Another Part Of Me?

Part 5.22



Part 5.22

0Empat hari berlalu semenjak kematian Monna. Kini Davine, Malvine, dan Edward tampak mulai kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Tampaknya tiap-tiap dari mereka kini sedang berusaha mengikhlaskan kepergian sang ibu dan memilih untuk kembali melanjutkan kehidupan mereka seperti sedia kala. Baik Davine, Malvine, dan Edward. Mereka merasa jika terlalu larut dalam kesedihan bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan.     

Davine berniat untuk kembali ke kotanya, ia telah mengutarakan hal itu kepada sang kakak. Namun ada sedikit kendala yang ia hadapi, tentu saja ia tak akan mudah untuk dapat kembali memasuki kota itu. Bagaimanapun peraturan yang sedang berlaku di kota itu masihlah belum dihapuskan. Bagi Davine tak akan mudah untuk memasuki perbatasan kota itu seorang diri.     

Untungnya Malvine dapat membantu sang adik dengan koneksi miliknya yang cukup luas. Saat itu Malvine memang tak dapat mengantarkan Davine untuk kembali ke kotanya, lelaki itu memiliki sedikit urusan lain yang harus ia lakukan di kota kediamannya itu, membuatnya mau tidak mau harus menetap di kota itu untuk sementara waktu.     

Namun hal itu tak menjadi halangan bagi Malvine untuk membantu sang adik. Ia telah menghubungi salah satu rekannya yang memiliki perusahaan di bidang bidang logistik yang bertugas dan dipekerjakan langsung oleh pihak pemerintah kota sebagai penyuplai bahan makanan untuk kota tersebut.     

Malvine menjelaskan jika saat ini ada satu perusahaan swasta yang menjalin kerjasama dengan pihak pemerintah kota itu guna menyalurkan suplai bahan makanan dan kebutuhan pokok yang diperlukan oleh pemerintah kota tersebut. Bagaimanapun saat ini kondisi kota yang sedang tidak stabil membuat pihak pemerintah harus menyalurkan bantuan-bantuan secara langsung pada warga kota mereka, jika tidak situasi kota bisa saja akan semakin bertambah buruk dan tak terkendali. Untuk memenuhi kebutuhan itu tentu saja pihak pemerintah kota harus secara mau tidak mau mendatangkan kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan itu dari kota lain.     

"Aku sudah menghubungi salah satu kenalanku yang merupakan pemilik dari perusahaan logistik itu, mereka mengatakan akan membantumu untuk kembali memasuki perbatasan kota itu dengan cara menumpangi salah satu kendaraan logistik yang akan mereka kirimkan ke kota itu," jelas Malvine.     

"Kau hanya perlu berpura-pura menjadi salah satu karyawan dari mereka!" tambah Malvine.     

"Baiklah, itu akan sangat membantu," ujar Davine.     

"Apa kau tak keberatan akan hal itu?" tanya Malvine memastikan.     

"Tentu saja tidak, asalkan aku bisa kembali memasuki kota itu, aku rasa itu tidak masalah," jawab Davine.     

"Itu bagus, namun … sebenarnya apa yang membuatmu merasa harus cepat-cepat kembali ke kota itu. Bukankah akan lebih baik jika kau beristirahat di rumah ini untuk sementara waktu. Lagi pula keadaan kota itu masih belum stabil hingga saat ini!" tukas Malvine.     

Davine hanya menanggapi hal itu dengan sebuah senyuman. Tentu saja ia tak dapat memberitahukan apa yang harus ia lakukan di kota itu pada sang kakak.     

"Tampaknya itu adalah hal yang sangat penting!" tebak sang kakak.     

Namun sekali lagi Davine kembali menanggapi hal itu dengan senyumannya saja. Membuat sang kakak tampak sedikit mengerutkan keningnya.     

"Yeah … baiklah jika kau tak ingin mengatakan hal itu kepadaku!" ujar Malvine, sembari menghela napasnya.     

******     

Davine tampak terdiam di depan kamar sang ayah, ia ingin mengatakan jika hari itu ia akan segera kembali ke kotanya, namun ia tak biasa melakukan hal seperti itu sebelumnya, berbicara pada sang ayah memang adalah hal yang sangat langka untuk ia lakukan.     

"Davine?" tegur sang ayah.     

"Apa itu kau?" tanya lelaki itu.     

"Ya, bisakah kita sedikit berbicara?" ujar Davine ragu.     

"Masuklah!" titah sang ayah.     

Davine segera membuka pintu kamar itu dengan sangat perlahan, ia tampak sungkan untuk memasuki kamar lelaki itu. Lagi pula sang ayah juga tampak terlihat sedikit sibuk dalam beberapa hari ini, membuat Davine merasa tidak nyaman untuk mengganggunya.     

"Aku akan segera kembali ke kotaku!" ujar Davine, suaranya sedikit bergetar.     

"Apa kau tak ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi di sini?" tanya Edwar.     

"Maafkan aku soal ini, namun ada sesuatu yang harus aku lakukan!" ujar Davine, kini ia sudah sedikit mampu mengendalikan suaranya hingga terdengar tak bergetar lagi.     

"Terimakasih!" ujar Edward.     

Davine mengerutkan keningnya seketika, ia tidak mengerti mengapa sang ayah tiba-tiba mengatakan hal itu.     

"Ini tentang Malvine, terimakasih telah mencegah anak itu untuk melakukan hal bodoh itu!" ujar Edward. Lelaki itu tampak menyapu bagian tengah di antara kedua matanya.     

Sedari tadi posisi Edward memang hanya memunggungi Davine, lelaki itu tampak sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya. Punggung lebar lelaki itu terlihat jelas oleh Davine. Ia tak tahu beban seperti apa yang sedang dirasakan oleh lelaki itu saat ini. Ia telah kehilangan sang istri tercintanya, dan beberapa hari yang lalu ia juga hampir saja kehilangan anak semata wayangnya. Walau tak pernah memperlihatkan kelemahanya, namun Davine tahu jika saat ini lelaki itu sedang terpuruk.     

"Aku minta maaf, selama ini aku tak memiliki banyak waktu buat kalian ataupun Monna, aku terlalu disibukan oleh urusan yang harus aku lakukan!" ujar Edward. Kini lelaki itu berbalik dan menatap langsung ke arah Davine, tampak ada penyesalan yang tercetak di wajah lelaki itu.     

"Tidak, kami tahu jika kau hanya sedang berusaha melakukan kewajibanmu untuk kami!" jawab Davine.     

"Ibu, Malvine, dan bahkan diriku sekalipun. Kami sangat mengagumi dirimu!" tukas Davine, untuk pertama kalinya ia merasa bisa berbicara dari hati ke hati kepada ayah angkatnya itu.     

Edward yang mendengar hal itu dari mulut Davine tampak mengembangkan senyum tipis di bibirnya. Kata-kata dari anak angkatnya itu seolah memberikan sedikit ketenangan bagi batinnya. Entah benar atau tidak, namun Davine merasa jika saat itu Edward mungkin saja sedang menghakimi dirinya sendiri karena merasa tak pernah memiliki waktu lebih untuk ia habiskan bersama keluarga kecilnya itu.     

Setelah mengutarakan tujuannya, Davine pun segera undur diri dari kamar sang ayah. Ia lebih memilih memberikan waktu tenang bagi sang ayah. Kini sudut pandangnya untuk lelaki itu mulai sedikit berubah. Selama ini ia pikir Edward adalah lelaki yang sangat tangguh kuat dan sempurna. Namun anggapan itu salah. Sama halnya dengan lelaki lainnya, Edward tetaplah manusia yang tak luput dari kelemahan.     

Davine telah bersiap, keberangkatan angkutan logistik yang akan membawanya kembali ke kota itu akan tiba dalam beberapa menit lagi. Saat itu Malvine mengantarkan adik angkatnya itu untuk menuju tempat yang telah mereka janjikan.     

Tak berselang lama kendaraan itupun akhirnya datang. Itu adalah sebuah mobil box dengan ukuran cukup besar.     

Malvine segera melambaikan tangannya pada sang sopir yang mengemudikan mobil itu. Tampak jika mereka sudah saling mengenal satu sama lain.     

"Bagaimana kabar Anda?" ujar sang sopir sembari turun dari kendaraan itu dan menghampiri Malvine.     

"Saya turut berduka atas kabar yang telah saya terima!" tambah lelaki itu, ia berbicara tentang kematian Monna.     

"Ya, terimakasih. Seperti yang kau lihat, saya cukup baik!" jawab Malvine.     

Malvine memang tak terlalu memilih dengan siapa ia harus berteman, walau lelaki itu hanya seorang sopir, namun Malvine tetap menghargainya sebagaimana mestinya. Walau derajat mereka tentulah sangat jauh, namun Malvine berpikir jika berteman dengan siapa saja tanpa memandang status tentu adalah hal yang baik untuk dilakukan. Seperti halnya saat ini, akan ada masanya orang-orang itu akan dapat membantu dirinya pada saat mereka di butuhkan.     

Malvine memang berteman dengan pemilik perusahaan logistik itu. Ia pernah menjalin sebuah kerja sama singkat antar perusahaan yang saling mereka pimpin. Itulah sebabnya Malvine juga sudah sangat di kenal oleh para pegawai di perusahaan itu. Seperti halnya sang sopir, Malvine juga mengenalnya berkat kerja sama yang sempat ia jalin bersama sang pemilik perusahaan itu.     

"Saya sudah mendengar dari kepala perusahaan, Anda ingin saya membantu untuk membawa adik Anda untuk memasuki perbatasan kota?" tanya sang sopir memastikan.     

"Ya, mungkin ini akan sedikit merepotkan. Namun bisakah kau membantu saya untuk hal ini?" jawab Malvine.     

"Tentu saja, lagi pula ini juga adalah perintah langsung dari Bapak kepala perusahaan!" tanggap sang sopir.     

Malvine memang meminta bentuan itu langsung kepada kepala perusahaan itu guna membantunya untuk menyelundupkan sang adik memasuki kota. Tentu saja sang kepala perusahaan itu menyanggupi hal itu, bagaimanapun hubungan baik dengan keluarga Harris haruslah ia jaga, mengingat jika keluarga itu memang telah banyak berjasa dalam membantu memajukan usaha yang mereka miliki.     

"Saya sudah menyiapkan seragam lengkap dari perusahaan kami. Kami akan membuat Adik Anda menjadi salah satu pekerja yang bertugas dalam ekspedisi ini!" jelas sang sopir.     

"Biasanya saya membawa 2 orang karyawan lainnya dalam satu perjalan logistik seperti ini. Namun karena permintaan dari Anda, saat ini saya hanya membawa seorang saja, karena nantinya Adik Anda yang akan menjadi orang ketiganya. Apakah hal itu tidak masalah bagi Anda?" tanya sang sopir.     

Malvine segera melayangkan pandangannya pada Davine, tampaknya adik angkatnya itu tak merasa keberatan akan hal itu.     

"Apa itu cukup nyaman untukmu?" tanya Malvine pada adik angkatnya itu.     

"Ya, ini bahkan lebih dari cukup, selama aku bisa kembali memasuki kota itu, maka itu tidaklah masalah.     

Davine pun segera mengambil seragam perusahaan logistik itu untuk ia kenakan. Kini ia terlihat sama persis seperti pekerja logistik lainnya. Menurut Davine itu adalah rencana yang sangat baik. Ia sangat yakin jika nantinya hal itu akan berjalan dengan lancar.     

Tak ingin mengalami keterlambatan di dalam pengirimannya, sang sopir segera pamit dan meminta izin pada Malvine untuk segera berangkat ke kota yang mereka tuju.     

"Baiklah, saya akan berangkat sekarang!" ujar sang sopir. Tampak lelaki itu sedikit menunjukan gestur yang menyiratkan akan sesuatu.     

Malvine hanya tersenyum mendapati hal itu, ia segera mengeluarkan beberapa lembar uang tunai dari dompetnya dan memberikannya kepada sang sopir.     

Sang sopir terlihat mencoba berpura-pura untuk menolaknya, namun Malvine tahu jika itu hanyalah upaya basa-basi yang coba sang sopir tunjukkan. Sangat jelas terlihat jika sedari awal sopir itu memang sangat mengharapkan hal itu dari Malvine.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.