Anak Angkat

Firasat



Firasat

0Kematian Denias benar-benar sudah menggemparkan sekolah, bahkan karna hal ini Marry menjadi tak tenang, dia tak menyangka jika Denias bernasib tragis seperti ini.     

Semua orang mengira jika Denias meninggal karna kecelakaan, dan tak tahu jika pristiwa itu adalah kecelakan yang sengaja di buat oleh Arumi.     

"Marry, ayo masuk! Kenapa malah melamun?"     

Marry tersentak mendengar ucapan sang ibu.     

"Iya, Bu," jawabnya dengan pelan.     

Rasanya begitu berat untuk memasuki gerbang sekolah, terlebih saat mengingat apa yang telah diucapakan Selsa, pada waktu itu.     

Salsa, meminta kepada Marry agar segera pindah dari sekolah ini, bahkan Salsa sampai mengajak Marry untuk ikut tinggal bersamanya di luar kota.     

Tapi Marry menolak, karna kedua orang tuanya yang tak mengizinkan Marry pindah ke Surabaya bersama Salsa.     

Lagi pula Marry juga tidak bisa menjelaskan dengan lugas apa alasannya tidak betah berada di sekolah ini sehingga memilih pindah bersama Salsa.     

Jelas-jelas di sini adalah sekolah paling elit dan tak ada yang menandingi di negara ini.     

"Marry, Ibu pulang dulu ya, dan cepat masuk serta jangan membuat masalah apa pun lagi!" ujar sang ibu.     

"Tapi  aku ini tidak membuat masalah apa pun, Bu?"     

"Ya  kalau tidak membuat masalah bagaimana bisa kau jatuh dari tangga  lantai atas?" sindir sang ibu.     

Marry pun hanya terdiam dan mendengar ucapan ibunya karna kalau dia melawan yang ada ibunya hanya akan semakin marah kepadanya. Karna sikap sang ibu sangat keras terhadap Marry.     

"Jangan banyak melawan dan ayo cepat masuk kelas, waktumu di sekolah ini tidak lama, hanya beberapa bulan saja kau akan lulus!" cantas sang ibu.     

Dan dengan langkahnya yang agak sedikit ragu, Marry memasuk gerbang.     

Masih terngiang-ngiang bagaiamana rasanya saat dia jatuh dari tangga, bagaiamana bercak darah mengotori baju Denias, serta gambaran raut wajah malangnya yang ketakutan.     

Jauh dari lubuk hatinya yang terdalam, Marry sangat menyesali perbuatannya waktu itu, dia sudah menuduh Denias yang sudah membunuh para kucing-kucing liar, padahal pembunuh yang sebenarnya adalah Arthur.     

'Mungkin kalau waktu itu, aku tak menaiki tangga, dan tak  menuduh Denias sembarangan, pasti Denias masih hidup sampai sekarang, dan aku tidak akan ketakutan dan hidup tak tenang seperti ini.' bicara Marry di dalam hati.     

"Kak Marry!" sapa Mesya dari belakang.     

"Mesya?"     

"Aku senang, Kak Marry, sudah kembali ke sekolah, itu artinya kesehatan Kak Marry sudah pulih," tukas Mesya.     

"...."     

"Kita ke kantin yuk!" ajak Mesya, tapi Merry masih terdiam.     

Tak sedikitpun dia merespon ucapan Mesya.     

"Kak, sejak tadi Kak Marry, diam saja, apa ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Mesya.     

"Hufft ...." Marry menghela nafas berat.     

Lalu dia menatap Mesya dengan sorot mata yang tajam.     

"Tidak ada yang salah dari ucapanmu, Mesya ... tapi yang salah adalah kehadiranmu," ucap Marry.     

"Kehadiranku?"     

"Ya,"     

"Tapi, Kak—"     

"Cukup, Mesya. Tolong menjauh dariku, aku tidak mau berurusan dengan keluarga Davies. Apa kau mau aku akan bernasib sama seperti, Denias?"     

"Apa maksudnya? Denias itu meninggal karna kecelakaan, apa hubungannya denganku?" sangkal Mesya.     

"Yah, dia memang mati karna kecelakaan, tapi sebelumnya kita semua tidak ada yang tahu, 'kan?" ketus Marry.     

Mesya pun hanya terdiam.     

"Yah, semua memang salahku karna sudah menyebar vidio bodoh itu, sehingga membuat Denias yang menjadi tersangka. Padahal pembunuh yang sesungguhnya bukan dia, tapi Arthur!" tegas Marry.     

Mesya sampai membuka mulutnya karna kaget, mendengar ucapan Marry.     

Rupanya Marry sudah tahu jika pelakunya adalah Arthur.     

"Apa lagi yang, Kak Marry, tahu?" tanya Mesya.     

"Aku tidak tahu, tapi aku sangat yakin, jika keluargamu yang sudah menyembunyikan Denias dan menyekapnya.     

Aku pun juga yakin jika kematian Denias, bukan murni karna kecelakaan!" pungkas Marry.     

Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mungil seorang Andrea Mesya. Semua ucapan Marry meski hanya dugaan, tapi nyatanya memang benar adanya.     

Pantas saja Marry begitu aneh saat melihatnya.     

"Mesya, aku tahu kau adalah gadis yang baik. Tapi aku mohon Mesya, jauhi aku. Biarkan aku hidup tenang di sekolah ini, aku hanya menunggu beberapa bulan saja hingga aku lulus," ucap Marry dengan nada randah dan suara yang menahan emosi.     

Lalu Marry berlalu pergi meninggalkan Mesya yang masih mematung.     

Gadis cantik dengan bulu mata lentik itu hanya menatap kepergian Marry dengan mata yang sayu.     

Tak sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya.     

Dia juga tak bisa menghentikan Marry agar tetap di sini dan mau menjadi teman sekaligus kakak untuknya lagi. Karna Mesya tahu, tak baik bagi siapa pun untuk tetap dekat dengannya.     

Hanya saja, Mesya menyayangkan harus kehilangan Marry si kakak kelas yang baik hati itu.     

"Aku memang tak pantas, untuk hidup dengan siapa pun. Zahra, Denias, dan sekarang Kak Marry juga meninggalkan ku." Gumam Mesya.     

"Tenang, Mesya. Ada Aku yang masih setia bersamamu," ucap Romi seraya menepuk pundak Mesya dari belakang.     

"Romi, kau sudah datang?"     

"Iya,"     

"Sejak kapan kau berdiri di sini?"     

"Baru saja, aku melihatmu yang melamun sambil berbicara sendiri. Aku harap jangan lakukan itu lagi, Mesya. Itu membuat orang akan memperhatikanmu dan akan membicarakanmu," tukas Romi mengingatkan Mesya.     

"Memangnya kenapa kalau mereka memperhatikanku?"     

"Kau tahu, jika mulut mereka terus bergosip tentangmu yang ada, mereka semua akan mendapatkan kesialan dan nasib buruk," tukas Romi menjelaskan.     

"Baik, Romi. Terima kasih banyak karna sudah mengingatkan aku,"     

"Sama-sama, Mesya. Ayo bersikap biasa saja dan mari masuk ke kelas," ajak Romi seraya merangkul pundak Mesya.     

***     

'Aku masih berpikir tentang kematian Denias, apa benar dia itu meninggal karna kecelakaan? Atau ini memang benar-benar rekayasa dari keluargaku? Seperti yang diucapkan oleh, Kak Marry tadi?"'     

Sepanjang hari itu perasaan Mesya benar-benar tak tenang.     

Dia bertahan di kelurga Davies karna mengikutinya ucapan Arumi pada waktu itu.     

Jika masih ingin melihat orang-orang di sekitarnya hidup termasuk Denias, maka Mesya harus tetap menjadi anak yang patuh dalam keluarganya.     

"Mesya!" Dari kejauhan David memanggil.     

'Kak David, yah ... mungkin aku bisa membicarakan hal ini bersamanya,' Mesya segera berjalan cepat mendekati David.     

"Kaka, juga sudah pulang?" tanya Mesya berbasa-basi.     

"Iya, kelasku pulang lebih awal karna para guru sedang ada rapat penting," jawab David.     

"Apa yang sedang menggangu pikiranmu?" tanya David.     

Dia mengetahui jika adiknya sedang tidak tenang, David dapat membaca dari raut wajah Mesya.     

"Iya, Kak. Aku memang sedang tidak tenang karna aku masih memikirkan kematian, Denias," jawab Mesya.     

"Memangnya ada apa dengan anak itu?" tanya David.     

Mesya menghela nafas sesaat, "Huft ... apa, Kak David benar-benar yakin jika bukan keluarga kita yang membunuhnya?" tanya Mesya.     

" ... tidak!" jawab David.     

"Tapi, bisa saja kalau keluarga kita yang membunuh, Kak!"     

"Kalau memang yang membunuh keluarga kita, harusnya aku tahu, karna aku pasti turut andil dalam pembunuhan itu," jawab David.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.