Anak Angkat

Bukan Gadis Murahan



Bukan Gadis Murahan

0David memegang pundak Romi, lalu meletakkan pisau karter itu kebagian dada Romi dalam keadaan melintang.     

      

"Simpan benda ini, dan gunakan kalau ada seseorang yang berani mengganggumu!" ucap David dengan tegas.     

Seketika Romi menarik nafas lega. Dia pikir, David akan menyakitnya dengan pisau itu, tapi ternyata tidak. Justru David memberikan pisau itu untuk Romi.     

      

"Ke-kenapa, Kak David memberikan pisau ini kepadaku?" tanya Romi masih terlihat ketakutan.     

"Aku tidak mau kamu terlihat lemah! Kamu sekarang adalah penjaga dari Mesya, jadi aku tidak mau kamu terlihat lemah," ucap David.     

"Lemah? Lalu mengapa harus dengan pisau? Apa Kaka, ingin aku membunuh orang?" tanya Romi.     

David tersenyum tipis. "Percayalah, setelah kejadian tadi, akan banyak sekali orang yang akan mengganggu kalian, terutama dirimu. Keluarga kami akan selalu pastikan mereka yang mengganggu Mesya akan mati. Tapi kalau kamu ...?"     

David memicingkan alisnya.     

"Kamu bukan bagian dari keluarga kami, dan kami hanya membiarkan mu hidup tidak akan melindungi mu. Jadi tolong jaga dirimu, jangan sampai membuat Mesya bersedih karna melihatmu terluka," pungkas David.     

      

Sungguh penjelasan David cukup panjang, namun sayangnya Romi masih belum terlalu paham akan hal ini.     

'Apa maksud dari ucapan, Kak David?' batin Romi.     

      

"Baik, sekarang simpan benda itu dan kembalilah, bersama Mesya." Ucap David lagi.     

Lalu pria bertubuh atletis dan berwajah tampan itu pun segera meninggalkan Romi.     

      

Dengan langkah pelan dan pikiran yang terus bertanya-tanya, Romi kembali menghampiri Mesya.     

"ROMI!" teriak Mesya seraya berlari menghampiri sahabatnya itu.     

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Mesya dengan wajah yang sangat khawatir.     

"Dia tidak melukaimu, 'kan?"     

      

"Tidak, Mesya! Aku ini baik-baik saja!" tegas Romi.     

Mesya terdiam sesaat, dia merasa sangat bingung. Selalu saja seperti ini, Mesya tidak tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya.     

Dia bingung dengan apa gunanya dia hidup, dan selalu di perlakukan istimewa, namun sampai detik ini dia masih tidak tahu apa alasannya.     

      

      

Ketika memasuki kelas, seluruh pasang mata kembali menatap Mesya dan juga Romi.     

Mereka saling berbisik-bisik, membicarakan Mesya dan Romi yang berpelukan di kantin tadi.     

      

Mesya terlihat sangat tak nyaman, mereka semua sudah terlanjur salah paham.     

Dalam pandangan mereka Mesya itu adalah gadis yang murahan, yang sudah dewasa sebelum waktunya.     

      

"Mesya, apa kamu sudah sering ya melakukan hal itu?" tanya seseorang yang duduk di belakang bangkunya.     

Mesya menoleh ke arah gadis itu.     

Namanya Juwita, dia adalah ketua kelas di sini.     

      

"Juwita, aku dan Romi itu tidak paca—"     

"Mesya, tingkahmu tadi membuat kami semua menjadi tahu, bahwa Mesya si anak yang baru kelas satu SMP itu ternyata bukan gadis baik-baik!" cerca Juwita seraya tersenyum sinis meledeknya.     

"Apa maksud kamu?! Aku dan Romi itu sudah seperti saudara! Kami selalu bersama-sama sejak kecil!" tegas Mesya.     

"Oh, ya? Tapi ku rasa tidak seperti itu!"      

"Apa maksud kamu?"     

"Kamu tidak usah munafik Mesya! Aku yakin kalau kamu itu sebenarnya hanya gadis murahan yang sudah sering berbuat tidak senonoh dengan Om-om kaya, makanya kalau sekedar berpelukan dengan pacarmu di depan umum itu sudah biasa!" ucap Juwita yang asal tuduh.     

"Hay! Kamu itu jangan asal bicara! Atas dasar apa kamu menuduhku serendah itu?!" protes Mesya.     

Juwita kembali tersenyum sinis, sejak awal dia bertemu dengan Mesya memang dia sudah tidak menyukai Mesya.     

Mesya sangat cantik  dan menjadi pusat perhatian. Semua orang di sekolah ini mengelu-elukan Mesya, gadis manis berlesung pipit itu seperti seorang dewi.     

Sedangkan dia yang merasa juga tak kalah cantik dan cerdas seperti Mesya, malah terabaikan.     

      

Melihat Mesya yang sedang berpelukan dengan Romi tadi, bisa menjadi sebuah alasan bagi Juwita untuk menjatuhkan Mesya.     

      

"Kenapa? Kamu tidak terima ya?" tanya Juwita.     

Mesya pun menjadi naik pitam, karna tuduhan Mesya ini benar-benar melampaui batas. Dia hanya asal bicara dan menuduhnya yang tidak-tidak.     

Bahkan karna ucapannya, seisi kelas jadi melihat kearah Mesya, seolah mengiyakan ucapan dari Juwita.     

"Sudah, Sya, lupakan. Biarkan gadis gila itu berkata sesuka hatinya," ucap Romi yang berusaha menenangkan Mesya.     

"Tapi ini keterlaluan! Aku ini anggota keluarga Davies! Keluarga kaya-raya yang terhormat! Bagaimana bisa gadis ini asal bicara bahwa aku adalah gadis murahan yang di bayar oleh lelaki hidung belang!" pungkas Mesya yang kesal.     

Sedangkan Juwita masih tersenyum-senyum saja. Gadis itu tampak senang melihat Mesya marah seperti ini, dan kalau sampai Mesya terpancing lebih dalam lagi, maka Juwita bisa memperburuk citra baik Mesya di depan teman-teman sekelasnya.     

      

"Aku tidak percaya tuh, kalau mereka itu orang tua kandungmu. Bisa jadi, 'kan kamu itu hanya anak pungut atau kamu saja yang mengaku-ngaku!" ucap Juwita.     

"DIAM, KAMU!" bentak Mesya.     

"Ooops ... hahaha hahah!"     

Mesya segera mendorong tubuh Juwita, hingga terjatuh.     

"Stop, Mesya! Tolong hentikan!" sergah Romi yang mencoba melerai pertengkaran itu.     

Seisi kelas kembali melihat kearah Mesya.     

      

"Hai! Kalian lihat, 'kan! Ternyata gadis cantik berwajah malaikat ini adalah iblis! Dia sudah mendorongku! Dia kasar dan sangat murahan!" teriak Juwita.     

"Stop! Dasar Tukang Fitnah! Jangan bicara sembarangan kamu!" bentak Mesya.     

Lalu Mesya bertolak pinggang dengan nafas tersengal menatap Juwita.     

Dan tepat saat itu, Bu Lula, si kepala sekolah mereka pun datang.     

      

"HEY APA-APAAN INI?!" teriak wanita paruh baya itu.     

"Dia mendorong ku, Bu! Dia sudah menindasku! Hanya karna aku yang mengingatkan secara baik-baik bahwa kelakuannya yang berpeluk-pelukan dengan pacarnya di depan umum itu salah!" jelas Juwita beralibi.     

"Eh, tidak begitu! Semua itu bohong, Bu Lula!" Mesya terlihat sangat panik.     

"Apa benar yang kamu ucapkan itu?" tanya Lula kepada Juwita.     

"Eh, bohong dia, Bu!" teriak Mesya,     

"Diam, Mesya! Saya bertanya kepada Juwita, bukan kepadamu!" sergah Lula.     

"Tapi, Bu Lula dia itu bohong!"     

"Diam, Mesya! Juwita, ayo ceritakan yang sebenarnya!" perintah Lula.     

Lalu dengan wajah yang seolah-olah teraniaya, Juwita bercerita.     

"Jadi, apa yang saya ucapkan itu benar, Bu Lula! Dia sangat kasar, dan dia mendorong ku hingga terjatuh, kalau tidak Pertanya tanya saja kepada mereka semua!" ucap Juwita.     

"Apa benar, Mesya mendorong Juwita hingga terjatuh?!" tanya Lula kepada seluruh siswa dan siswi di kelas.     

Dan mereka membenarkannya, karna mereka memang melihat kalau Mesya mendorong Juwita. Meski mereka tidak begitu paham dengan persoalan mereka berdua sebelumnya.     

Dan bahkan saat Lula bertanya tentang Mesya yang memeluk Romi pun juga mereka benarkan, karna memang banyak orang melihat hal itu, dan masih menjadi perbincangan panas, meski lagi-lagi mereka tak tahu di balik cerita itu sebenarnya.     

Hal itu semakin menyudutkan Mesya saja.     

Lalu mereka berdua di bawa ke ruangan kepala sekolah.     

      

"Aduh, bagaimana ini?" Romi tampak sangat bingung, sepertinya mereka akan mendapatkan masalah setelah ini.     

Apalagi dia juga takut kalau keluarga Mesya akan memarahinya.     

Karna kejadian ini, Mesya mendapatkan hukuman, membersihkan toilet sendirian.     

Sedangkan Juwita malah di bebaskan, gadis itu memang sangat pandai bersandiwara.     

Sehingga membuat Lula si kepala sekolah percaya kepadanya.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.