Another Part Of Me?

Part 2.11



Part 2.11

0Sudah beberapa hari terakhir Hanna dengan rutin selalu menanyakan kabar dari Bella, ia selalu mengingatkan kekasihnya itu untuk lebih berhati-hati, walau ia tahu Bella cukup pandai dalam menjaga diri. Ia juga selalu meminta Bella untuk memberitahunya kalau saja ada sesuatu yang mencurigakan. Hanna, ia sedikit tidak nyaman dengan keadaan saat ini.     

Hanna bahkan memberikan sebuah GPS tracker pada Bella, itu adalah alat pelacak berbasis GPS berukuran mini yang dapat mengirimkan titik koordinat Bella secara akurat ketika ia membawanya. Hanna juga berpesan agar Bella selalu membawa benda itu ke mana pun ia pergi, hal itu bertujuan hanya untuk berjaga-jaga saja kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Bella, dengan begitu Hanna bisa dengan cepat mengetahui titik lokasinya dengan mudah.     

Bella tidak begitu keberatan dengan apa yang diminta Hanna, ia tahu jika kekasihnya itu sangat mengkhawatirkan keselamatan dirinya, terlebih setelah kejadian yang menimpa Ryean.     

Walau nyatanya itu sedikit mengganggu, namun hal ini bertujuan untuk keamanan dirinya juga, Bella tidak dapat mengeluhkan hal itu, di sisi lain Hanna pun sebenarnya tidak ingin melakukan hal itu pada Bella, karena jelas akan mengganggu privasi kekasihnya tersebut.     

******     

Bella menanggalkan jaket yang dikenakannya, hari itu cuaca cukup dingin di kota kecil itu. sebuah hari yang sangat melelahkan. bagaimana tidak, tugas kuliahnya yang sudah sangat menumpuk harus segera diselesaikan secepat mungkin. Hari ini pun ia mau tidak mau harus sedikit begadang untuk kembali mengerjakan tugas-tugas tersebut.     

Bella sedikit panik, ia lupa di mana ia meletakan smartphone miliknya, untuk jaman sekarang seseorang bahkan tidak dapat bertahan dalam beberapa waktu tanpa smartphone di genggamannya. Teknologi itu kini sudah seperti kebutuhan pokok yang bahkan wajib dikonsumsi setiap saat.     

Bella mencari smartphonenya hampir di seluruh sudut kamarnya, namun masih tidak menemukan di mana benda tersebut. Kini Bella mengalihkan fokusnya ke tas kuliah yang dibawanya, walau nyatanya ia sangat jarang memasukkan smartphone miliknya ke dalam tas, hal itu hampir tidak pernah dilakukan Bella, itu bukan kebiasaannya.     

Bella mengeluarkan seluruh isi tasnya, ia bahkan mengangkat dan membalik tas tersebut, sesekali ia mengguncangnya agar seluruh isi di dalam tasnya jatuh keluar. Namun hasilnya nihil, smartphone yang dicarinya tidak ada di sana, Bella mulai merasa panik akan hal itu, apa ia meninggalkan smartphonya itu di suatu tempat, pikirnya. Bella menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal.     

Tidak mau berpikir panjang, Bella segera menuju ke ruang keluarga di mana terdapat sebuah telepon rumah di sana, ia melakukan panggilan pada nomor yang ia kenakan di smartphone miliknya. Benar saja suara nada dering terdengar, Bella meletakan gagang telepon rumahnya di atas meja tanpa mematikan panggilan tersebut, sedang ia kembali ke kamarnya untuk menemukan smartphone miliknya dari nada dering keluar dari smartphone tersebut.     

Suara nada dering itu menuju ke arah kamar mandi yang berada dalam kamar tidurnya itu, kini ia ingat, jika sesaat ketika ia baru saja sampai di kamarnya, hal pertama yang ia lakukan adalah mencuci wajahnya dengan facial foam di wastafel yang terdapat di kamar mandi tersebut, dan ia juga meletakan smartphone miliknya di tempat itu.     

Setelah menemukan smartphonenya, Bella mematikan panggilan dari telepon rumahnya, iya meletakan gagang telepon itu kembali pada tempatnya, "Mengapa aku menjadi sangat pelupa begini," gumamnya dalam hati.     

Mau tidak mau akhirnya Bella harus kembali merapikan semua kekacauan yang terjadi akibat ulahnya saat itu, kamar itu kini menjadi sedikit berantakan. Bella memungut satu demi satu isi tas yang di keluarkannya, sebagian ia masukan kembali ke tas tersebut, sedang sebagian lagi ia taruh di atas meja yang terdapat di sudut ruangannya karena besok ia tidak memerlukan barang-barang tersebut untuk kembali dibawa ke tempat kuliahnya.     

Kini hanya tersisa barang-barang kecil dari tasnya yang masih berserakan di atas tempat tidurnya seperti, alat kosmetik, charger smartphone miliknya, dan beberapa barang kecil lainya.     

Perhatian Bella tertuju pada sebuah benda kecil, ia tahu benda apa itu, namun ia merasa benda itu bukan miliknya. Bella tidak mengerti mengapa ada sebuah memory card terselip di antara barang-barang yang berada di dalam tasnya, sedang ia yakin jika barang itu bukan miliknya, ia tidak pernah memiliki benda seperti itu, untuk penyimpanan ia lebih memilih menggunakan flashdisk karena dianggapnya lebih praktis dan mudah dari pada harus menggunakan sebuah memory card.     

Bella yang penasaran akan isi memory card tersebut segera mencoba mencari card reader miliknya yang sudah lama tidak terpakai, seingatnya ia menyimpan benda itu di dalam laci meja yang berada di sudut kamarnya itu.     

"Untung saja aku masih memiliki benda ini!" ujarnya sedikit girang menemukan benda yang bahkan sudah mulai berdebu itu.     

Tidak mau menunggu, Bella segera memasukkan memory card itu ke dalam card reader miliknya, dan segera menyambungkan benda tersebut pada unit laptop miliknya.     

Tidak banyak file yang tersimpan di dalamnya, hanya beberapa foto dan sebuah dokumen berjenis docx yang tersimpan di sana. Bella segera membuka beberapa foto tersebut, ia sedikit bingung mendapati foto-foto tersebut yang menampilkan seorang pria dari angle yang berbeda-beda, di dalam foto tersebut juga menyertakan waktu dan tanggal pengambilan foto tersebut.     

Bella tidak mengenali pria dalam foto tersebut, hanya saja ia yakin jika pria itu terlihat berumur sama dengannya. Bella terus saja membuka foto-foto tersebut hingga akhirnya ia sadar sesuatu, waktu dan tanggal pengambilan foto tersebut sangat berdekatan dengan tanggal kematian Annie.     

Kini Bella mencoba melihat semua foto tersebut dengan lebih teliti. Benar saja di dalam foto tersebut selalu terlihat sosok Annie yang berjalan tidak jauh dari pria dalam foto tersebut, itu tidak mungkin hanya sebuah kebetulan belaka. Pria itu bahkan lebih terlihat seperti sedang mengikuti Annie, terlihat jelas dari setiap foto yang terdapat dalam memory card tersebut, pria itu dengan sengaja selalu membuntuti Annie hampir di setiap hari sebelum kematiannya, "Apakah pria itu pelaku pembunuhan yang menimpa Annie?" Bella kini mulai gemetar, tangannya hampir seperti mati rasa.     

"Astaga apa maksud dari semua ini?" Bella memegang dadanya, jantungnya berdetak sangat kencang.     

Jika benar hal ini seperti dugaan Bella, lantas siapa yang dengan sengaja memasukkan memory card tersebut dalam tasnya, dan lagi pria dalam foto itu, ia tidak mengenalnya, namun di satu sisi pria itu juga terasa tidak begitu asing dalam ingatan Bella kala itu.     

Bella segera bergegas mengambil smartphone miliknya yang terletak tidak jauh dari tempatnya saat itu. Ia segera menelepon Hanna, hal ini bisa saja menjadi sebuah bukti yang sangat penting untuk penyelidikan kasus yang saat ini sedang ditangani oleh kekasihnya itu, tidak menutup kemungkinan dengan adanya foto-foto tersebut cepat atau lambat kasus kematian Annie akan segera bisa terungkap.     

******     

Davine berpegangan pada sebuah dinding pada gang yang dilaluinya saat itu. Rasa sakit di kepalanya kembali terasa, kali ini benar-benar terasa sangat menyakitkan. Perlahan penglihatannya saat itu mulai memudar, Davine sebisa mungkin bertahan dalam keadaannya saat itu, sangat tidak baik baginya jika harus kehilangan kesadaran di tempat tersebut.     

Sama halnya dengan apa yang terjadi padanya dalam beberapa waktu terakhir, sebuah penglihatan kini seakan mulai merasuk ke dalam otaknya, penglihatan itu bagai potongan-potongan film yang sudah sangat usang, menampilkan sebuah penglihatan, walau tidak jelas, namun Davine masih bisa memahaminya.     

Saat itu ia seakan sedang berjalan perlahan di suatu tempat. Davine sedikit familiar dengan tempat tersebut. Ia seakan mengendap dan terus mengikuti seorang wanita yang berjalan di depannya, hanya melihat punggung wanita itu saja, Davine tahu jika ia adalah Siska. Dalam sudut pandang itu Davine terus mengikuti Siska hingga melewati sebuah gerbang, kini Davine tahu jika saat itu mereka sedang berada di kampus tempat di mana mantan kekasihnya itu berkuliah.     

Davine terus berjalan, ia mengatur jarak di antara mereka, tidak jauh namun juga tidak terlalu dekat. Sampai akhirnya mereka berjalan menjauh dari keramaian, Davine merasa seakan ia sedang mempercepat langkah kakinya, semakin lama ia kini semakin dekat dengan Siska, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa kaki saja, Kini tangan Davine berusaha menggapai bahu Siska dari belakang, saat itu mereka hanya berdua saja tanpa ada seorang pun di tempat itu, sedang Siska tampaknya masih belum menyadari jika Davine saat ini sudah berada tepat di belakangnya. Sesaat tangan itu semakin mendekat pada bahu Siska, Davine yang ada di sudut pandang itu berusaha sekuat tenaga memanggil nama Siska, namun percuma. Suaranya tidak keluar, semua tindakannya saat itu di luar kendalinya sendiri.     

Davine tersadar, saat itu ia sudah menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di tempat itu.     

"Apa kau baik-baik saja Nak,?" tanya seorang ibu yang mendapati Davine jatuh tidak sadarkan diri di tempat itu.     

"Saya baik-baik saja Bu,!" jawab Davine, walau nyatanya saat itu kepalanya masih terasa sedikit sakit.     

"Apa perlu Ibu antar ke rumah sakit?" tawar ibu itu, ia terlihat sangat cemas dengan kondisi Davine saat itu.     

"Tidak perlu Bu, ini hal biasa. Mungkin saya hanya sedikit kelelahan saja!" tolak Davine, dengan sedikit beralasan.     

"Baiklah kalau begitu, ambillah ini dan minum, itu akan membuatmu sedikit lebih baik!" sang ibu merogoh kantong belanjaannya dan segera memberikan sebotol air mineral pada Davine.     

Davine segera mengambil pemberian itu dan segera meminumnya, ia masih butuh sedikit istirahat sampai kondisinya benar-benar kembali pulih.     

Davine sudah mulai terbiasa dengan kondisi aneh yang dialaminya belakangan ini, namun ia merasa semakin hari ia mulai semakin bisa melihat dan memahami situasi yang terjadi dalam penglihatan yang selalu datang tanpa diduga-duga itu. Awalnya penglihatan itu hanyalah seperti potongan-potongan film yang diputar secara acak, namun semakin ke sini, kini penglihatan itu semakin jelas saja, yang menjadi masalah ia tidak dapat mengontrol kapan dan di mana kondisi seperti itu akan menyerangnya. Terlebih efek samping yang diterimanya, ia mau tidak mau harus jatuh pingsan sama halnya seperti yang terjadi saat ini. Hal itu membuatnya sangat tidak nyaman. Ia harus pingsan tanpa mengenal tempat, jelas hal itu juga sangat membahayakan bagi dirinya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.