Anak Angkat

Pura-pura Tidak Tahu



Pura-pura Tidak Tahu

0Puas sudah Mesya mengobrol bersama dengan Lia, hari ini dia dapat melepaskan kerinduannya bersama wanita yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya ini.     

Dan kalau bisa memilih, Mesya akan memilih tidak pulang dan tetap berada di sini bersama dengan Lia.     

Meski rumahnya tak semewah rumah Arumi, dan kasih sayangnya tak berlebihan seperti Arumi, tapi setidaknya dia bisa merasakan kasih tulus sesungguhnya dari Lia. Tapi keadaan yang memaksanya untuk pulang, dia harus kembali menjadi keluarga Davies, dan menjadi anak yang penurut di keluarga itu.     

Ini bukan hanya masalah tanggung jawab yang sedang ia pegang, tapi juga masalah keselamatan Bunda Lia. Bisa melihat Lia masih hidup dan dapat memeluknya saja Mesya sudah bahagia, dia tidak mau kalau sampai Lia juga turut menjadi korban atas kebrutalan keluarganya seperti yang lainnya.     

"Bunda, sudah sore, aku harus pulang sekarang," tukas Mesya.     

"Iya, Mesya, hati-hati di jalan ya," ucap Lia.     

"Baik, Bunda," Mesya kembali memeluk Lia sebagai salam perpisahan.     

"Kalau ada waktu jangan lupa mampir kesini lagi ya," bisik Lia di telinga Mesya.     

Mesya mengangguk sambil tersenyum, lalu dia berlalu pergi.     

Mesya pulang mengendarai motor bersama dengan David, sedangkan Marry pulang menaiki mobil bersama dengan Romi, mereka berdua diantarkan oleh sopir pribadi keluarga Romi.     

***     

Sore itu kembali turun hujan. Sehingga membuat Mesya dan David terpaksa mencari tempat untuk berteduh.     

Sebuah kafe bernuansa klasik menjadi pilihan mereka untuk menunggu hujan reda.     

"Kita berhenti di sini ya," tukas David.     

"Baik, Kak," jawab Mesya.     

Mereka duduk di salah satu bangku yang tersedia.     

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Mesya dan David saling mengobrol.     

"Kak, terima kasih ya, sudah mempertemukan aku dengan, Bunda Lia," ucap Mesya.     

"Iya," jawab David seraya tersenyum dan mengelus atas rambut adiknya.     

"Oh iya, Kak. Aku punya sesuatu,"     

"Apa itu?"     

Mesya mengeluarkan benda kecil dari dalam tasnya.     

"Ini untuk, Kak David," ucap Mesya seraya menyodorkan gelang berwarna hitam yang terbuat dari benang wol. Dan ada lambang huruf 'M' serta lambang huruf 'D' sebagai hiasan gelang itu.     

"Apa ini?" tanya David.     

"Haruskah aku menjawabnya?" Mesya mengernyitkan dahinya, "itu gelang, Kak David!" tegas Mesya.     

David sedikit tersenyum, "Iya aku tahu ini gelang, tapi—"     

"Gelangnya jelek ya?" tanya Mesya dengan raut yang kecewa.     

"Aku tidak bilang begitu kok, malah aku ingin bilang kalau gelang itu bagus," ujar David.     

"Benarkah?" seketika kedua mata Mesya berbinar-binar.     

"Iya, ini lumayan bagus. Kau yang membuatnya sendiri?" tanya David, dan Mesya pun menganggukkan kepalanya.     

"Iya! Kak, kau tahu tidak aku semalam sampai tak tidur gara-gara membuat gelang ini untuk, Kakak,"     

"Kenapa bisa begitu? Hanya untuk membuatkan benda seperti ini, tidak perlu sampai harus menyita waktu istirahatmu, Mesya," tukas David.     

"Aku melakukan hal ini, karna aku ingin membuatkan sesuatu untuk, Kak David,"     

"Tapi, kau bisa membeli saja, dari pada harus membuatnya. Lagi pula apa pun darimu pasti akan kusimpan kok, walau itu bukan hasil karya tanganmu," ucap David.     

"Tidak bisa begitu, Kak David! Kalau hanya membelinya saja, itu tidak ada perjuangan. Tapi kalau aku membuatnya sendiri itu terasa lebih istimewa. Aku membuatkan sesuatu yang istimewa untuk orang yang istimewa," jelas Mesya.     

"Kau itu selalu saja mengajariku tentang suatu hal. Terima kasih ya, aku akan memakainya," tukas David sambil tersenyum dia segera melingkarkan gelang itu di bagian pergelangan tangannya.     

Tentu saja Mesya sangat bangga melihat David menyukai gelang buatanya.     

"Sangat cocok di tangan, Kakak," ucap Mesya sambil tersenyum.     

"Benarkah?"     

"Iya!"     

"Kalau boleh tahu kamu belajar semua ini dari mana?"     

"Aku belajar di internet, Kak,"     

"Wah, berapa lama kau mempelajarinya?"     

"Tidak lama kok, ini gampang hanya 4 hari saja hehe ...!"     

"Itu cukup lama, Mesya!"     

"Haha, bagiku itu sangat singkat, Kak!"     

"Ah, dasar kau ini!"     

Tak lama makanan sampai dan hujan pun juga reda.     

Selesai makan malam, mereka melanjutkan perjalanan pulang.     

***     

Baru saja pulang, Arumi sudah menyambut putra-putribya di depan rumah.     

"Kalian, hampir saja pulang telat," tukas Arumi seraya melipat kedua tangannya.     

"Maafkan kami, Bu. Jalanan macet," jawab Mesya.     

"Benarkah? Kalian tidak sedang berbohong, 'kan?" sindir Arumi.     

"Ti-ti-tidak! Bu, aku berbicara jujur, memang jalan sedang macet, serta hujan yang turun lebat yang memaksa kami untuk berteduh," jelas Mesya.     

"Sayang, Ibu tahu kalau baru saja turun hujan, tapi hujan itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar satu jam. Kalau kalian pulang lebih awal dari tempat latihan, pasti kalian tidak akan telat," tutur Arumi.     

Mesya tak mau kalah begitu saja dengan Arumi.     

Dia terus mencari alasan untuk menyangkal tuduhan Arumi.     

"Bu, kami memang telat, karna selesai latihan aku mengajak Kak David untuk pergi ke kafe dulu, jadi maafkan aku, Bu," ujar Mesya.     

"Apa kau yakin jika kau yang memintanya?" desak Arumi, "bukan, David, yang memintanya?"     

"Bukan, Bu!" tegas Mesya.     

"Bu, ini salahku, tolong jangan salahkan, Kak David, ya ... aku mohon ...," pinta Mesya.     

"Baiklah, karna ini memang permintaanmu, aku bisa memakluminya, tapi kalau ini karna permintaan David, Ibu tidak akan mengampuninya!" ujar Arumi.     

"Baik, Bu, terima kasih,"     

Lalu mereka pun masuk ke dalam rumah, dan pergi ke kamar masing-masing.     

Arumi melihat kearah David dan Mesya yang kian menjauh, sebenarnya dia itu tidak percaya dengan pengakuan Mesya, tapi dia tidak mau memarahi anak kesayangannya itu.     

"Ibu, tahu kamu itu sedang berbohong, Sayang. Tapi Ibu tidak mau berbuat kasar kepadamu, termasuk memarahimu," gumam Arumi.     

"Sayang!" panggil Charles yang baru saja pulang.     

"Hey, kau dari mana saja, Charles?"     

"Kau lupa ya, Sayang? Kalau aku ini baru saja menuruti perintahmu," jawab Charles.     

"Jadi kau tadi benar-benar mengikuti mereka?"     

"Tentu saja,"     

"Lalu kemana mereka pergi?"     

"Mereka pergi ke rumah mantan pengurus panti," jawab Charles.     

Arumi menajamkan pandangannya.     

"Ternyata dia masih hidup?"     

"Iya, dia masih hidup," jawab Charles.     

"Heuh! Dasar, Wanita Sialan! Kali ini aku tidak akan membiarkan dia hidup lagi!" tegas Arumi penuh emosi.     

"Sayang, kita tidak perlu membunuhnya, Sayang," tukas Charles.     

"Loh, memang kenapa? Dia berani muncul di hadapan putri kita, itu artinya, dia siap mati!"     

"Tapi wanita itu sudah hampir mati, Sayang,"'     

"Benarkah?!"     

"Iya, wanita itu sekarang sedang sakit-sakitan, tidak seru kalau membunuh orang yang sudah hampir mati!" jelas Charles.     

"Tapi—"     

"Ayolah, Sayang, masih banyak manusia yang lebih sehat untuk kita bunuh!"     

"Tapi sudah habis kesabaranku untuk wanita itu, Charles! Sejak dulu dia berusaha mengusik putri tercinta kita!"     

"Ya sudah, itu terserah kau saja, Istriku Sayang,"     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.