Another Part Of Me?

Part 3.11



Part 3.11

0Siska segera mematikan panggilan pada smartphone miliknya, sedang tangannya masih bergetar hebat. Saat itu ia memutuskan untuk segera pulang ke rumahnya. Ia benar-benar masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.     

Saat itu Davine benar-benar berbeda dari apa yang selama ini ia kenal. Davine biasanya adalah tipe lelaki yang enggan mencari masalah dan lebih terlihat untuk menghindarinya, namun apa yang baru saja ia lihat sungguh di luar ekspektasinya. Tentu saja hal itu sedikit membuat Siska merasa takut akan sosok kekasihnya itu.     

Sesampainya di rumah Siska segera masuk dan mencuci wajahnya di wastafel yang berada di kamar mandinya. Ia beberapa kali membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari keran pada wastafel itu, wanita itu sebisa mungkin mencoba menenangkan dirinya. Ia bahkan terus mencoba mengelus-elus dadanya yang saat itu masih terasa berdetak dengan sangat kencang.     

Setelah merasa sedikit lebih baik ia segera kembali ke kamarnya. Ia masih mencoba memahami situasinya saat itu, apa yang harus ia lakukan ke depannya, bagaimana caranya ketika nanti ia harus berhadapan langsung dengan kekasihnya itu.     

Keesokan harinya, Siska yang awalnya ragu untuk menemui Davine akhirnya memberanikan diri untuk menghampirinya. Siska, saat itu ia berusaha sebisa mungkin untuk terlihat tenang.     

"Hey apa kelasmu sudah selesai?" tegur Siska, suaranya hampir bergetar saat itu.     

"Aku baru saja selesai!" jawab Davine singkat, lelaki itu bersikap seolah tidak terjadi sesuatu apa pun.     

Hari itu mood Davine tampak sangat baik, ia bahkan tidak menanyakan perihal mengapa Siska melakukan panggilan pada smartphone miliknya semalam. Entah mengapa, seolah kejadian semalam itu tidak pernah terjadi.     

Tidak seperti biasa, seharusnya Davine tentu bertanya-tanya mengapa dalam panggilan itu Siska tak menjawabnya sama sekali, bahkan ia memutuskan panggilan itu begitu saja. Tentu itu bukan hal yang biasa Siska lakukan.     

"Ada apa, kau tampak berbeda hari ini?" tanya Davine.     

"Tidak apa-apa, mungkin aku hanya sedikit kelelahan saja," jawab Siska. Ia tak ingin Davine tahu jika saat itu ia sedikit merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja ia lihat semalam.     

"Apa yang kau lakukan semalam?" kini Siska mencoba sedikit menggali tentang kejadian malam itu.     

"Tidak banyak, seperti biasa aku hanya menghabiskan waktu untuk menonton beberapa siaran di televisi, dan kau tahu, aku tidur setelah mataku terasa cukup lelah," jawab Davine.     

"Jadi kau menghabiskan waktumu hanya di apartemen saja?" tanya Siska lagi.     

Davine sedikit mengerutkan keningnya, ia mulai merasa ada yang aneh dengan sikap Siska.     

"Apa terjadi sesuatu padamu?" kini Davine yang balik bertanya.     

"Ah, tidak. Semua baik-baik saja!" elak Siska.     

Siska pun mencoba berusaha melupakan hal itu, terlebih Davine, entah mengapa lelaki itu seolah benar-benar tidak tahu tentang hal tersebut. Apakah yang Siska lihat malam itu memang bukan Davine, atau mungkin saja Davine melakukan hal itu tanpa ia sadari. Jika ia coba menggali ingatannya baik-baik lagi, malam itu Davine melakukan aksinya dengan menggunakan tangan kirinya, sedang dalam kesehariannya Davine lebih cenderung menggunakan tangan kanannya. Tentu hal ini bukan kali pertama ia lihat, Siska mulai menyadari ada perbedaan dalam kepribadian Davine dalam beberapa kondisi tertentu, walau itu sangat samar namun Siska dapat menyadari hal itu, wanita itu cukup jeli.     

Awalnya Siska menganggap jika perbedaan yang kadang kala ia rasakan dari sosok Davine itu hanyalah perasaannya saja. Di suatu waktu Davine bisa saja menjadi sangat dingin dan cuek, namun di waktu yang lain ia juga terkadang sangat begitu perhatian padanya, dan lagi perbedaan mood yang bisa saja berubah secara drastis yang ia rasakan dari kekasihnya itu.     

Saat itu hubungannya dengan Davine baru saja menginjak sekitar 6 sampai 7 bulan. Bukan waktu yang lama, namun tidak juga dapat dibilang singkat. Kebersamaan mereka membuat Siska dapat memahami segala perubahan yang kerap terjadi pada diri Davine, namun ia juga tidak bisa dengar serta-merta menyimpulkan jika hal itu adalah sebuah kelainan.     

Setelah insiden malam itu, Siska kerap kali merasa seperti diikuti oleh seseorang, ia tahu orang itu pasti adalah Davine. Dalam suatu kesempatan Siska pernah membuktikan itu dengan cara melakukan panggilan secara tiba-tiba pada smartphone milik kekasihnya itu di saat ia merasa sedang diikuti. Samar Siska bisa mendengar sebuah nada dering yang tidak asing di telinganya, walau saat itu ia tidak dapat melacak keberadaan Davine dengan benar, namun ia yakin jika kekasihnya itu sedang mengawasinya dari suatu tempat, bersembunyi di balik bayang-bayang dan berkamuflase untuk mengawasinya.     

Mungkin itu juga sebuah kelalaian bagi Davine saat itu, ia dengan ceroboh tidak menonaktifkan suara panggilan nada dering pada smartphone miliknya, membuat Siska dapat menyadari keberadaannya walau hanya berbekal suara samar yang terdengar di tengah keramaian itu.     

Sejak hari itu Davine terus mengawasi Siska di setiap perjalanan pulang wanita itu secara diam-diam. Tentu hal itu sedikit tidak membuat wanita itu merasa nyaman, namun di satu sisi Siska mulai memikirkan hal itu dari sudut pandang yang berbeda. Jika dipikirkan lagi, pada dasarnya Davine hanya ingin menjaga Siska. Walaupun hal yang ia lakukan saat itu kurang tepat, namun sekali lagi Siska mencoba memahami hal itu dari sisi baiknya saja.     

Seiring berjalannya waktu kini Siska tidak lagi memikirkan hal itu sebagai sebuah sesuatu yang harus ia khawatirkan dari Davine. Walau di satu sisi ia juga mulai mencurigai jika kekasihnya itu memiliki sebuah kepribadian lain di dalam dirinya. Kepribadian itu sebenarnya tidak buruk, menurut apa yang telah Siska coba pelajari dari kebersamaannya bersama Davine, kini ia dapat sedikit menyimpulkan, jika saja mungkin saja benar kekasihnya itu memiliki sebuah kepribadian lain dalam dirinya, sebagaimana seperti yang telah ia duga selama ini. Namun di sisi lain ia juga yakin jika kepribadian itu tidak berbahaya baginya, hanya saja kepribadian itu memang sedikit keras dan tidak dapat membedakan bagaimana cara yang benar untuk menyelesaikan suatu masalah, walaupun niat yang ia lakukan sebenarnya adalah hal yang baik.     

Dari sanalah Siska dapat menyimpulkan jika Davine sebenarnya adalah orang yang baik, ia hanya ingin melindungi apa yang mungkin sangat berharga baginya, walau kenyataannya Siska pun tidak membenarkan cara kekerasan yang ia pakai untuk melindunginya saat itu. Namun dengan kepercayaan penuh ia dapat menjamin dan dengan tegas menyatakan jika selama ini ia tidak pernah disakiti Davine sekalipun, baik itu kepribadian aslinya ataupun kepribadian lain yang ada di dalam dirinya saat itu.     

Itu pula alasannya mengapa Siska tidak terlalu terkejut ketika Davine menyatakan jika ia mungkin saja memiliki sebuah kepribadian lain dalam dirinya ketika pertemuan malam itu, yang di mana Davine juga mengatakan jika mungkin saja kepribadian lain di dalam dirinya itu bisa saja berbahaya bagi keselamatan Siska sendiri. Namun sekali lagi rasa percaya dan pengalaman yang telah ia alami sewaktu masih menjalin hubungan dengan lelaki itu membuatnya dapat dengan tegas membantah hal itu. Menurutnya Davine bukanlah orang yang bisa saja membahayakan dirinya seperti yang telah lelaki itu utarakan sebelumnya.     

******     

Siska masih berada di perjalanan pulangnya, tentu saja ia masih memikirkan Davine saat itu. Beberapa waktu yang lalu ia pernah tanpa sengaja mendapati suatu hal yang cukup mencanangkan tentang Davine.     

Saat itu ia sedang dalam libur kuliahnya, namun tidak seperti yang ia harapkan, walaupun itu adalah hari libur, tapi tetap saja ia harus bergelut dengan beberapa tugas kuliah yang harus segera ia selesaikan.     

Siska dengan semangat yang hanya tersisa sedikit itu masih berusaha terus mengerjakan setiap tugas lewat laptop miliknya, namun sialnya karena terlalu fokus membuatnya tidak memperhatikan daya pada laptop itu sendiri.     

"Astaga, mengapa benda ini mati di saat seperti ini!" gumamnya kesal.     

Siska segera mencari charger benda itu. Ia mencari di setiap sudut kamar itu, namun ia benar-benar lupa di mana ia meletakan benda itu.     

Merasa kesal Siska pun berpikir jika ia lebih baik meminjam charger milik Hanna, ia sudah menyerah mencari benda itu di kamarnya, bahkan kamar yang awalnya tertata rapi itu kini telah berubah dan hampir terlihat seperti kapal pecah.     

Dengan masih penuh dengan kekesalan karena charger miliknya yang sampai saat itu masih belum diketahui di mana rimbanya. Siska berjalan dengan sedikit menghentakkan langkah kakinya, ia mencoba sedikit meluapkan rasa kekesalannya saat itu.     

Beberapa kali Siska mencoba memanggil kakak sepupunya itu dari luar kamarnya, namun tidak ada jawaban dari Hanna sama sekali. Siska kini mengetuk pintu itu dengan sedikit keras, ia masih terbawa akan kekesalannya perihal charger laptopnya yang entah bagaimana ia bisa melupakan di mana terakhir kali ia meletakan benda tersebut.     

"Hanna apa kau di dalam?" tanya Siska dengan setengah berteriak.     

Setelah lelah dan tidak juga mendapat jawaban, Siska memutuskan untuk segera masuk ke kamar itu. Untungnya pintu kamar Hanna dalam keadaan tidak terkunci saat itu.     

Kamar itu gelap, ia mencoba memastikan sekali lagi apakah Hanna berada di tempat itu. Namun hal itu kembali saja sia-sia. Siska dengan segera berusaha mencari sakelar lampu yang berada di kamar itu, untungnya ia cukup hafal di mana letaknya.     

Benar saja kamar itu kosong, sedang Hanna, entah ke mana perginya lelaki itu, walau rasanya beberapa waktu yang lalu ia masih mendengar suara lelaki itu dari dalam kamarnya.     

Siska yang tidak mau mengambil pusing akan hal itu segera mencari barang yang ia perlukan. Ia bahkan sedikit mengacak-acak meja milik Hanna yang saat itu memang sedikit berantakan. Tak menemukannya, Siska segera meraih gagang laci di meja itu dan membukanya begitu saja.     

Benar saja, sebuah charger milik Hanna terdapat di sana, Siska sedikit girang mendapati hal itu. Bagaimana tidak, ia sudah cukup kehabisan waktu untuk mengerjakan tugasnya saat itu.     

Sesaat ketika ia ingin menutup kembali laci itu pandangannya tertuju pada beberapa foto yang tergeletak di dalam laci itu. Siska awalnya tidak begitu tertarik akan hal tersebut, namun melihat sosok yang ada di foto itu merupakan sosok yang tidak asing baginya, ia segera mengambil beberapa foto yang tersebar tidak beraturan di dalam laci tersebut.     

Siska memperhatikan dengan saksama beberapa foto yang saat itu diambil dengan beberapa angle berbeda itu. Sosok yang berada di foto itu bukan orang asing baginya, walau nyatanya sosok itu bukanlah objek sesungguhnya dari foto-foto itu. Siska bahkan masih tidak percaya mengapa Hanna memiliki foto-foto tersebut, lantas apa maksud dari foto-foto itu, Siska benar-benar bertanya-tanya dibuatnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.