Anak Angkat

Menu Makan Malam



Menu Makan Malam

0Mobil kian melaju kencang, sementara Mesya masih terperangai melihat pisau dan heels berdarah itu.     

"Mesya, dari tadi Ibu bicara, tapi kamu tidak menjawab," Ny. Arumi masih menyodorkan coklat ke arah Mesya.     

"Ini coklatnya, Sayang," ucap Arumi lagi dengan lembut.     

Seketika Mesya mengarahkan pandangannya kepada Arumi, mulutnya tak tahan lagi untuk berbicara. Bukan membicarakan soal coklat, tapi  ingin membahas dua benda yang mencurigakan itu kepada Arumi.     

"Ibu, itu darah apa? dan itu sepatu siapa?" Suara Mesya sedikit bergetar.     

Mendengar pertanyaan Mesya, seketika wajah Arumi berubah ekspresi. Senyuman hangat itu perlahan pudar, pupil mata yang berbinar indah menjadi suram.     

Tatapan lekat, menjurus ke arah gadis kecil dengan senyum manis itu, nafas menderu penuh amarah menyertainya.     

Tentu hal itu membuat Mesya menjadi ketakutan, dia sangat menyesal sudah menanyakan hal itu.     

Jantung Mesya berdegup kencang, dia menundukkan wajah ayunya  sebagai pertanda bahwa dia sangat takut dan menyesal sudah bertanya.     

"Maaf, Bu. Mesya salah bertanya ya?" ucapnya dengan mata tak berani menatap Ibu angkatnya.     

"Jangan takut, Mesya Sayang, Ibu tidak marah kok,"     

Suara lembut penuh kasih kembali terdengar di telinganya.     

Mesya pun langsung mengangkat kepalanya, dan melihat wajah sang ibu sudah kembali normal.     

Mesya merasa sangat bingung, dia pikir pertanyaannya tadi akan membuatnya mendapatkan masalah.     

Tapi ternyata tidak. Hanya sesaat ekspresi seram seolah menerkam itu menyapanya, setelah itu, malaikat baik hati nan lembut berwujud ibu pun kembali hadir.     

Meski begitu, Mesya masih belum mengalihkan pandangan sepenuhnya dari pisau dan heels itu.     

Dia masih penasaran, karna pertanyaannya belum di jawab. Tapi meski pun begitu, Mesya tidak mau mempertanyakannya lagi. Dia takut jika ibu angkatnya akan marah, dan kembali memasang wajah menyeramkan lagi.     

"Mesya, kamu masih penasaran tentang bekas darah di sisi pisau dan sepatu heels itu ya?"     

Dan Mesya mengangguk, "Iya, Bu. Maafkan Mesya,"     

"Tidak apa-apa, Sayang. Tanyakan saja apa yang ingin kamu tanyakan, kami tidak akan marah kepadamu, karna kamu adalah kesayangan kami," Sesaat Arumi melirik ke arah Charles suaminya.     

Sebuah kode yang hanya mereka berdua saja yang mengetahui.     

"Terus, ini darah apa, Bu? Jangan bikin Mesya ketakutan. Kalian tidak habis menyakiti orang, 'kan?" ucapnya dengan tatapan gusar.     

      

"Ugh ... Mesya?" Arumi memegang kedua pipi Mesya dengan lembut, "kamu tega bicara begitu? Kami itu bukan orang sejahat itu, Sayang,"     

"Lalu, darah apa itu? Kenapa belum di jawab? Kalian tidak tahu ya, kalau Mesya takut darah?" Mata Mesya mulai berkaca-kaca.     

"Ugh, Sayang, itu bukan darah, Nak. Mesya salah paham. Karna Itu hanya noda tinta warna merah," jelas Arumi.     

Tapi dari raut wajah Mesya seolah mengisyaratkan bahwa dia belum percaya sepenuhnya.     

"Dengar Mesya, kamu jangan berpikir yang aneh-aneh ya, kami ini bukan  pembunuh, Nak," tanpa ada kata menyerah, Arumi terus meyakinkan Mesya.     

Hingga Mesya pun akhirnya mulai mempercayainya.     

Sambil terus mengelus rambut dan memeluk tubuh gadis kecil itu, Arumi menyuapi coklat yang baru saja dia keluarkan dari tasnya tadi.     

"Ini coklat, dari New Zealand, oleh-oleh dari rekan bisnis Ayahmu, coba di makan ya, rasanya enak lo," Arumi menyodorkan coklat itu di depan mulut Mesya.     

Mesya dengan ragu-ragu membuka mulutnya, karna dia tidak mau membuat Arumi menjadi tersinggung. Padahal sebenarnya Mesya tidak menyukai coklat.     

Dan setelah dia menggigit dan mengunyah potongan coklat itu, rasanya memanglah sangat enak, berbeda dengan coklat pada umumnya. Dan apa yang baru saja di ucapkan oleh Arumi memang benar, coklat itu sangat lezat.     

"Gimana? Enak, 'kan?" tanya Arumi.     

Dan Mesya mengangguk, "Iya, Bu,"     

"Baiklah, kalau begitu tolong di habiskan ya," Mesya mengangguk lagi.     

 "Sini biar, Ibu yang suapi lagi."     

Bersandar di pangkuan Arumi, Mesya mengunyah coklat itu sambil di elus rambut dan keningnya oleh Arumi.     

Kembali rasa bahagia muncul dalam relung hati gadis berusia 7 tahun itu.     

Tak terasa matanya hendak terpejam, karna rasa kantuk yang mendadak melanda. Entah itu karna dia yang saking lelah atau karna efek dari coklat yang baru ia makan.     

Melihat Mesya yang sudah tertidur pulas,  kembali Arumi melirik ke arah suaminya, dan memberikan isyarat lewat mata.     

Meski tanpa kata, tapi Charles tahu apa yang di maksud oleh istrinya itu.     

Dia pun langsung turun dari dalam mobil dan mengambil pisau, heels, serta sebuah rangsel kecil yang entah apa isi di dalamnya.     

Kemudian Charles membuang semua itu di sebuah sungai dengan arus yang deras.     

Dengan mata mengitari keadaan sekitar, Charles pun kembali memasuki mobilnya.     

"Sudah aman?" tanya Arumi dengan tatapan yang datar.     

Charles mengacungkan jempolnya, dengan senyum tipis.     

"Bagus!"     

***     

      

Tak terasa satu jam pun telah berlalu, dan mereka sampai di tempat tujuan.     

"Mesya, Mesya, Sayang ... ayo bangun, Sayang," ucap Arumi.     

Lalu perlahan Mesya membuka matanya.     

Dia kaget, karna berada di depan rumah mewah bak sebuah istana.     

"I-i-ni rumah siapa?" tanya Mesya dengan polos.     

"Ini rumah kami, Sayang, dan sekarang juga menjadi rumahmu, Nak,"     

Lalu Mesya di ajak masuk ke dalam, dan di dalam rumah itu, Mesya di sambut oleh dua anak laki-laki dengan ekspresi datar.     

"Perkenalkan, ini kedua Kakakmu, yang baju hitam David dan yang baju putih bernama Arthur." Jelas Arumi.     

Tapi mereka bertiga tidak segera mengulurkan tangannya dan malah hanya saling pandang.     

Melihat hal itu Arumi langsung membuka percakapan agar mereka bertiga bisa akrab.     

"David, Arthur, ayo kenalan sama adik baru kalian," masih dengan senyum ramah.     

Arthur tampak tersenyum mengulurkan tangannya kepada Mesya.     

"Perkenalkan namaku, Arthur, salam adik baruku yang cantik," tukas Arthur.     

Dan Mesya pun tersenyum, sambil menyambut tangan Arthur.     

Selanjutnya David juga mengulurkan tangannya, tapi berbeda jauh dengan Arthur  wajah David tampak sangat kaku, tak ada sedikit pun keramahan yang terpancar.     

Meski begitu, Mesya tetap menyambut tangan David dengan hangat dan senyuman.     

Dan setelah itu, Mesya di ajak ke meja makan, untuk makan malam bersama.     

Mesya pun langsung kaget saat melihat menu makan malamnya yang sangatlah mewah.     

Aneka daging tersaji rapi dan menarik hati, sangat berbeda jauh ketika berada di panti.     

"Mesya, ayo di makan, jangan hanya di pandangi saja," ucap Arumi sambil menaruh potongan daging berukuran besar.     

"Baik, Bu, terima kasih," jawab Mesya dengan sopan.     

"Kalau mau tambah, ambil saja, jangan malu-malu," ujar Arumi.     

"Iya, Ibu," jawab Mesya tersenyum.     

Sementara David melirik Mesya dengan sinis, dan menyadari akan hal itu, Arumi berbalik melirik David dengan tatapan yang tak kalah sinis dan sangat menyeramkan, seketika hal itu membuat David langsung mengalihkan pandangannya dan menunduk lalu fokus ke piringnya. David terlihat ketakutan terhadap tatapan ibunya itu.     

      

      

      

2 menit kemudian.     

      

"Ummp ... huek! huek!"     

Tiba-tiba saja Mesya merasa mual setelah menyantap hidangan makan malam itu, meskipun terlihat sangat lezat, tapi entah mengapa perut Mesya seolah tak dapat menerimanya, rasa dagingnya tidak seperti daging pada umumnya. Tekstur daging itu agak liat, dan tercium bau anyir,  sehingga membuat Mesya tak tahan dan ingin memuntahkannya.     

      

      

To be continued     

      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.