Another Part Of Me?

Part 2.15



Part 2.15

0Davine berusaha untuk mengatur nafasnya, jantungnya berdetak sangat kencang saat itu. Sial baginya, bagaimana tidak, tiba-tiba saja yang entah dari mana, seekor tupai datang menghampiri pohon tempat ia sedang bersembunyi saat itu, hal tersebut jelas menimbulkan sedikit suara oleh pergerakan binatang itu di atas dedaunan kering, dari ke sekian banyak pohon yang berada di tempat itu entah mengapa binatang itu memilih untuk menaiki pohon tempat di mana Davine sedang bersembunyi saat itu, ia benar-benar tidak habis pikir. Tentu saja hal itu dengan segera memancing perhatian kedua pria itu. Terlihat Hanna yang menyadari pergerakan dan suara itu segera memberi kode pada Sersan Hendrik, saat ini Davine hanya mengenali Hanna seorang ia tidak begitu peduli dengan siapa rekannya itu, yang pasti Davine tahu jika mereka tergabung dalam satuan Kepolisian yang berada di kota itu.     

Davine membuka tasnya, dan dengan segera mengeluarkan handgun lengkap dengan beberapa kotak kecil amunisi miliknya, Davine segera mengantongi amunisi tersebut, setelah memastikan jika magazine handgunya masih terisi penuh, dan mengantongi beberapa hal penting lainnya yang terdapat di dalam tas itu, Davine berencana untuk melempar tas itu, menjadikannya sebagai alat pengalihan guna memecah konsentrasi Hanna dan Sersan Hendrik.     

Ia menunggu waktu yang tepat untuk melemparkan tasnya guna memancing perhatian Hanna dan Sersan Hendrik, hal itu akan sedikit memberikannya waktu untuk melarikan diri dari tempat tersebut. Davine tidak punya pilihan lain saat ini, ia tidak bisa hanya berdiam diri dan menunggu di tempat itu, saat ini posisi Hanna dan Sersan Hendrik sudah cukup dekat darinya, cepat atau lambat mereka pasti akan menemukan keberadaan Davine saat itu.     

Sembari menghitung mundur dalam hatinya, Davine menyiapkan mentalnya untuk melakukan aksinya saat ini, sedang Hanna dan Sersan Hendrik kini semakin dekat menuju ke arah lokasi tempat ia bersembunyi.     

Davine memungut sebuah batu seukuran kepalan tangan yang terdapat di dekat pohon tersebut, ia akan mencoba menambah persentasi keberhasilan rencananya itu dengan melemparkan batu dan tas miliknya secara berkala di dua arah yang berbeda, hal itu guna lebih memecah konsentrasi Hanna dan Sersan Hendrik, dan memberikannya waktu yang lebih lagi untuk melarikan diri. Tentu saja aksi kejar-kejaran tidak akan terelakkan lagi setelahnya.     

Saat itu jarak di antara mereka hanya sekitar kurang dari 15 meter. Davine mengamati letak pohon-pohon yang tersebar di area itu, ia akan berlari ke arah pohon-pohon tersebut guna menghindari tembakan yang mungkin saja akan di targetkan padanya, saling tembak antara mereka mungkin akan terjadi dalam beberapa saat lagi. Davine memukulkan salah satu tangannya yang kini bergetar hebat ke pahanya, ia memaksa mentalnya untuk keluar dari batasnya, sebelum akhirnya kembali menarik nafas panjang dan bersiap untuk segera melancarkan aksinya.     

3,2,1, hitung Davine dalam hati, sebelum akhirnya ia melemparkan batu yang telah dipungutnya sedari tadi itu ke arah kanannya, batu itu mendarat sekitar 20 meter dari tempatnya berdiri, seketika menarik perhatian Hanna dan Sersan Hendrik ke arah tersebut. Davine segera berlari dan kini melemparkan tasnya ke arah yang berbeda, hal itu kembali memberikan waktu bagi Davine untuk berlari menjauh dari Hanna dan Sersan Hendrik walau hanya sepersekian detik.     

Hanna dan sersan Hendrik yang perhatiannya teralihkan oleh kedua benda tersebut sedikit terlambat menyadari pergerakan Davine, memberikan jarak yang lumayan jauh dari jarak mereka sebelumnya.     

Davine terus berlari, dari satu pohon ke pohon lainya, jalur yang diambilnya tidak lurus melainkan zig-zag. Hanna dan Sersan Hendrik yang kini telah menyadari pergerakan Davine segera mengejarnya, sialnya mereka tidak dapat dengan fokus untuk menembakkan handgun mereka pada Davine yang selalu saja berlari dari pohon ke pohon itu. Pohon-pohon itu tentu menjadi kendala besar bagi mereka.     

Hanna dan sersan Hendrik mencoba menembak Davine secara bergantian, jika Hanna berlari maka Sersan Hendrik akan berhenti untuk membidik dan menembak Davine dengan hangunnya, begitu pula sebaliknya. Hal itu perlu mereka lakukan, karena akan sangat sulit jika mereka menembak sembari berlari, karena peluru yang keluar dari handgun mereka itu pasti tidak akan stabil dan akan sangat berisiko. Di satu sisi mereka juga tidak boleh mengenai titik vital dari Davine, akan sangat berbahaya jika mereka melakukan hal tersebut, karena bisa saja peluru yang dilontarkan dari handgun tersebut tanpa sengaja mengenai titik vital dari target dan membunuhnya. Jelas itu bukan tujuan utama dari operasi mereka saat ini.     

Tidak mudah mengenai Davine yang berlari dengan pola yang sangat acak itu, beberapa tembakan yang mereka lontarkan tidak ada satu pun yang dapat mengenai target, sementara jarak di antara mereka dengan perlahan namun pasti mulai terus saja menjauh. Beberapa kali Hanna dan Sersan Hendrik memaki kesal.     

Kali ini giliran Sersan Hendrik yang menembak, sedang Hana terus berlari meninggalkannya di belakang. Kali ini Sersan Hendrik menarik nafasnya panjang, menyipitkan salah satu matanya, sedang moncong senjatanya terus mencoba mengikuti pergerakan Davine yang sangat acak itu.     

Doooorrr ...!     

Sebuah peluru kini bersarang di bahu kiri Davine, peluru itu mengenai tepat di bagian tulang belikatnya. Untungnya itu bukan bagian vital yang dapat menyebabkan kematian pada manusia. Davine yang menerima tembakan itu seketika terjatuh tersungkur, ia dengan sekuat tenaga kembali berusaha untuk bangkit, kali ini Davine balik menyerang, ia menembakkan beberapa peluru pada Hanna dan Sersan Hendrik secara acak, tentu hal itu cukup mengejutkan bagi mereka, karena sedari awal pengejaran mereka tidak menyangka jika Davine memiliki sebuah handgun di tangannya.     

Untungnya beberapa tembakan dari handgun yang dilontarkan Davine tidak ada satu pun yang mengenai Hanna dan Sersan Hendrik, namun jelas sekali terlihat jika Davine masih sangat amatir dalam menggunakan benda tersebut.     

Serangan balasan itu cukup berdampak, kini Hanna dan Sersan Hendrik mau tidak mau harus menghentikan pengejarannya, mereka tidak bisa sembarangan mendekati Davine saat ini, mereka lebih memilih untuk mengambil posisi siaga masing-masing dan bersembunyi di belakang pohon yang berada tepat di dekat mereka, sedang Davine juga sama halnya dengan Hanna dan Sersan Hendrik, ia mau tidak mau harus menunda pelariannya dan kembali bersembunyi di belakang pohon yang berada paling dekat dengannya juga.     

Kini lengan kiri Davine terasa mati rasa, sebuah peluru yang bersarang di pundak kirinya itu kini mengeluarkan sejumlah darah, posisinya saat ini benar-benar terpojok, bagaimana tidak lengan kirinya tidak dapat digunakannya dengan baik saat ini.     

Kedua belah pihak saat ini masih belum melakukan pergerakan satu sama lain, mereka saling menjaga dan sesekali memantau dari celah pohon tempat mereka bersembunyi. Davine yang saat itu mulai putus asa mulai berpikir mungkin inilah akhir dari pelariannya, jika kedua orang itu dengan nekat mendekatinya tentu ia akan tertangkap dengan mudah. Davine sadar jika ia sangat tidak ahli dalam menggunakan senjatanya, sedangkan kedua orang itu tentu pastilah sangat terlatih.     

Suara nafas Davine mulai terasa berat, entah apa yang terjadi, kini penglihatannya perlahan mulai menjadi kabur. Ini tidak normal, pikirnya. Bagaimanapun Davine belum kehilangan banyak darah saat itu, luka dari tembakan berbeda dengan luka dari sebuah tusukan benda tajam, karena pada dasarnya peluru yang bersarang di tubuhnya itu akan sedikit menutupi luka tembak itu sendiri, hal itu membuat luka tersebut tidak begitu banyak mengeluarkan darah. Berbeda jika ia menerima tembakan itu di daerah vital seperti dada, perut, atau kepala. Lalu apa penyebab kondisinya saat ini, pertanyaan itu kini tertanam di otaknya.     

Di saat kesadarannya kini hampir hilang, tiba-tiba saja Davine seolah mendengar sebuah suara yang datangnya entah dari mana, namun ia yakin jika ia dapat mendengar suara itu walau samar.     

"Aku bisa membantumu. Sekarang biar aku yang mengambil alih!"     

Davine segera melayangkan pandangannya ke sekitar, ia tidak mendapati sumber suara itu. Seakan tidak percaya jika ia merasa suara itu seperti bersarang di otaknya. Davine yang masih dalam kondisi yang tidak baik itu kini merasa tidak dapat mempertahankan kesadarannya lagi, ia berusaha sekuat tenaga melawan sebuah rasa kantuk yang datang dengan sangat hebat itu, kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi yang sering dialaminya sebelumnya. Davine, ia masih terus saja mendengar kata-kata itu menggema di otaknya, sebelum akhirnya pandangannya kini berubah menjadi gelap total.     

******     

Davine yang baru saja tersadar sangat terkejut mendapati dirinya saat itu seolah bergerak di luar kendalinya sendiri, sementara ia merasa sangat yakin jika beberapa waktu yang lalu ia tengah pingsan dan kehilangan kesadarannya sepenuhnya.     

Saat itu ia sedang berlari dari satu pohon ke pohon lainya. Entah mengapa ia seakan merasa jika saat itu ia seolah sedang menonton apa yang sedang terjadi dari dalam dirinya sendiri. Davine, ia benar-benar tidak dapat mengerakkan tubuh itu sesuai keinginannya sendiri.     

Davine terus berlari, entah mengapa ia merasa pergerakannya jauh lebih lincah dan cekatan dibanding dengan dirinya sebelumnya. Sesekali ia menembakkan handgun yang berada di tangannya itu secara bergantian ke arah Hanna dan Sersan Hendrik. Beberapa tembakan hampir mengenai mereka, bahkan Hanna dan Sersan Hendrik sendiri tidak habis pikir. Kedua orang itu menyadari perubahan yang terjadi dari diri Davine, yang awalnya hanya terlihat seperti seorang amatir, entah mengapa kini seakan berubah 360 derajat. Beberapa tembakan yang dilontarkan Davine saat itu sangat akurat dan beberapa kali hampir saja mengenai mereka berdua. Kini Davine lebih terlihat seperti seorang profesional dalam menggunakan senjata itu.     

Aksi tembak-menembak itu berjalan sengit, Davine bahkan sempat kehabisan amunisinya dan dengan segera mengisinya kembali, pergerakannya cepat dan sangat cekatan, bak seorang profesional yang memang sudah terbiasa menggunakan senjata tersebut dalam peperangan.     

Saat ini Davine masih belum bisa menggerakkan tubuh itu sesuai dengan keinginannya, entah apa yang sedang mengambil alih tubuhnya saat itu, ia benar-benar hanya bisa menyaksikan apa yang sedang terjadi dari dalam sudut pandangnya sendiri.     

Dooorrr ...!     

Seketika Sersan Hendrik terjatuh, sebuah peluru bersarang tepat di perutnya. Posisi sersan Hendrik sedikit terbuka kala itu, membuat Davine dapat menembakkan pelurunya dengan sangat akurat pada Sersan Hendrik.     

"Sersan ...!" teriak Hanna yang melihat hal tersebut.     

Hanna yang naik pitam segera menembakkan handgunya ke arah Davine secara bertubi-tubi, namun Davine dengan lincahnya dapat menghindari semua rentetan tembakan itu. Hanna benar-benar tidak dapat mengerti situasi yang terjadi saat ini, bagaimana bisa, bahkan setelah menerima luka tembak di bahu kirinya, mengapa Davine kini malah menjadi semakin lincah dan berbahaya. Jelas itu tidak masuk di akal, pikirnya.     

Davine kini terus berlari menjauh meninggalkan Hanna dan Sersan Hendrik yang saat itu masih jatuh terkapar karena menerima tembakan dari Davine. Hanna yang saat itu ingin terus berusaha mengejar Davine kini dengan terpaksa harus menghentikan langkahnya, ia lebih khawatir dengan keadaan Sersan Hendrik saat ini. Hanna tahu jika rekanya itu tertembak di daerah yang cukup vital.     

"Sersan, bagaimana keadaanmu?" Hanna dengan segera berlari menuju sersan Hendrik, ia benar-benar dilema saat itu.     

Jelas sekali luka yang diterima Sersan Hendrik telah banyak mengeluarkan darah saat itu, Hanna dengan segera mencoba memberikan pertolongan pertama, namun tampaknya Sersan Hendrik sudah tidak dapat mempertahankan kesadarannya lagi. Tidak ada pilihan lain, kali ini ia benar-benar harus menerima kekalahan mereka saat itu. Hanna menatap kesal pada Davine yang saat terlihat semakin jauh meninggalkan mereka.     

"Aku bersumpah, aku pasti akan menemukanmu Davine!"     

"Tunggulah!" serapah Hanna, matanya penuh amarah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.