Another Part Of Me?

Part 5.17



Part 5.17

0 Davine meraih benda yang terdapat di dalam kotak kayu itu, itu adalah sebuah liontin dengan sebuah permata berwarna merah yang sangat anggun. Namun mengapa Monna memberikan benda seperti itu kepadanya, pikir Davine.     

"Ibu telah menyiapkan benda itu semenjak kau masih berusia sekitar 10 tahun!" ujar Monna.     

Untuk kesekian kalinya, Davine hanya bisa mengerutkan keningnya, ia benar-benar tak mengerti akan maksud dari ibu angkatnya itu, mengapa wanita itu memberikan benda seperti itu kepadanya, terlebih Monna mengatakan jika ia telah menyiapkan hal itu sejak beberapa tahun yang lalu. Bukankah seharusnya Monna tahu jika dirinya bukanlah tipe orang yang menyukai benda-benda mewah semacam itu.     

"Ini sangat indah, namun mengapa Ibu memberikan ini kepadaku?" tanya Davine, ia masih tak mengerti dengan jalan pikiran Monna kali ini.     

"Kau akan mengetahuinya nanti, itu adalah benda yang sangat penting. Aku membuatnya khusus hanya untukmu!" jawab Monna, wanita itu masih saja menggantungkan apa maksud dari pemberiannya itu.     

Davine segera menatapi dengan seksama liontin itu, rasanya tidak ada yang aneh dengan benda tersebut. Walau di sisi lain ia juga sangat mengetahui jika itu adalah benda yang bernilai sangat tinggi.     

"Simpanlah benda itu baik-baik. Aku yakin kau akan mengerti akan apa maksud dari tujuan Ibu nanti," titah Monna.     

"Kau adalah lelaki yang sangat pandai!" tambah wanita itu sembari tersenyum.     

Davine hanya bisa menganggukkan kepalanya saja, ia tahu ada maksud tersirat dari apa yang telah sang ibu lakukan hari itu.     

"Baiklah, aku akan menyimpan benda ini baik-baik!" ujar Davine, ia tak lagi menanyakan maksud sang ibu memberikan benda itu kepadanya. Walau di dalam hatinya, tentu lelaki itu dipenuhi rasa penasaran yang begitu besar.     

Sang ibu kembali melemparkan senyumnya, pada Davine, itu seolah ia telah melakukan apa yang selama ini ia inginkan, entah apa yang tersirat dari senyuman wanita itu, namun Davine bisa melihat ada sebagian keresahan terpendam yang kini dapat sedikit ia lepaskan.     

Setelah memberikan benda itu pada Davine, akhirnya pembicaraan secara empat mata itu mereka akhiri, lagi pula jam telah menunjukan pukul 09.00 a.m. saat itu, itu adalah waktu bagi sang dokter untuk memeriksa kesehatan Monna secara rutin.     

Davine berjalan kembali menuju kamarnya, sesuai apa yang Monna katakan sebelumnya, yang di mana wanita itu meminta Davine untuk menyimpan benda itu baik-baik. Monna bahkan berpesan agar Davine tak menunjukan benda itu pada anggota keluarganya yang lain. Tentu saja hal ini semakin membuat Davine kian bertanya-tanya. Apa sebenarnya maksud dari wanita itu memberikan sebuah liontin yang sangat mewah itu kepada dirinya. Tentu saja Davine tak menilai benda itu dari harga atau nominalnya yang pastilah sangat mahal, Davine tahu Monna ingin menyampaikan sesuatu dengan memberikannya benda tersebut.     

Tak berselang lama, tiba-tiba saja Malvine memasuki kamar milik Davine tanpa mengetuknya, untungnya saat itu Davine telah menyimpan benda pemberian sang ibu sebelum kakak angkatnya itu melihatnya.     

"Hey, aku menunggumu untuk makan pagi bersama, aku pikir kau masih tertidur. Kau terlihat sangat lelah semalam!" ujar Malvine.     

"Aahh, baiklah. Aku akan segera ke sana!" jawab Davine sekenanya. Jantungnya serasa hampir copot karena kedatangan Malvine yang begitu tiba-tiba itu.     

Hari itu Davine lebih banyak merenung, setelah pembicaraan secara empat matanya bersama Monna beberapa saat yang lalu, kini ia mulai kembali dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan di benaknya.     

Davine menatap Malvine yang sedang sibuk dengan sarapannya, hari itu mereka memang sedikit terlambat untuk menyantap makanannya.     

Pembicaraannya bersama Monna beberapa saat yang lalu telah mengungkap bagaimana kepribadian kakak angkatnya itu terbentuk, selama ini Davine bukannya tidak tahu jika Malvine adalah anak yang sangat berambisi, namun Davine tidak pernah tahu jika di balik ambisinya itu ternyata ada sebuah alasan yang sangat dalam. Malvine, ia adalah seorang anak yang sangat menginginkan pengakuan dari sang ayah. Davine yang kini telah mengetahui alasan itu, sedikit merubah pandangannya pada sang kakak. Malvine, ternyata dia adalah seorang anak yang cukup malang, pikir Davine.     

Seingat Davine, sang ayah memang tidak pernah benar-benar memuji semua kinerja Malvine secara langsung. Bukan karena lelaki itu tidak menghargainya, namun begitulah sifat sang ayah, ia adalah lelaki yang cukup kaku untuk urusan seperti itu. Tak seperti seorang ibu, kebanyakan ayah di dunia ini memang tidak pandai dalam menunjukan perasaannya pada anak-anak mereka, terlebih jika itu adalah anak lelaki, dan Edward, menurut Davine ia adalah salah satu dari sebagian besar ayah yang tidak dapat melakukan hal itu dengan baik.     

Namun di satu sisi, Davine juga merasa apa yang dirasakan Malvine mungkin saja memang ada benarnya, bagaimanapun juga Edward masihlah seorang ayah yang sangat misterius bagi Davine.     

Setelah melakukan sarapan bersama, Davine memutuskan untuk sekedar berjalan di halaman rumah mereka yang sangat luas itu untuk sedikit mencari angin segar, sedang Malvine, lelaki itu berkata jika ia masih harus mengurus beberapa dokumen penting miliknya.     

Davine tak sedikitpun mengira jika hari itu akan berubah menjadi hari yang penuh dengan penyesalan baginya. Baru sekitar setengah jam Davine menghabiskan waktunya di halaman itu, tiba-tiba ia dikagetkan dengan kedatangan salah satu asisten rumah tangga mereka. Sang asisten rumah tangga itu tampak berlari menuju Davine dengan sangat tergesa-gesa. Tampak sebuah kepanikan tercetak jelas di wajahnya.     

"Ada apa, apa yang terjadi?" tanya Davine, ia sudah mulai merasakan firasat buruk di dalam hatinya.     

"Ini tentang Nyonya, Tuan!" jawab sang asisten itu.     

"Ya, ada apa dengan Ibu?" sambung Davine, ia kini mulai panik.     

"Ibu terjatuh dari kasurnya dan tak sadarkan diri!" jelas sang asisten rumah tangga itu.     

Davine berlari secepat kilat meninggalkan halaman rumahnya itu, ia segera melesat menuju kamar sang ibu saat itu juga.     

"Bagaimana hal itu bisa terjadi!" maki Davine kesal.     

Davine segera menerobos para suster yang tampak mengerumuni sang ibu, terlihat Malvine telah lebih dulu berada di sana, ia tampak menggendong dan segera meletakkan sang ibu kembali di atas kasurnya.     

"Apa yang terjadi?" tanya Davine.     

"Nyonya terjatuh tuan!" ujar salah satu suster yang berada di ruangan itu.     

"Bagaimana bisa, bukankah kalian seharusnya menjaganya!" bentak Davine.     

"Maafkan kami Tuan, namun itu terjadi begitu saja!" jawab sang suster. Tampak wanita itu sangat ketakutan.     

Malvine pun segera menjelaskan kronologi kejadian itu kepada Davine. Saat itu ada dua suster yang bertugas menjaga sang ibu di dalam kamar, saat itu sang ibu baru saja buang air kecil, dan salah satu suster yang membantunya sedang membereskan beberapa perlengkapan yang habis mereka gunakan untuk aktivitas itu, sedang suster yang satunya lagi Monna perintahkan untuk mengambil pakaian ganti, karena sang ibu merasa jika baju yang sedang ia kenakan itu sudah sedikit tidak nyaman. Sialnya ketika kedua suster itu sedang melakukan pekerjaan mereka masing-masing, tiba-tiba saja sang ibu terjatuh begitu saja dari kasurnya. Sang suster juga berkata jika mereka baru saja memalingkan pandangannya beberapa detik dari sang ibu dan tiba-tiba kejadian itu terjadi begitu saja.     

"Aku telah menanyakan kronologinya pada mereka, kurang lebih itulah yang terjadi!" jelas Malvine, lelaki itu tak dapat menutupi raut wajah gelisahnya. Tentu saja kejadian itu bukanlah sesuatu yang mereka inginkan.     

"Kita tak dapat menyalahkan mereka!" tukas Malvine.     

Davine terdiam sesaat, apa yang Malvine katakan itu memanglah benar, itu adalah sebuah kecelakaan, kelalaian kedua suster itu mungkin menjadi faktor terjadinya hal tersebut, namun seperti apa yang Malvine katakan, rasanya sangat egois jika mereka menyalahkan hal itu kepada para suster itu.     

"Ya, maafkan aku, aku tak bermaksud untuk mencari kambing hitam. Terlebih itu, bagaimana keadaan Ibu saat ini?" tanya Davine. Sama halnya seperti apa yang lain rasakan di dalam ruangan itu, perasaan panik itu memang tak dapat ia kendalikan.     

"Buruk … ini sangat buruk!" jawab Malvine, lelaki itu tampak mengucek bagian antara mata kiri dan kanannya dengan telunjuk dan ibu jarinya.     

******     

Hari itu adalah hari paling berkabung bagi Davine, ia tak pernah menyangka jika Monna akan pergi menemui Sang Pencipta dengan sangat cepat. Bagi Davine, tentu saja Monna adalah sosok yang sangat penting. Wanita itu adalah orang yang menariknya keluar dari jurang penyiksaan yang ia rasakan sewaktu kecil dulu. Ia masih mengingat jelas bagaimana tangan lembut wanita itu meraih dan menariknya masuk ke dalam kehidupan mereka.     

Setelah insiden itu Monna tak dapat lagi diselamatkan, kejadian itu tampaknya segera memperburuk kondisi kesehatannya. Bagaimanapun Monna telah mengalami komplikasi yang sangat serius. Terjatuh dari ketinggian tertentu bisa saja menjadi sesuatu yang sangat buruk baginya.     

Menurut sang dokter kemungkinan terjatuhnya Monna dari tempat tidurnya itu adalah sebab gejala stroke hemoragik yang dideritanya. Saat itu Monna memang telah kehilangan hampir semua fungsi tubuhnya sebab stroke hemoragik yang ia derita. Walau terkadang ada beberapa bagian yang masih bisa ia gerakan, namun terkadang ia bisa saja kembali kehilangan kontrol untuk menggerakkan anggota tubuhnya secara tiba-tiba. Menurut sang dokter, setidaknya itulah kemungkinan yang terjadi kepada wanita itu.     

"Mungkin saja saat itu Ibu sedang berusaha melakukan sesuatu dan kehilangan kontrol pada tubuhnya secara tiba-tiba!" tukas sang dokter.     

"Aneurisma otak, dan stroke batang otak yang diderita oleh Beliau adalah penyakit yang sangat serius!" tambah sang dokter.     

Proses pemakan Monna tidak segera dilakukan. Malvine dan Davine setuju jika mereka akan terlebih dulu menunggu kedatangan sang ayah sebelum memakamkan sang ibu.     

Edward yang telah menerima kabar buruk itu kini sedang dalam perjalanan pulang menuju ke kediaman mereka, tampaknya beberapa jam lagi pesawat itu akan segera mendarat di kota itu.     

Semenjak kondisi Monna semakin bertambah buruk, sebenarnya Edward telah berupaya untuk segera pulang ke kediaman mereka. Lelaki itu bahkan telah membatalkan seluruh janji penting yang seharusnya ia lakukan saat itu, namun sialnya penerbangan yang ia tumpangi saat itu mengalami delay keberangkatan sebab cuaca yang sangat buruk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.