuh sedikit udara segar guna menjernihkan pikirannya.     

Berjalan di sekitar area pekarangan depan rumahnya, Davine mendapat sapaan dari salah satu satpam yang bekerja di kediaman mereka itu. Sedikit berbincang, Davine pun kembali teringat akan perihal CCTV yang entah mengapa kini begitu melekat di otaknya. Merasa harus mempertanyakannya, Davine pun segera melayangkan perkara tidak dipasangnya CCTV di ruangan sang ibu pada petugas jaga itu.     

"Maaf, apa bapak tahu mengapa di dalam kamar Ibu tidak dipasang CCTV?" tanya Davine.     

"Bukankah rasanya itu adalah hal yang sangat perlu untuk dilakukan!" tambahnya lagi.     

"Mengenai hal itu, maaf Tuan, saya kurang tahu. Namun …." sang satpam itu terlihat tampak berpikir sejenak.     

"Saya kurang begitu mengingatnya, rasanya Pak Edward pernah mengusulkan hal tersebut," ujar sang satpam itu sedikit ragu.     

"Ketika Ibu baru saja didiagnosa mengalami aneurisma otak, kalau tidak salah Pak Edward pernah menyarankan untuk memasang benda itu pada ruangan Nyonya, namun …." sekali lagi sang satpam itu tampak berpikir sejenak.     

"Itu karena Nyonya menolaknya!" tukas sang satpam.     

Mendengar jawaban Davine menganggukkan kepalanya. Seperti yang telah ia pikirkan, sang ibu tentu saja tak ingin diperlakukan seperti itu. Bagaimanapun Davine cukup tahu perangai ibu angkatnya itu.     

"Awalnya Pak Edward tetap bersikeras untuk tetap melakukan hal itu, namun setelah menelpon Tuan Malvine untuk merundingkan hal itu, akhirnya Pak Edward mengurungkan niatnya untuk melakukan pemasangan kamera pengawas itu pada ruangan Ibu Monna!" jelas sang satpam.     

Sang satpam mengatakan jika setidaknya itulah yang ia ketahui perihal apa yang sedang Davine pertanyakan saat itu. Sang satpam mengatakan jika ia tak mengetahui hal itu secara langsung, ia hanya kebetulan mendapatkan informasi itu dari salah satu asisten rumah tangga yang juga bekerja di rumah itu saat mereka sedang berbincang-bincang santai.     

Setelah menanyakan hal itu kepada sang satpam, Davine pun berterima kasih dan segera meninggalkan area itu untuk menuju ke kamarnya. Setidaknya kini ia tahu alasan mengapa di dalam ruangan sang ibu tidak terdapat satupun CCTV. Walau di satu sisi ia juga masih merasa jika itu adalah suatu keteledoran bagi mereka. Namun Davine berusaha membuang hal itu, bagaimanapun nasi telah menjadi bubur, kejadian itu telah terjadi. Mungkin saja itu adalah sebuah takdir yang memang harus terjadi. Bahkan jika CCTV itu terpasang pun mungkin mereka tetap saja tak akan bisa mencegah kecelakaan itu terjadi, pikir lelaki itu.     

******     

Davine berbaring di atas kasur kamarnya, ia tampak mengamati sebuah liontin yang beberapa waktu yang lalu baru saja Monna berikan kepadanya. Ia juga kembali mengingat segala perkataan sang ibu saat itu, entah mengapa Davine merasa jika saat itu Monna seolah mengetahui jika ajalnya akan tiba.     

Sebelum kematian sang ibu, Davine telah berjanji untuk menjaga Malvine seperti apa yang wanita itu pinta. Tentu itu bukanlah hal yang sulit untuk ia sanggupi, walau mereka bukanlah saudara kandung, namun Davine telah menganggap Malvine sebagai kakaknya sendiri. Sedari dulu ia memang sangat menghormati lelaki itu. Bagi Davine, Malvine adalah sosok yang hampir terbilang sempurna, dengan melihat lelaki itu, terkadang Davine merasa seolah melihat sang ayah. Walau tak begitu kentara, namun Davine bisa merasakan jika ada sebuah kesamaan di antara ayah dan anak itu. Di mata Davine kedua lelaki seolah itu sama-sama mempunyai ambisi mereka masing-masing.     

Apa yang saat itu Monna ceritakan kepada dirinya tentang Malvine tentu saja sangat menarik rasa penasarannya. Ia bukanya tak pernah menyadari akan adanya sebuah rasa ingin diakui pada diri Malvine dari sang ayah. Namun Davine tak pernah benar-benar tahu apakah itu hanyalah sebuah rasa ingin diakui seperti biasa yang tentu saja memang kebanyakan dimiliki seorang anak kepada orangtuanya. Davine tak pernah berpikir jika Malvine melakukan hal itu hanya karena sebuah pandangan yang pernah dilayangkan oleh sang ayah sewaktu ia kecil. Bagi Davine rasanya itu adalah hal yang terlalu berlebihan, namun terlepas dari hal itu, bukankah nyatanya itu juga menjadi sebuah hal yang bagus bagi diri Malvine. Setidaknya sang kakak akan memiliki motivasi lebih untuk melakukan hal-hal yang ingin ia tunjukkan pada sang ayah. Lantas mengapa sang ibu tampak sangat mengkhawatirkan hal itu, pikir Davine.     

Davine termenung mengingat permohonan yang sang ibu lakukan kepadanya, apa maksud dari kata-kata Monna yang meminta Davine untuk tak membiarkan kakak angkatnya itu terlalu jauh dari pandangannya. Itu seolah menegaskan jika suatu saat sang kakak bisa saja dengan mudah pergi ke arah yang tak wanita itu harapkan. Namun apa, pikir Davine lagi. Bukankah semua tampak baik-baik saja sampai saat ini.     

Pemikiran Davine seketika pecah ketika sebuah panggilan masuk pada smartphonenya. Itu adalah panggilan dari Siska, tampaknya wanita itu sangat mengkhawatirkan keadaan mantan kekasihnya saat itu.     

Davine memang telah mengabarkan perihal kematian sang ibu pada Siska, ia juga mengatakan jika saat itu dirinya sedang berada di kediamannya yang terpisah dari kota tempat wanita itu berada saat ini. Davine bukannya mengabaikan peringatan dari sang kakak untuk tidak memberitahukan perihal keluarnya mereka dari kota itu. Namun Davine merasa jika Siska adalah orang yang dapat dipercaya, lagi pula tidak akan ada sesuatu yang buruk bagi mereka jika Siska maupun Hanna mengetahui hal itu, bagaimanapun juga sekali lagi menurut Davine mereka adalah orang yang sangat bisa dipercaya. Terlebih sampai saat ini pun belum ada tanda-tanda bocornya kabar tentang kepergian mereka yang di mana itu merupakan pelanggaran terhadap peraturan yang telah pemerintah terapkan di kota itu.     

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Siska di balik panggilan teleponnya.     

"Aku tak tahu harus berkata apa, aku turut berduka soal ini!" tambah wanita itu, ia tak mampu menemukan kata-kata yang tepat.     

"Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya …." kata-kata Davine terputus.     

"Sungguh, aku sangat ingin memelukmu saat ini!" ujar Siska.     

"Aku akan memberikan pundakku jika aku bisa!" ujar wanita itu lirih.     

"Aku tahu, sungguh… Monna adalah wanita yang sangat berarti di dalam hidupku!" ujar Davine. Suaranya mulai bergetar.     

Saat itu Davine memang masih sangat emosional, kematian Monna tentu sangat membekas di hatinya. Bagaimana tidak, saat itu Davine telah kehilangan seseorang yang sangat berjasa baginya. Monna adalah wanita yang mengulurkan tangannya dan menariknya keluar dirinya dari jurang kesengsaraan yang harus ia hadapi sewaktu kecil. Tanpa Monna, bisa saja saat ini ia telah berubah menjadi seorang psikopat gila tanpa belas kasih sebab perlakuan yang ia terima di dalam yayasan terkutuk itu.     

"Kau harus kuat Sayang, mungkin Tuhan sangat merindukan dirinya saat ini. Maksudku, takdir adalah sesuatu yang telah digariskan. Kita sebagai manusia hanya bisa pasrah dan menerima takdir yang nantinya akan kita temui, dan untuk sang Ibu, aku rasa Tuhan telah menyiapkan rencana terbaik untuknya!" ujar Siska, ia bahkan tanpa sadar memanggil lelaki itu dengan kata sayang.     

"Terimakasih, sungguh aku mengerti akan hal itu, mungkin aku hanya butuh sedikit waktu untuk dapat melalui hal ini!" sambut Davine. Lelaki itu sedikit tersenyum ketika mendengar wanita itu memanggilnya dengan panggilan yang telah lama tak ia dengar di telinganya itu.     

"Aku akan secepatnya kembali, aku tak bisa berlama-lama di rumah ini, kenangan akan Monna seolah tercetak jelas ketika aku berada di rumah ini!" ujar Davine.     

"Baiklah, aku mengerti, yang terpenting adalah jangan pernah menyalahkan dirimu atas kecelakaan yang terjadi pada Ibumu, percayalah jika itu adalah takdir yang telah menjadi kehendak Sang Maha Pencipta!" tuah Siska.     

"Terimakasih, kau membuatku sedikit merasa lebih tenang," sambung Davine.     

"Dan satu lagi, apa tadi kau memanggilku dengan kata 'Sayang'?" tanya Davine.     

"Hah?, apa aku mengatakan hal seperti itu?" sangkal Siska.     

"Entahlah, mungkin aku salah dengar!" cetus Davine. Lelaki itu sedikit mengembangkan senyumnya.     

Siska benar, saat ini Davine tak boleh terlalu lama terpuruk sebab kematian sang ibu. Ia harus terus berjalan, di satu sisi ia juga masih harus menyelamatkan seseorang dan memecahkan kasus yang sedang terjadi di kota mereka saat itu.     

Banyak hal yang masih harus ia pikirkan, bisa saja Lissa tak lagi mempunyai banyak waktu. Bagaimanapun juga saat ini Davine belum mengetahui apa maksud dari tindakan penculikan yang mereka lakukan pada Lissa, dan lagi jelas di dalam sudut pandang yang ia dapatkan beberapa waktu yang lalu Lissa tampak sedang sangat tertekan, ditambah lagi seorang anak yang saat itu sedang terbaring tak sadarkan diri tepat di depan wanita itu, apakah ia adalah salah satu dari sekian banyak anak gelandangan yang diketahui telah menghilang di kota itu, pikir Davine.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.