Anak Angkat

Harus Berpisah Lagi



Harus Berpisah Lagi

0"Percayalah, Bunda, cepat tinggalkan rumah ini, aku ingin Bunda, tetap hidup, meski aku tak bisa bersama dengan, Bunda," pinta Mesya.     

"Tapi, bagaimana caranya, Mesya, hanya di kota ini aku memiliki kerabat. Kau tahu, 'kan sekarang aku ini sakit-sakitan, jika aku jauh dari para kerabatku bagaimana jika aku sakit? Siapa yang akan menolongku?" tanya Lia.     

Mesya terdiam sesaat, sambil memikirkan jalan keluar untuk Lia.     

"Bunda, tetap harus pindah, tinggal di luar kota saja, Bunda! Nanti aku akan membayar asisten rumah tangga dari uang jajanku!" ujar Mesya dengan wajah yang serius.     

"Tidak bisa begitu, Mesya. Bunda tidak mau menyusahkanmu," ucap Lia.     

"Bunda, tidak menyusahkan aku, jusru kalau Bunda, tidak pergi dari rumah itu, Bunda akan menjadi beban pikiranku! Jadi aku mohon dengarkan aku, Bunda,"     

"Mesya, kamu memang anak yang baik," Lia memegang pundak Mesya, "tapi, Bunda, tidak mau kamu bersusah payah menyisakan uang jajanmu hanya untuk, Bunda. Bunda ingin tinggal di sini saja, Mesya," ujar Lia.     

"Bunda, harus pindah dari sini, Bunda jangan pikirkan aku, lagi pula uang jajanku itu lebih dari cukup untuk membayar seorang asisten rumah tangga untuk, Bunda," jelas Mesya.     

"Tapi—"     

"Bunda. Aku tidak rela, Bunda, mati di tangan keluargaku, kalau Bunda, masih tak mau mendengar ucapanku, salamanya aku akan marah kepada, Bunda! Aku tidak mau mengenal, Bunda Lia, lagi!" ancam Mesya.     

Meski Lia terus menolak permintaan Mesya, tapi gadis cantik itu terus memaksa Lia agar mau meninggalkan rumah ini.     

Mesya terus merengek dan dia juga menceritakan ulang segala kejadian menyeramkan yang pernah menimpa orang-orang yang pernah berbuat salah kepadanya.     

Dari mulai kematian bocah nakal yang bernama Dodi, kematian Juwita dan Lulla serta yang lainnya.     

Dan mereka semua mati dengan cara yang mengenaskan. Mesya sengaja menceritakan ini semua agar Lia menjadi jera. Dan memikirkan jalan apa yang sudah Mesya katakan ini.     

Dan perlahan, Lia, mulai luluh. Dia menuruti perintah Mesya.     

Masih teringat betul bagaimana kejadian kebakaran itu begitu mencekam. Kematian anak panti yang sangat menyeramkan dan luka batin akibat cemooh orang terhadap wajahnya yang cacat.     

Lagi pula di rumah ini dia juga hanya tinggal sendirian, hanya saja dia memiliki kerabat di sini, tapi tetap saja mereka itu berbeda rumah. Yang artinya tidak bisa setiap detik menjaganya.     

Di kota ini atau di mana pun dia tinggal, sama sekali tidak ada bedanya, dia tetap sendiri.     

Mungkin dengan membayar seorang asisten rumah tangga atau suster yang bisa menjaganya tidaklah sulit, toh dia juga masih memiliki tabungan dan beberapa aset peninggalan suaminya yang bisa ia jual.     

"Baik, Mesya. Bunda, akan menuruti permintaanmu," tukas Lia.     

"Benarkah, Bunda?!" Kedua mata Mesya langsung berbinar.     

"Iya, Mesya," jawab Lia.     

"Syukurlah, Bunda!"     

Mesya sangat bahagia mendengar Lia mau menuruti permintaannya.     

Ini artinya Lia bisa selamat dari kejaran Charles.     

Mesya tidak akan mau memaafkan dirinya sendiri jika dia gagal menyelamatkan Lia.     

"Bunda, sekarang apa rencana, Bunda? Kemana tujuan, Bunda, pergi?" tanya Mesya.     

"Aku akan pergi ke Singapura, Mesya. Di sana aku memiliki rumah warisan dari suamiku. Meski rumahnya sangat kecil dan sederhana, tapi setidaknya aku bisa hidup tenang di sana. Lagi pula mana mungkin keluarga Davies, akan mengejarku sampai ke Singapura!" ujar Lia dengan penuh percaya diri.     

Mesya turut bersemangat mendengarkan penjelasan dari Lia.     

"Syukurlah, Bunda, aku turut bahagia mendengarnya ... dan aku akan menyisihkan uang jajanku untuk kebutuhan, Bunda, di sana," ucap Mesya dengan penuh antusias.     

"Tidak usah, Mesya. Simpan saja uangmu. Aku masih punya uang untuk kebutuhanku di sana, lagi pula suamiku meninggalkan banyak warisan kepadaku, hanya saja selama ini aku tidak mepergunakannya. Aku ingin pulang ke rumah orang tuaku, untuk mengenang masa kecilku dulu, meski mereka sudah tak ada lagi di dunia ini.     

Tapi dengan tinggal di rumah ini, aku bisa merasakan kasih sayang mereka yang masih tertinggal di sini. Dan di sini pula aku tak banyak melihat anak-anak, karna memang rumahnya yang terpencil. Karna jujur aku masih merasa trauma melihat anak-anak kecil yang berkeliaran. Karna hal itu membuatku teringat dengan anak-anak panti," tutur Bunda Lia.     

"Ya, aku dapat merasakan apa yang, Bunda, rasakan saat ini. Memang uang bukan segalanya, kemewahan pun juga tak ada artinya, jika dibandingkan dengan semua kenangan indah yang terlewatkan. Kita tak bisa membelinya dengan uang, Bunda," tutur Mesya.     

"Mesya, Bunda, akan merindukanmu," ucap Lia sambil membelai rambut Mesya.     

"Aku juga, Bunda. Semoga Bunda, baik-baik di sana, dan doakan aku untuk menyelesaikan tugasku, setelah itu aku akan menemui, Bunda," ucap Mesya.     

"Yah, walau aku tak begitu setuju dengan tugas dari orang tua angkatmu itu, tapi aku akan selalu mendoakanmu, Mesya. Semoga kau berhasil, dan kita masih diberikan umur panjang untuk berkumpulan lagi," ucap Lia penuh harap.     

"Iya, Bunda. Aku pun berharap begitu," Mesya merangkul pundak Lia.     

"Jaga kesehatan, Bunda. Aku ingin jika kita diberi kesempatan lagi, Bunda dalam keadaan sehat, aku ingin mengajak Bunda, jalan-jalan," pinta Mesya. penuh harap.     

"Demi putri tercintaku ini, aku akan melakukan segalanya, agar bisa kembali pulih dan menjadi wanita yang sehat serta kuat, Mesya. Agar bisa bertemu dan memeluk putri tercintaku ini," ucap Lia     

"Janji ya, Bun," Mesya mengacungkan jari kelingkingnya.     

Dengan senang hati Lia menyambutnya, dia juga menempelkan jari kelingkingnya di jari kelingking Mesya.     

Mereka berjanji untuk pertemuan yang masih belum jelas kapan tepatnya. Mereka berharap Tuhan akan menakdirkan mereka bertemu kembali dalam keadaan yang berbahagia.     

***     

"Bunda, aku harus pulang sekarang, Bunda!" ujar Mesya yang tergesa-gesa.     

"Tapi ini malam sekali, Nak! Ibu tidak mau kamu pulang sendirian malam-malam begini, berbahaya?" ujar Lia.     

"Tapi, aku takut mereka akan menyadari jika aku sudah meningalkan rumah tanpa sepengetahuan mereka!"     

"Tapi, ini sudah malam, Mesya! Bunda khawatir kalau melihatmu pulang sendirian, dan Bunda tidak mungkin kalau mengantarkanmu sampai rumah!" ujar Lia.     

"Tapi, Bun... bagaimana dengan tali rahasiaku?"     

"Tali rahasia?" Lia mengernyitkan dahinya.     

"Iya, Bunda, aku tadi turun dengan menggunakan tali yang terbuat dari selemut," jelas Mesya.     

"Apa, tali itu masih menggantung di depan rumah?" tanya Lia yang syok.     

"Iya, Bunda! Aku takut ketika Ayah pulang nanti melihat tali yang menjuntai di tanah, lalu dia akan menyadari jika aku sudah pergi meninggalkan rumah!" jawab Mesya.     

Lia juga turut panik mendengar hal situ, tapi dia teringat dengan kata-kata Mesya yang kemarin, jika satu-satunya orang yang paling baik dalam keluarga Davies adalah David, yang artinya sudah pasti David akan membantu Mesya.     

"Mesya, kenapa kau tidak menelepon David, dan segera bicara kepadanya untuk menyingkirkan tali dari depan rumahmu," usul Lia.     

"Ah, Bunda Lia, benar! Aku akan segera menelepon Kakak," ucap Mesya.     

Gadis itu segera merogoh saku celananya.     

"Astaga, Bunda!" Masya kembali panik.     

"Ada apa, Mesya?"     

"Ponselku ketinggalan Bunda?"     

"Ah, tenang pakai saja ponsel milikku, Mesya," Lia menyodorkan ponsel miliknya kearah Mesya.     

"Syukurlah, untung saja aku juga hafal nomor ponsel, Kak David," Mesya segera meraih ponselnya dan segera menghubungi David.     

Beberapa saat kemudian panggilan tersambung.     

Dengan tergesa-gesa Mesya menjelaskan permasalahannya kepada David. Dan dia juga menyuruh David agar segera menyingkirkan tali yang tergantung dari kamar Mesya.     

David tanpa berpikir panjang juga langsung menuruti apa yang diperintahkan oleh adik tirinya itu.     

[Mesya, aku sudah menyingkirkan tali yang telah kau buat itu, kau sekarang aman, dan tolong jaga dirimu baik-baik di sana. Jangan lupa besok kau harus pulang lebih pagi, aku akan menjemputmu,] ujar David.     

"Baik, Kak, terima kasih ya," ucap Mesya.     

Dan segera menutup panggilannya.     

Kini Mesya bisa merasa tenang karna David sudah membereskan semua.     

Malam ini dia bisa merasakan kebersamaan dengan Lia.     

"Bunda, malam ini aku akan tidur bersama, Bunda. Aku ingin dipeluk Bunda, seperti dulu, aku sangat rindu," ujar Mesya sambil tersenyum penuh harap.     

Lia menyambutnya juga dengan sebuah senyuman.     

"Iya, Sayang, Bunda juga rindu saat-saat seperti dulu. Tidur bersamamu dan Romi, serta para anak-anak panti yang lainnya," ujar Lia.     

Mereka tidur dalam satu ranjang, sebelum tidur, Lia menghidupkan alarm, agar Mesya tidak bangun kesiangan.     

Karna kalau sampai telat, Mesya akan dalam bahaya, tentunya juga nyawa Lia yang akan menjadi taruhannya.     

"Bunda, sudah menghidupkan alarm, sekarang kau harus tidur," ucap Lia.     

"Baik, Bunda," Mesya memeluk tubuh Lia seperti anak kecil.     

"Bunda, bisa tidak membacakan cerita untukku?"     

"Tapi kau, 'kan sudah besar, Mesya?"     

"Iya, aku tahu, Bun. Tapi aku rindu akan hal itu?"     

"Baiklah, Bunda masih ingat dengan cerita-cerita yang dulu sering Bunda bacakan ketika di panti,"     

Lia menuruti permintaan Mesya, dia membacakan dongeng, yang dulu sering ia bacakan ketika berada di panti asuhan. Selain Mesya yang rindu akan hal ini Lia pun juga rindu.     

Mendengar cerita dongeng yang di bacakan oleh Lia, membuat Mesya mulai tertidur lelap. Dongeng itu menuntunnya kedalam mimpi indah.     

Lia pun juga terlelap, kehadiran Mesya membuat jiwanya merasa tenang.     

Ini adalah perpisahan yang menegangkan sekaligus perpisahan yang indah.     

Mereka bisa menghabiskan waktu bersama, walau hanya satu malam.     

Esok Lia harus mengurus paspor dan berkas lainnya.     

Malam ini adalah terakhir baginya bersama Mesya, tapi entah atas dasar apa? Lia merasa yakin jika suatu saat dia dan Mesya akan dipertemukan kembali.     

***     

Tidur nyenyak dan mimpi indah mulai terusik dengan suara jam weaker yang membangunkan mereka.     

"Ah, sudah saatnya!" Mesya segera bergegas pulang ke rumah. Karna kalau sampai telat sedikit saja dan ketahuan oleh sang ibu bisa berbahaya.     

"Bunda, aku harus pulang sekarang Bunda!" ujar Mesya.     

"Iya, Mesya, hati-hati ya," ujar Lia.     

"Baik, Bunda!" Mesya mencium punggung tangan Lia. Dan setelah itu dia pergi begitu saja meningalkan Lia.     

Dia tak berani menatap wajah Lia, karna takut air matanya akan kembali terjatuh.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.