Another Part Of Me?

Part 5.34



Part 5.34

0"Begitulah kenyataanya. Kami bukannya mendukung atas tragedi genosida yang telah dilakukan oleh pihak Pemerintah saat itu, namun kami dipaksa untuk bungkam!" jelas lelaki paruh baya itu.      

    Setidaknya begitulah penjelasan dari lelaki itu mengapa ia dapat mengetahui bagaimana tragedi kelam yang terjadi di kota itu dengan cukup mendetail, tentu sang ayah juga mengatakan jika sebagian informasi yang ia ceritakan saat itu juga adalah hasil dari cerita dari mulut ke mulut para warga ketika mereka diungsikan ke suatu tempat ketika tragedi genosida itu terjadi.      

     "Siska, apa kau tidak ingat, kita pernah tinggal untuk beberapa waktu di markas kepolisian guna mengamankan diri dulu?" ungkit sang ayah.      

     Siska yang mendengar hal itu segera mengerutkan keningnya, apa benar hal seperti itu pernah mereka lakukan, pikirnya.      

     "Astaga, ayah lupa. Dulu ayah mengatakan kepadamu jika saat itu kita sedang mengikuti acara kamp bersama!" ujar sang ayah sembari menepuk jidatnya.      

     "Owh, aku ingat. Rasanya saat itu tiba-tiba kita sudah berada di tempat itu bersama banyak warga lainnya!" jawab Siska.      

     "Ya, itu wajar karena ayah membawamu ketempat itu selagi kau sedang tertidur. Saat itu pihak Kepolisian datang di tengah malam dan menjemput para warga yang terjebak di rumah mereka masing-masing dan membawa kita untuk mengamankan diri ke kamp mereka!" jelas sang ayah.      

     Siska pun mengangguk-angguk kepalanya paham, penalarannya saat itu memang masih sangat terbatas.      

     "Lalu, apakah Paman tahu di mana yayasan panti asuhan yang menjadi salah satu markas organisasi massa itu?" tanya Davine. Ia sangat butuh jawaban dan kepastian di mana letak bangunan itu berada.      

     "Sayangnya tidak, mereka menyembunyikan informasi itu!" jawab lelaki paruh baya itu.      

     "Sial!" maki Davine, ia menghentakkan salah satu kakinya ke lantai ruangan. Ia pikir kali ini ia dapat mendapati di mana bangunan yang sedang ia, Hanna, dan Siska cari itu berada.      

     "Apa Paman benar-benar tak mengetahui di mana letak tempat itu?" tanya Davine memastikan.      

    "Sekali lagi, sayang sekali. Paman tidak mengetahuinya!" jawab lelaki paruh baya itu.      

     "Jika begitu, apa paman tahu di mana letak yayasan panti asuhan lain yang terdapat di kota ini?" kini Davine merubah pertanyaannya.      

     "Tidak, tidak ada satupun yayasan seperti itu yang berdiri di kota ini!" jawab lelaki paruh baya itu tegas.      

     "Tunggu dulu, mengapa bisa kota ini tak memiliki satupun yayasan seperti itu. Bukankah itu adalah hal penting untuk dimiliki sebuah kota?" tanya Hanna.     

     Sesuai apa yang telah mereka telusuri selama ini, baik Hanna maupun Davine, mereka memang tak pernah mendapati informasi tentang adanya yayasan panti asuhan lain di kota itu. Tentu saja ini adalah sesuatu yang sangat janggal bagi mereka.      

     Menjawab pertanyaan dan rasa penasaran itu, sang lelaki paruh baya segera menjelaskan mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Normalnya sebuah kota memanglah memiliki setidaknya satu tempat atau yayasan guna menampung anak-anak yatim dan gelandangan di dalam sebuah kota, tentu itu adalah sebuah kewajaran. Namun hal itu tidak terjadi di kota itu dikarenakan tragedi yang baru saja lelaki paruh baya itu ceritakan sebelumnya. Sampai saat ini anak-anak yang dilaporkan telah menghilang itu memang tak pernah ditemukan dan terdengar kabarnya, tentu saja bersama menghilangnya sang pemimpin organisasi massa dan para petingginya itu. Hal ini menjadi trauma tersendiri bagi para warga kota, walau waktu telah berlalu, hingga saat pihak Pemerintah mulai mencoba membangun dan membuka yayasan seperti itu guna menunjang fasilitas kota, namun karena rasa trauma yang dimiliki oleh masyarakat membuat mereka tak lagi berani menitipkan anak-anak mereka. Bahkan para gelandangan yang notabene mengalami kesulitan dalam menghidupi anak-anak mereka pun enggan menerima tawaran itu, dan untuk para anak yatim, mereka lebih memilih untuk hidup dan tinggal bersama kerabat mereka yang masih tersisa.      

     "Proyek didirikannya yayasan itu gagal total. Bagaimana mungkin mereka mendirikan yayasan penampungan seperti itu sedangkan mereka tak memiliki satu anak pun untuk mereka tampung!" jelas lelaki paruh baya itu.      

     "Jadi itu sebabnya di kota ini tidak memiliki yayasan penampungan seperti itu!" tanggap Hanna. Tampaknya hal itu sudah cukup untuk menjawab setiap pertanyaan yang bersarang di otaknya selama ini.      

     Tragedi genosida itu setidaknya memakan hampir setengah populasi kota, wajar saja mengingat bagaimana organisasi massa itu berkembang dengan sangat pesat pada saat itu. Jumlah anggota mereka memang terbilang sangat masif, organisasi massa tersebut bahkan hampir berhasil merekrut setiap warga yang berada di kota itu dengan doktrin manis mereka. Walau ada juga beberapa yang memutuskan untuk tak bergabung secara langsung, namun mereka tetap memberikan dukungan mereka dari luar.      

      Butuh beberapa waktu untuk menstabilkan kondisi kota saat itu. Mayat-mayat yang berjatuhan sebab tragedi genosida itu dikubur secara massal di beberapa titik yang sekiranya memiliki lahan luas guna menyemayamkan jasad-jasad tersebut.      

     Perbatasan kota telah ditutup secara penuh saat bentrokan itu terjadi, membuat para wartawan dan pemburu berita tak bisa mendapatkan informasi sedikitpun. Kasus itu segera ditutup secara penuh. Berkas-berkas yang terkait akan tragedi itu segera dimusnahkan. Hal inilah yang membuat Hanna tak dapat menemukan berkas tentang laporan anak-anak hilang yang dulu pernah diterima oleh pihak Kepolisian pada saat itu.      

     "Davine, bukankah kau juga berada di kota ini saat tragedi itu terjadi?" tanya Siska. Ia tak menanyakan hal itu kepada Hanna sebab ia tahu jika saat itu Hanna telah pindah untuk tinggal di kota lain.      

     "Ya itu benar. Jika aku ingat lagi rasanya aku memang pernah mendengar suara dentuman keras yang berasal dari kota, namun …." Davine tampak berpikir dan mencoba menggali ingatannya.      

     "Di mana kediamanmu saat kejadian itu terjadi?" potong sang ayah dari Siska.      

     "Saya tinggal di sekitar utara sedikit menjorok ke barat daya kota ini, hampir berbatasan dengan hutan yang mengelilingi kota!" jawab Davine.      

     "Wajar saja kau tak mengetahuinya, tentu kau juga masih sangat muda saat itu!" tukas lelaki paruh baya itu.      

     Davine segera mengangguk-angguk kepalanya membenarkan hal itu, namun apa maksud lelaki itu mengatakan jika itu adalah hal yang wajar, pikir Davine.      

     "Wajar?" tanya Davine mengambang.      

     Sang lelaki paruh baya pun segera menjelaskan jika tragedi itu dulu berlangsung di sekitar kota bagian tengah, timur, dan selatan saja. Sedangkan bagian lainnya seperti utara dan barat tidak masuk ke dalam area konflik itu terjadi.      

     "Saat itu kau berada di zona aman!" jelas lelaki paruh baya itu.      

     Davine yang sedari tadi juga mencoba menggali ingatannya itu kini mulai mendapatkan titik di mana tragedi itu terjadi di dalam ingatannya. Seingatnya dulu ketika ia masih berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun ia memang pernah menanyakan perihal dentuman keras yang kerap terdengar dari arah pusat kota itu pada sang ibu, namun saat itu Monna mengatakan jika itu hanyalah sebuah pelatihan militer yang sedang dilakukan oleh pihak Pemerintah kota. Davine juga kini mengingat jika aktivitas sekolahnya pernah dihentikan untuk sementara waktu dan para guru juga melarang mereka untuk keluar rumah pada waktu tersebut. Jelas jika itu adalah upaya yang dilakukan guna keamanan setiap warga yang berada di kota bagian itu.      

     Kini semua rasa penasaran mereka tentang tragedi yang dulu pernah terjadi bersama kejadian menghilangnya para anak-anak di kota itu terjawab sudah. Walau saat itu Davine merasa sedikit kecewa sebab keberadaan yayasan yang mereka cari itu masih belum dapat diungkapkan keberadaannya, walau mereka telah menerima informasi penting itu dari lelaki paruh baya itu.      

     Tentu saja tragedi itu adalah hal yang seharusnya tidak boleh untuk diungkapkan oleh sang ayah dari Siska itu, namun dengan beberapa pertimbangan, akhirnya lelaki paruh baya itu memilih untuk menceritakan hal itu kepada mereka. Lagipula saat sudah sejak lama lelaki itu memendam rasa kecewa yang sangat dalam pada pemerintahan di kota itu. Bagaimanapun juga ia merasa seolah dipaksa untuk menyembunyikan bangkai yang dibuat oleh pemerintah guna menjaga nama baik mereka.      

     "Terimakasih Paman, ini adalah informasi yang sangat membantu!" ujar Hanna.      

     "Apa Paman tak mengapa menceritakan hal ini kepada kami?" tanya lelaki itu lagi.      

     Sang ayah dari Siska itu tak langsung menjawab pertanyaan dari sang keponakannya itu, ia melemparkan senyumannya terlebih dahulu sebelum mengatakan apa pendapatnya tentang hal tersebut.      

     "Ya, Paman rasa tak mengapa, lagipula bangkai yang ditinggalkan oleh pemerintah kota ini sudah terasa sangat membusuk, Paman rasa menyembunyikan baunya adalah hal yang sangat mustahil!" jawab lelaki paruh baya itu.      

     Memang sangat nahas, namun begitulah faktanya,baik Hanna, Davine, maupun Siska tak dapat berkata apa-apa. banyak hal yang memang tak pantas untuk dilakukan. Genosida bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan, namun sekali lagi dengan bertamengkan ideologi yang mereka anggap benar maka hal tersebut menjadi cukup layak untuk dilakukan, baik apa yang pemerintah kota lakukan guna mengambil alih kota dari para penduduk aslinya dulu, dan tragedi yang baru saja mereka ketahui saat itu, membuat mereka tak dapat lagi meyakini mana yang harus mereka pegang. Berpihak pada pemerintah kota yang kini mereka tahu bagaimana busuknya, atau harus menerima hal itu sebagai bentuk pengabdian mereka terhadap kota tersebut.     

          

      "Entah mengapa Paman merasakan firasat buruk untuk situasi dan kondisi kota saat ini, itu seolah kejadian itu bisa saja terulang kapan saja!" tutur lelaki paruh baya itu. Ia menatap Hanna penuh kecemasan.     

      

     Hanna membalas tatapan itu, apa yang baru saja lelaki paruh baya itu katakan adalah ketakutan terbesarnya. Ia tahu saat ini mungkin saja organisasi massa itulah yang sedang mereka hadapi, hal itu jelas tersirat dari semua petunjuk yang telah mereka dapatkan sampai saat ini.     

     "Bagaimana Hanna, apakah yang Paman katakan saat ini ada benarnya?" tambah lelaki paruh baya itu.      

     Hanna tak menjawab pertanyaan itu, ia hanya bisa menundukkan kepalanya, rasa hati ingin mengatakan jika itu tidaklah benar, namun apa yang sedang terjadi saat itu jelas mengarah tepat seperti apa yang lelaki paruh baya itu pikirkan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.