Anak Angkat

Masih Belum Tahu



Masih Belum Tahu

0"Kalian mau apa?! Dan kenapa ponsel, Kak Yosi bisa bersama mu?!" tanya Juwita.     
0

      

"Oh, soal itu. Yosi tak sengaja menjatuhkan ponselnya jadi aku memungutnya," jawab Arthur sambil tersenyum selengean.     

      

Lalu Juwita pun terdiam, jantungnya berdegup kencang. Juwita sangat ketakutan, dia tak menyangka keluarga Davies sampai datang dan mengeroyoknya seperti ini.     

Tanpa berbasa-basi lagi, Arthur mendekat dan langsung menutup wajah Juwita dengan sebuah karung     

Juwita terus meronta-ronta, namun anehnya di taman yang biasanya sangat ramai orang itu menjadi sangat sepi sekali, seolah sudah di persiapkan oleh para keluarga Davies.     

      

Mereka membawa Juwita ke sebuah gudang yang cukup jauh dari taman itu.     

Tapi Juwita tak melihatnya, wajahnya tertutup oleh sebuah karung goni, hingga dia sampai kesulitan bernafas.     

      

"Tolong lepaskan aku! Kalian ini membawaku kemana sih!?" teriak Juwita.     

Lalu Arthur membukanya. "Sudah sampai, Nona Juwita," ucap Arthur seraya tersenyum.     

      

Juwita tampak sangat kebingungan, dia berada di tempat yang sangat asing.     

"Ini di mana? Dan mengapa kalian melakukan ini semua terhadap ku?" tanya Juwita.     

"Haha! Kami melakukan ini, karna semua salahmu!" jawab Arthur lagi.     

Sementara keluarga yang lain hanya terdiam melihat Juwita yang keheranan dan ketakutan itu.     

      

"Juwita, apa kamu sudah menyadari kesalahan kamu?" tanya Arthur.     

"Aku tidak tahu apa salahku! Makanya ayo cepat kalian katakan kepadaku!" ucap Juwita.     

"Wah, di usia sebelia ini, tapi gadis ini sudah pandai bersandiwara. Kamu memang berbakat, Sayang," tukas Arumi seraya membelai rambut Juwita.     

Dan Juwita terdiam saja tak berani berkata lagi.     

      

"Kamu sudah menyakiti putri kami, berarti kamu harus siap menjadi permainan keluarga kami!" sahut Charles.     

"Tapi ... bagaimana bisa kalian menuduhku seperti itu, kalian, 'kan tidak melihatnya!?" tanya Juwita.     

"Kami melihatnya! Dan bukan hanya kamu, kepala  sekolah itu juga akan menjadi permainan kami!" ucap Arumi.     

"Hah?! Apa maksudnya!? Bahkan saat, Kak Arthur bertanya kepada Mesya, dia pun juga tidak berkata kalau aku menyakitinya, 'kan?!" tanya Juwita lagi.     

"Benar! Karna Adik Cantikku, itu tidak akan mau ada orang yang mati karna kami, meski seorang gadis licik sepertimu sekalipun!" tegas Arthur.     

      

'Jadi, tadi Mesya, diam itu karna ingin melindungi ku dari keluarganya?' batin Juwita.     

      

Dan mereka semua sudah mempersiapkan semua senjata dan alat-alat mereka. Arumi dan Charles memegang pisau, sedangkan Arthur dan David masing-masing membawa kapak kecil.     

      

"Eh tunggu! Kalian mau apa?!" tanya Juwita yang ketakutan.     

"Apa lagi? Ya jelas kami akan membunuhmu! Lalu menguliti dan mengambil dagingmu!" jawab Arthur.     

Sedangkan David hanya terdiam seraya menatap Juwita dengan tajam.     

"Apa?! Kalian akan melakukan tindakan sekejam itu kepadaku?!"     

"Tentu saja, Sayang," ucap Arumi, lalu Arumi pun mendekat dan mengelus rambut Juwita lagi.     

"Sebenarnya aku sangat tidak tega melihat gadis seusia putriku, harus mati begini, tapi ya mau bagaimana lagi. Kamu itu gadis jahat, yang akan tumbuh menjadi wanita dewasa yang lebih jahat lagi! Jadi ... sebaiknya kamu mati hari ini," tutur Arumi.     

      

      

Mendengarnya Juwita terus meronta-ronta mencoba melepaskan tali di tangannya lalu berlari.     

Namun  semua itu tak berhasil, karna pintu yang sudah terkunci rapat, dan juga di dalam, keluarga Davies sudah mengepungnya.     

      

      

Ini peristiwa terburuk dalam hidup Juwita, sebelumnya Juwita tak pernah membayangkan akan ada peristiwa menyeramkan seperti menimpanya, dia tak menyangka jika keluarga  Davies, yang di kenal sangat dermawan  dan terhormat itu ternyata adalah keluarga psikopat.     

Dia pikir hanya sekedar mengganggu Mesya saja, dia tidak akan pernah mendapat balasan seperti ini.     

      

      

"AAAAH! TOLONG!"     

Crok!     

Buak!     

Jlup ... jlup....     

      

Terdengar suara gaduh dari luar, teriakan memekik dan teriakan rintih kesakitan dari mulut Juwita sangat jelas, namun suara itu tak bertahan lama, hanya sekitar kurang lebih 10 menitan saja.     

      

 Dan tak lama David keluar dengan membawa kapak di tangannya, lalu melempar kapak itu ke sembarang arah.     

      

Klontang!     

      

David pun menunduk sambil mencuci tangannya yang penuh dengan bercak darah, dan setelah itu, dia pergi meninggalkan gudang.     

      

Tak lama disusul oleh Arthur, yang juga keluar dan mencuci tangannya hingga bersih, sampai tak terlihat lagi bercak darah yang tadi mengotori tangan dan wajahnya, namun masih ada noda di bagian pakaian.     

Arthur membuang kaos yang dia kenakan, lalu menggantinya di dalam mobil.     

Dan di dalam mobil sudah ada David yang tengah duduk terdiam dengan wajah dinginnya.     

      

"Aku tahu kau itu selalu melakukannya dengan terpaksa, David," bisik Arthur.     

David menolehkan wajahnya ke arah Arthur.     

"Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan nama? Kenapa bukan dengan sebutan 'Kaka' saja?" tanya David.     

"Ah, hanya masalah kecil, tidak perlu di perbesar, 'kan?" tanya balik Arthur.     

"Baik, kalau begitu aku akan mengulangi ucapan ku, Kak David," ucap Arthur sambil tersenyum selengean.     

      

David memalingkan wajahnya dari pandangan Arthur, lalu dia menatap tajam ke depan.     

Dan tak lama kedua orang tua mereka datang, terlihat Arumi membawa satu keresek besar berwarna hitam, sedangkan Charles juga membawa dua kantung keresek besar yang juga berwarna hitam.     

      

"Hey kalian! Seenaknya pergi, tanpa membantu kami!" teriak Charles.     

Lalu Arthur pun keluar dari dalam mobil.     

"Baik, Ayah! Aku akan membuka bagasi belakangnya!" sahut Arthur.     

Namun David sama sekali tak keluar dari dalam mobilnya.     

      

Tak berselang lama mobil melaju sangat kencang, dan meninggalkan gudang itu.     

      

Di ke esokkan harinya, kembali terdengar berita duka yang tersebar di sekolah mereka.     

Juwita si ketua kelas 7B, telah meninggal dengan cara yang tragis.     

Tentu saja berita itu membuat seisi sekolah menjadi gempar, mereka tidak menyangka Juwita yang terkenal cerdas dan periang itu sudah tiada.     

      

Mesya sangat syok mendengarnya, dia menangis di pundak Romi, dia tak peduli meski yang lain melihatnya sekalipun, namun nampaknya mereka juga tak peduli  karna terfokus menceritakan kejadian yang menimpa Juwita.     

      

      

'Selalu begini, orang yang berbuat salah kepadaku, pasti akan tertimpa hal buruk, bukan hanya buruk tapi sangat buruk. Tuhan ... sampai kapan Mesya harus  begini? Dan sampai kapan Mesya bidup dalam ketidak tahuan?' bicara Mesya di dalam hati.     

      

"Sudah, Mesya. Jangan menangis, dia kan sudah jahat kepadamu," ucap Romi.     

"Iya, Rom, tapi tidak harus mati dengan seperti ini 'kan?"     

"Iya, tapi ini, kan juga bukan salahmu," jawab Romi.     

Dan Mesya terdiam sesaat, apa yang di katakan Romi itu sepertinya salah.     

Romi dan David sepertinya sering berbicara berdua saja, membicarakan tentang hal yang tidak ketahui oleh Mesya, tapi meski begitu, Romi juga masih belum tahu sepenuhnya tentang keluarga Davies yang sesungguhnya.     

Jika keluarga ini adalah keluarga yang memiliki rahasia besar dan menyeramkan. Walau Mesya sendiri juga masih belum yakin.     

Tapi kejadian buruk seperti ini sudah terjadi dan hampir tak terhitung lagi berapa jumlahnya.     

      

"Sudah, Mesya, jangan menangis ini mungkin sudah takdir bagi Juwita," ucap Romi lagi menenangkan Mesya.     

      

      

      

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.