Another Part Of Me?

Part 5.27



Part 5.27

0Liontin dengan permata berwarna merah itu kembali menarik perhatiannya. Entah mengapa Davine melihat sesuatu yang tampak janggal dari benda itu. Tepatnya pada permata merah yang menjadi mata dari liontin tersebut.     

Lampu kamar yang kini telah padam dan sorotan lampu belajar miliknya yang menyorot langsung ke benda itu kini membuatnya dapat melihat benda itu dengan lebih jeli lagi. Jika awalnya Davine tak dapat memfokuskan pandangannya pada liontin itu karena terang lampu kamarnya, namun berbeda untuk saat ini, kondisi kamar yang gelap dan ditambah sorotan dari lampu belajar yang mengarah langsung ke arah liontin itu membuat Davine dapat melihat sesuatu yang samar seolah tersembunyi di dalam permata berwarna merah yang menjadi mata liontin tersebut.     

Sinar dari lampu belajar yang menyorot dan menembus langsung pada permata berwarna merah yang sedikit transparan itu membuat Davine dapat melihat adanya sesuatu yang cukup menarik perhatiannya yang seolah tersembunyi di dalam permata tersebut. Davine segera meraih permata itu. Ia mengangkat dan memposisikan permata itu sedekat mungkin ke arah lampu belajarnya itu. Davine tersentak, benar saja ada sesuatu disana, pekiknya dalam hati.     

Tak merasa puas, kini Davine kembali menyalakan lampu kamarnya. Ia segera mengangkat dan mengarahkan langsung ke mata liontin itu ke arah lampu kamar dan menerawangnya. Davine memicingkan salah satu matanya. Permata itu memang tidak cukup transparan namun dengan posisi seperti itu kini ia dapat melihat dengan lebih jelas apa yang terdapat di dalam batu permata berwarna merah nan indah itu.     

Davine mengerutkan keningnya. Beberapa rangkaian angka terlihat samar berada di dalam liontin itu. Tak membuang waktu Davine segera mengambil note miliknya untuk mencatat setiap angka yang terangkai di sana.     

Itu adalah kombinasi angka yang sangat acak. Berjumlah 15 angka dengan kombinasi yang sangat acak. Davine tak henti-hentinya menatap kombinasi angka tersebut. Jelas ada sesuatu yang ingin Monna sampaikan lewat kombinasi angka itu. Bukankah Monna juga mengatakan jika ia telah menyiapkan benda itu bahkan ketika Davine masih berusia sembilan tahun. Lantas apakah maksud dari setiap kombinasi angka tersebut, pikir Davine.     

Kini Davine mengerti mengapa Monna memberikan perhiasan itu kepadanya. Seperti yang ia duga sebelumnya, jelas wanita itu memiliki maksud tersirat di balik benda pemberiannya, dan kombinasi angka yang baru saja ia temukan itu seolah menegaskan segalanya. Namun apa hubungan di balik 15 kombinasi angka yang sangat acak itu dengan siapa dirinya yang sebenarnya. Davine mengacak kasar rambutnya, tampaknya ia masih harus memecahkan teka-teki itu. Tentu saja malam itu Davine hampir benar-benar tak bisa tidur dibuatnya.     

******     

Davine terbangun dengan rasa sakit yang begitu hebat di kepalanya. Ia baru saja memimpikan sesuatu tentang Lissa. Di dalam mimpinya itu Davine seolah sedang berdiri menatap Lissa yang terkurung dalam ruangan dengan jeruji besi yang mengekangnya, jelas jika itu adalah sebuah penjara kecil yang seolah dibuat khusus untuk memenjarakan seseorang. Davine yang berada di luar ruang penjara itu menatap Lissa yang tampak menundukkan kepalanya, samar terdengar isak tangis dari wanita itu.     

Davine berjalan dan segera membuka pintu penjara kecil itu. Ia menarik paksa lengan wanita itu, Lissa berontak, namun tenaga Davine jauh lebih kuat. Davine terus menyeret wanita itu hingga memasuki sebuah ruangan. Itu adalah ruangan yang sama di mana mereka berada ketika dalam mimpi Davine sebelumnya. Ruangan itu tampak seperti ruangan khusus yang sengaja dibuat guna melakukan operasi bak layaknya rumah sakit.     

Davine menghempaskan Lissa, membuat wanita itu jatuh tersungkur. Lissa yang menerima perlakuan itu hanya bisa menangis. Ia tak mampu melawan, tubuhnya lemah sedang batinnya tampak terguncang.     

Davine meraih sarung tangan medis yang berada di atas meja yang tak jauh dari tempatnya. Ia melemparkan benda itu pada Lissa. Seolah memerintahkan agar wanita itu segera memakainya. Lissa hanya bisa menuruti apa yang Davine inginkan saat itu. Sebelum akhirnya tibalah seorang lelaki lainnya dengan seorang anak yang sedang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar (tempat tidur dorong yang berguna untuk memindahkan pasien) yang ia dorong masuk ke dalam ruangan itu.     

Davine yang melihat hal itu dalam sudut pandangnya semakin menjadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan. Apakah mereka sedang meminta Lissa untuk melakukan pengobatan pada anak itu. Lantas mengapa Lissa seolah enggan untuk melakukannya. Bukankah itu adalah hal yang tidak normal. Lissa adalah wanita yang sangat baik, Davine yakin walaupun dalam keterpaksaan wanita itu pasti akan tetap mencoba menolong dan melakukan penanganan medis pada anak yang sedang tak sadarkan diri itu. Namun kenyataan terlihat sangat berbeda. Saat itu jelas Lissa seolah tak ingin melakukan hal itu. Lantas mengapa, pikir Davine, sebelum akhirnya ia tiba-tiba saja seolah tertarik keluar dari sudut pandang itu, mendapati dirinya terbangun dari tidurnya di dalam kamar apartemen dengan kondisi kepala yang terasa sangat menyakitkan.     

Davine tahu jika itu bukanlah sekedar mimpi biasa, ia yakin jika saat itu ia kembali tertarik masuk ke dalam sudut pandang lelaki yang entah bagaimana dapat terkoneksi langsung dengannya dalam keadaan sedang terlelap. Membuat hal itu seolah menjadi seperti sebuah mimpi yang ia dapatkan.     

Tentu saja Davine sangat bertanya-tanya dengan situasi yang ia lihat di dalam mimpinya itu. Ia tak mengerti mengapa lelaki dengan sudut pandang itu seolah memerintahkan Lissa untuk melakukan sesuatu pada anak itu. Apakah lelaki itu memang meminta Lissa untuk melakukan pengobatan pada sang anak yang tak sadarkan diri itu. Lantas mengapa Lissa tampak enggan melakukannya. Hal ini terus menjadi tanda tanya besar di dalam benak Davine. Davine sangat yakin jika Lissa tidak akan tega dan membiarkan seorang anak yang sedang terbaring tak sadarkan diri menunggu bantuannya itu harus menunggu lebih lama, sedangkan dalam penglihatannya itu Lissa tampak tak ingin melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Wanita itu tak dengan segera melakukan pertolongan yang ia bisa lakukan. Ia tampak hanya menangis dan merintih seolah ia memang benar-benar tak ingin melakukan hal itu.     

Davine beranjak menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar itu untuk membasuh wajahnya. Sakit yang ia rasakan di kepalanya itu tampaknya kini telah mulai berkurang.     

Itu adalah kali kedua Davine memimpikan Lissa. Tampaknya wanita itu sedang di sekap di suatu tempat, sayangnya dalam mimpi itu Davine tak dapat memastikan di mana letak tempat tersebut. Bagaimanapun setiap kali ia tertarik ke dalam sudut pandang itu, ia telah berada di dalam suatu bangunan yang tampak sangat asing baginya. Namun di sisi lain, dengan adanya mimpi itu setidaknya Davine bisa sedikit merasa lega karena nyatanya sampai saat ini wanita itu masih hidup, walau kenyataanya Lissa diperlakukan dengan sangat buruk oleh lelaki yang terkoneksi langsung dengannya itu.     

Davine menanggalkan hal itu untuk sementara waktu. Hari itu ia telah melakukan janji untuk bertemu Hanna guna membahas perihal kombinasi angka yang baru saja ia temukan semalam. Pada malam di mana ia menemukan hal itu, Davine memang segera mengabarkan perihal itu pada Hanna, ia berharap lelaki itu dapat memecahkan apa maksud di balik kombinasi angka yang terdapat di dalam liontin pemberian sang ibu. Bagaimanapun mengungkap siapa dirinya yang sebenarnya juga akan sangat bermanfaat guna memecahkan kasus yang sedang terjadi di kota itu. Bagaimanapun masa kecil Davine memang ia habiskan di yayasan yang menurut dugaan mereka saat ini adalah milik organisasi yang sedang mereka cari. Tentu saja setiap informasi tentang dirinya mungkin saja akan sangat berkaitan dengan organisasi tersebut, pikir Davine.     

Tak membuang waktu, setelah mencuci wajah dan mengganti pakaiannya, Davine segera bergegas untuk menuju ke kediaman Siska. Mereka memang telah berjanji untuk bertemu dan membahas hal itu di sana.     

Davine menyempatkan diri untuk singgah di sebuah mini market yang terletak tidak jauh dari apartemen miliknya untuk membeli sekotak susu dan beberapa roti manis sebagai menu sarapannya. Lagipula jadwal keberangkatan bus masih tersisa sekitar 10 menit lagi.     

Benar saja, tak berselang lama setelah keluar dari mini market itu, bus yang akan ia tumpangi itu segera merapat pada halte yang juga berada tak jauh dari mini market tersebut. Membuat Davine sedikit terburu agar tak tertinggal keberangkatannya. Bus di kota itu memang hanya merapat pada satu halte untuk beberapa menit saja sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya.     

Tiba di kediaman Siska, Davine segera di sambut oleh mantan kekasihnya itu. Ia telah mengetahui jika Davine akan kembali berkunjung ke sana guna mendiskusikan sesuatu bersama Hanna. Davine juga tak lupa membawa jurnal milik Lissa yang sebelumnya telah berhasil mereka selamatkan dari kebakaran yang terjadi di pondok wanita itu. Menurut Davine akan lebih aman jika jurnal itu disimpan oleh Hanna daripada dirinya harus menyimpan benda sepenting itu di apartemen miliknya. Ia tahu ada seseorang yang sampai saat ini masih memiliki akses keluar masuk apartemen miliknya itu dengan sangat bebas.     

Hanna terlihat sibuk di kamarnya. Ia tampak memeriksa beberapa berkas dan dokumentasi dirinya. Ia ingin mencari petunjuk tentang siapa nama asli sang ibu, namun hasilnya tetap saja nihil, tak ada satupun berkas atau data diri yang mencantumkan nama asli dari sang ibu. Hal ini tentu membuatnya sedikit frustrasi.     

Kedatangan Davine segera memecah atensinya. Ia menanggalkan hal itu dan kembali merapikan lembar demi lembar berkas yang berserakan di atas kasurnya, memasukkan kembali ke tempatnya dan menanggalkan hal itu untuk sejenak.     

"Aku turut berduka atas apa yang baru saja terjadi kepadamu!" ujar Hanna. Ia menyinggung tentang kematian Monna.     

Kabar kematian wanita itu memang telah tersebar dan bahkan diangkat ke dalam salah satu halam surat kabar kota. Bagaimanapun untuk keluarga sekelas mereka, tentu saja itu akan menjadi salah satu berita yang layak untuk diterbitkan. Hal ini pulalah yang membuat Hanna mengetahui perihal itu. Walau Siska tak pernah memberitahukan kabar kematian sang ibu dari mantan kekasihnya itu pada Hanna, namun rasanya tidak aneh jika Hanna juga mengetahui tentang kabar tersebut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.