Another Part Of Me?

Part 5.38



Part 5.38

0Davine merasa ia harus mengunjungi beberapa ruangan lain di dalam bangunan itu, ia tak mendapati apapun di dalam ruang kantor itu selain bukti bahwa organisasi yang didirikan oleh keluarga kasta pertama itu adalah oknum yang berada di balik berdirinya yayasan panti asuhan tempatnya tinggal sewaktu kecil itu dulu. Hal ini semakin menguatkan segala hipotesis yang telah ia pikirkan, jelas sekali jika dirinya pasti memiliki sebuah hubungan dengan organisasi yang telah didirikan oleh keluarga kasta pertama itu. Karena sangat jelas bagi Davine sendiri, jika didirikannya yayasan panti asuhan itu pastilah memiliki tujuan lain dari yang seharusnya.      

     "Bagaimana, apakah Ibu angkatanmu itu tak memberikan suatu petunjuk lain perihal hal ini?" tanya Hanna.      

     "Rasanya tidak, aku pikir ia ingin aku menemukan hal itu sendiri!" jawab Davine.      

     "Setidaknya ia telah menunjukkan tempat ini pada kita. Aku sangat yakin pasti ada sesuatu yang telah ia siapkan untukku di tempat ini!" tukas Davine.      

     Sejenak Davine menarik nafasnya panjang, ia menerawang setiap area yang terdapat pada bangunan yayasan itu, ia tak sedang mencari sesuatu, ia hanya teringat akan masa kecilnya dulu selagi ia masih berada di tempat penuh derita itu. Umurnya sekitar 5 tahun dan ia harus menerima semua penyiksaan yang bertajuk pelatihan itu tanpa henti di setiap harinya. Untungnya saat itu ada satu sosok yang seolah menyinari hatinya, ia tak lain adalah kakek Robert. Lelaki tua yang selalu merawatnya dengan penuh kasih sayang selagi ia masih berada di tempat tersebut.      

     "Kakek Robert!" ujar Davine tiba-tiba.      

     "Mungkin kita harus memeriksa kamar lelaki itu, bagaimanapun ia adalah salah satu orang yang berasal dari keluarga kasta kedua!" tukas lelaki itu.      

      Davine pun seger berusaha mengingat di mana letak kamar sangat kakek, rasanya ruangan itu berada di bagian pojok yang sedikit terasing dari bangunan lainnya.      

     Davine segera berjalan dan mengajak Hanna, Siska, dan Bella untuk menuju ke area itu. Benar saja ia mendapati sebuah bangunan kecil yang berdiri terasing karena tak menyatu dengan bangunan lainnya. Davine ingat benar itu pasti adalah bekas kamar milik sang kakek.      

     Sama halnya seperti yang lain, pintu kamar itu juga terkunci, namun sama halnya juga seperti sebelumnya, Davine dan Hanna segera membobolnya dengan kunci pas yang sedari tadi mereka bawa. Tak butuh waktu lama untuk membukanya, ruangan itu tidaklah besar, cukup minimalis dan memang sangat cocok untuk ditinggali seorang diri.      

     Seperti ruangan sebelumnya. Kamar itu juga dipenuhi oleh debu yang telah menumpuk, mereka bahkan bisa melihat jejak langkah mereka sendiri tertinggal di lantai ruangan itu setiap kali mereka melangkahkan kakinya.      

     "Apa yang kita cari di tempat ini?" tanya Bella.      

     "Apapun!" jawab Davine.      

     "Apapun yang sekiranya berguna untuk kita!" tambah lelaki itu.      

      Davine, Hanna, Siska, dan Bella segera memeriksa setiap sudut kamar itu, sesuai apa yang Davine katakan mereka tak akan melewatkan apapun yang sekiranya berhubungan dengan apa yang sedang mereka cari saat itu.      

     Davine membuka laci pada meja yang berada di ruangan itu terdapat sebuah tas kecil yang terlihat sangat usang, rasanya ia cukup familiar dengan benda tersebut. Itu adalah tas yang sering kali dibawa oleh sang kakek. Seingatnya dulu sang kakek memang kerap kali membawa benda itu ke mana-mana.      

     Davine segera meraih tas itu dan memeriksanya, terdapat beberapa foto dan sebuah note kecil di dalamnya. Meraih foto itu, Davine memicingkan matanya, ia sangat terkejut dengan foto wanita yang ada di dalamnya, apa hubungan kakek Robert dengan wanita itu, pikir Davine.      

      Shopia Cornner. Entah bagaimana foto wanita yang merupakan ibu dari Lissa itu bisa berada dalam tas milik sang kakek, rasanya Lissa tak pernah sedikit pun menyinggung adanya hubungan antara dirinya ataupun sang ibu dengan lelaki tua yang selalu merawat dirinya ketika masih berada di yayasan itu.      

      "Hanna, lihat ini!" titah Davine, ia segera menunjukkan foto yang baru saja ia dapatkan terselip dalam tas milik kakek Robert itu.      

     Hanna meraih foto itu, ia mengerutkan keningnya, jelas itu adalah foto dari Shopia Cornner yang tidak lain merupakan ibu dari Lissa, sekaligus orang yang tercatat menjadi objek dalam jurnal medis yang mereka temukan beberapa waktu yang lalu itu.      

      "Astaga, bagaimana bisa. Apa mereka memang memiliki hubungan?" tanya Hanna.      

      "Entahlah, rasanya Lissa tak pernah menyinggung hal itu dalam jurnalnya, atau aku melewatkannya?" jawab Davine ragu.      

      "Tidak, rasanya wanita itu memang tidak pernah menyebutkan hal semacam itu, satu-satunya hal yang kita ketahui hubungan mereka hanyalah sebagai seorang yang terlahir di keluarga yang sama!" jawab Hanna.      

     Davine segera merogoh sebuah note kecil yang juga terdapat di dalam tas kecil milik sang kakek, kalau saja ada sebuah petunjuk yang terdapat di sana.      

      Benar saja, membaca beberapa lembar dari note itu Davine segera mendapati sebuah informasi yang sangat mencengangkan. Hubungan antara kakek Robert dan Shopia ternyata tidak lain adalah ayah dan anak. Dengan kata lain maka Lissa juga tak lain adalah cucu dari lelaki tersebut. Hal ini tentu sangat mengejutkan bagi Davine, lantas apakah ini hanyalah sebuah kebetulan semata, bagaimana bisa ia bertemu dengan Lissa yang ternyata merupakan cucu dari lelaki tua yang selalu merawatnya sedari kecil dulu.      

     "Astaga, apa ini sebuah takdir, atau hanya kebetulan semata!" gumam Davine.      

     Dalam note itu sang kakek menuliskan bagaimana perasaan rindu yang ia miliki pada anak dan cucunya itu, tampaknya lelaki tua itu mau tidak mau harus berpisah dengan orang-orang terkasihnya itu sebab suatu hal. Sang kakek menjelaskan jika dirinya mau tidak mau harus bekerja pada yayasan itu sebab pengabdian yang harus ia lakukan, bagi sang kakek perjanjian itu sangatlah bodoh, namun ia juga tak dapat mengabaikan adat yang telah turun-temurun mereka lakukan itu. Bagaimanapun para tetua keluarga mereka dulu telah menetapkan perjanjian itu. Walau sang kakek juga tahu jika hal itu terjadi karena keterpaksaan saja.      

     Sang kakek menjelaskan jika setelah peperangan yang dilakukan antara dua keluarga yang bertujuan untuk menentukan siapa penguasa atau pemimpin pada wilayah tersebut pecah. Kekalahan memang mereka dapatkan dari hasil peperangan itu. Saat itu suku mereka harus mengakui kekalahannya pada suku yang kini disebut sebagai keluarga kasta pertama itu, dan seperti yang telah Davine dan Hanna ketahui, perjanjian itu akhirnya mau tidak mau terjalin. Namun dalam note itu sang kakek menjelaskan bagaimana sebenarnya kronologi sebenarnya dari terbentuknya perjanjian bodoh itu.      

     "Mereka ingin membunuh kami semua!" tulis sang kakek dalam note miliknya.      

     Davine yang membaca hal itu seketika merasakan emosi naik di ujung kepalanya, ia tahu jika perjanjian itu pastilah terjadi sebab keterpaksaan mereka saja, dan nyata itu benar adanya. Menurut apa yang sang kakek tuliskan bahwasanya perjanjian itu mau tak mau harus terjalin sebab di saat kekalahan yang mereka terima para tetua suku yang kini menjadi keluarga kasta pertama itu mulanya berniat untuk menghabisi setiap individu dari keluarga kasta kedua, namun dengan beberapa pertimbangan akhirnya para keluarga kasta pertama itu lebih memutuskan untuk menjadikan setiap keluarga dari kasta kedua itu sebagai budak mereka. Walau hal ini tidak mereka lakukan secara terang-terangan namun jelas jika maksud dibuatnya perjanjian itu tak lain bertujuan untuk hal tersebut. Lantas mengapa pihak Keluarga kasta kedua menerima hal itu, tentu saja mereka lebih memilih untuk dijadikan budak daripada harus mati di tangan keluarga kasta pertama itu.      

      "Aku tahu, mereka sangat busuk!" maki Davine kesal setelah mengetahui perihal itu.      

     Sang kakek menjelaskan jika ia mendapatkan tugas untuk melayani sebuah keluarga yang berasal dari keluarga kasta pertama itu, hal itu telah turun-temurun mereka lakukan, pengabdian mereka bahkan telah melewati beberapa dekade lamanya, dan dirinya adalah generasi ke sekian yang harus melayani keluarga itu. Karena kesetiaan mereka pada keluarga itu, membuat keluarga yang mereka layani itu sedikit memberikan apresiasi mereka, dan mengatakan jika suatu saat mereka akan membebaskan keluarga itu, dengan catatan mereka harus berhasil dalam melakukan sebuah tujuan besar yang sedang mereka usahakan. Tentu saja hal itu menjadi kabar yang sangat baik bagi kakek Robert . Sang majikan mengatakan jika nantinya mereka akan membebaskan keturunan mereka dari perjanjian itu. Tentu saja dengan catatan lelaki tua itu harus melakukan tugas yang mereka berikan dengan benar sebelum nantinya mereka akan membebaskan mereka. Hal ini segera disetujui dengan sangat senang hati oleh kakek Robert saat itu.      

     Sang kakek mendapatkan tugas sebagai seorang yang harus melayani dan bekerja pada yayasan itu bersama sang anak yang tidak lain adalah Shopia, mereka ditugaskan untuk dua hal yang berbeda, namun tetap bertempat di yayasan yang sama. Dengan kata lain sang majikan adalah pemilik dari yayasan tersebut. Hal ini tentu bukanlah hal yang berat bagi sang kakek. Perasaan bahagia mulai bersarang di hatinya saat itu, namun itu tak berlangsung lama, nyatanya permintaan sang majikan tak hanya sampai di situ saja. Kakek Robert sangat dikejutkan sebab permintaan lain yang diinginkan oleh sang majikan. Lantas permintaan seperti apa itu. Sang majikan dengan tanpa perasaan meminta agar Shopia turut diikutsertakan dalam proyek yang sedang mereka kembangkan, itu adalah proyek bayi tabung seperti apa yang telah Davine, Hanna, dan Siska ketahui.      

      "Dasar bajingan!" maki Davine untuk kesekian kalinya.      

      "Tenanglah, aku tahu itu adalah hal yang sangat menjengkelkan untuk dibaca!" ujar Hanna sedikit berusaha menenangkan lelaki itu.      

     "Kau tahukan bagaimana nantinya, dan apa yang mereka lakukan pada Shopia, bagaimana bisa aku tak kesal akan hal ini!" Davine tampak berusaha menahan emosinya saat itu.      

     "Ya, aku tahu, mereka sangat brengsek!" tanggap Hanna.      

     "Jelas mereka hanya berusaha membodohi lelaki tua itu, nyatanya mereka juga memaksa Shopia untuk mengakhiri hidupnya sendiri!" tukas Davine. Lelaki itu turut merasakan sakit hati sebab hal itu, karena Davine juga tahu bagaimana sang kakek diperlakukan dengan tidak cukup baik di yayasan itu dulu.      

           


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.