Anak Angkat

Hidup Yang Kelam



Hidup Yang Kelam

0Satu bulan telah berlalu, kini Lizzy sudah sembuh dari sakitnya.     

Tak disangka gadis itu sembuh lebih cepat dari perkiraan.     

Dan hal itu membuat Lizzy merasa senang, karena dia bisa kembali mencium aroma luar.     

Berada di kamar selama sakit terasa membosankan bagianya.     

"Mesya, aku akan pergi ke luar sekarang," ujar Lizzy.     

"Memangnya kamu mau pergi kemana?" tanya Mesya.     

"Aku akan pergi ke rumah, Kak Salsa,"     

"Ada apa? Kelihatanya penting sekali?"     

"Pokoknya ada ... lah ... lagipula Kak Salsa sudah lama tidak datang kemari, aku jadi rindu kepadanya," tukas Lizzy.     

"Iya, juga sih ...." Mesya sedikit tersenyum masam.     

'Kak Salsa, tidak pernah datang kemari, mungkin karena dia tidak enak dengan Kak Arthur, dan Kak Celine. Waktu itu, 'kan mereka sempat bertengkar gara-gara salah paham kepada Kak Salsa!' bicara Mesya di dalam hati. Tetapi dia tidak mau menceritakan ini kepada Lizzy.     

Waktu itu Lizzy tidak tahu tentang masalah ini, karena dia yang masih terbaring di kamarnya.     

"Ah, yasudah Lizzy, hati-hati di jalan! Dan salam buat Kak Salsa, ya!" tukas Mesya seraya melambaikan tangannya.     

"Iya, Mesya!" jawab Lizzy seraya berlalu pergi.     

****     

Lizzy merasa sangat senang pagi ini, setelah berada di dalam kamar untuk waktu yang cukup lama ... akhinya dia dapat menghirup udara segar.     

Di tambah lagi cuaca cerah pagi ini benar-benar membuat Lizzy berubah ceria. Tentunya dia bisa melanjutkan pencarian Satria.     

Dalam angannya selalu berharap akan ada keajaiban, dan dia dapat dipertemukan lagi oleh Satria.     

Dia satu-satunya teman yang ia miliki di dunia ini.     

Perkara Satria masih mau menerimanya atau tidak, Lizzy sama sekali tak perduli. Yang terpenting bagi Lizzy dia dapat bertemu lagi.     

"Kalau Kak Satria, benar-benar ada di kota ini, dan tinggal di sekitar sini ... aku yakin pasti bisa bertemu dengannya!" bicara Lizzy sambil tersenyum yakin.     

Lizzy menghentikan sejenak langkah kakinya, lalu dia memandang kearah langit, tampak biru, dengan sedikit awan putih yang bergerombol bagaikan kapas. Sejenak pikiran gadis itu mulai terbawa ingatan di masa lalu.     

Dulu, dia sering menghabiskan waktu bersama dengan David.     

Mereka tidur di rerumputan taman rumah mereka yang cukup luas.     

Suasana persis hari ini, di pagi hari yang sangat cerah.     

'Kak David, lihat awan itu ... dia terbang, mirip seperti kapas ...!" tukas Lizzy seraya menunjuk kearah langit.     

"Iya," jawab David dengan datar.     

"Kak David, kalau besar nanti Kakak ingin menjadi apa?"     

"Aku?"     

"Iya, Kak David!"     

"Aku tidak tahu, dan sepertinya aku tidak punya cita-cita," jawab David begitu pasrah.     

"Kak David, kenapa tidak memiliki cita-cita? Bukankah kita itu harus memiliki cita-cita? Kata Guru Taman Kanak-kanakku, kita itu harus menggantungkan cita-cita setinggi mungkin," tukas Lizzy menasehati David.     

Namun anak lelaki itu hanya menarik bibirnya sedikit, sehingga tampak senyum yang terpaksa.     

"Nyatanya aku memang tak memilki cita-cita, dan untuk apa hidupku ini pun aku juga tidak tahu," tukas David dengan raut wajah yang datar.     

"Tapi kenapa? Dan apa Kak David, tidak pernah bercerita kepada Ibu? Tentang apa keinginanan, Kakak?" tanya Lizzy.     

"Tidak."     

"Kenapa?"     

"Karena aku tahu jika Ibu dan Ayah tidak akan mendukungku,"     

"Tapi Ibu selalu mendukungku ... dan kata Ibu aku boleh menjadi apapun ketika dewasa nanti, yang terpenting aku tetap harus menjadi anak yang penurut," ujar Lizzy.     

"Iya, itu khusus dirimu, Lizzy. Tidak untuk aku dan Arthur, "     

"Loh, memangnya ada apa dengan kalian? Ibu juga menyayangi kalian, kan?"     

"Aku rasa tidak."     

"Tapi—"     

"Lizzy, bisa tidak kita membahas hal lain saja, karena aku tidak suka membahas hal ini," pinta David.     

Dan Lizzy pun akhirnya terdiam. Saat itu dia belum tahu jika David dan Arthur itu tumbuh di bawah tekanan.     

Lizzy juga tidak tahu jika mereka selalu mendapatkan siksaan apabila melakukan kesalahan. Bahkan walau hanya kesalahan kecil sekalipun.     

Lain halnya dengan Lizzy, yang tidak pernah sekalipun mendapatakan perlakuan kasar dari kedua orang tuanya. Karena bagi mereka anak perempuan di rumah itu bagaikan seorang putri yang harus diperlakukan dengan sebaik mungkin, berbeda jauh dengan anak lelaki yang harus menjadi kuat, dan tak jarang mereka melatih dengan kekerasan agar para anak lelaki mereka terbiasa akan hal itu.     

Lizzy sering melihat luka memar di tubuh David, dan juga Arthur, namun mereka tidak pernah menjelaskan dari mana luka-luka itu bisa muncul di tubuh mereka.     

Seingat Lizzy, mereka akan mengalami luka-luka memar setelah keluar dari ruangan rahasia.     

Sayangnya Lizzy yang masih terlalu kecil dan polos, belum memahami akan hal itu. Jika sebenarnya David dan Arthur itu baru saja mengalami siksaan.     

Dan Lizzy merasa jika dulu hidupnya sangat sempurna, memiliki orang tua yang sangat menyayanginya, dan memiliki seorang Kakak sebaik David.     

Yah ... walau hubungannya dengan Arthur tidaklah baik.     

Namum setidaknya dia merasa sangat beruntung akan hal itu.     

Dibandingkan kehidupannya setelah terbebas dari Wijaya.     

Benar-benar seperti neraka bagi Lizzy.     

Bahkan Lizzy tak lagi merasakan kasih sayang dari orang tuanya seperti dulu. Semua sudah berubah, namun Lizzy bersyukur, dengan kehidupannya sekarang.     

Dia sudah tahu betapa busuknya kedua orang tuanya.     

Dan dia mengerti bahwa luka yang selalu ia liat di tubuh David serta Arthur, adalah karena ulah orang tuanya.     

Lizzy sekarang juga sudah tahu, apa alasan orang tuanya dulu yang menganggapnya seperti Tuan Putri di keluarga Davies, dan hal itu karena mereka dulu ingin menjadikan Lizzy sebagai senjata untuk mengalahkan Wijaya.     

Dengan menjodohkan Lizzy dengan Satria.     

Namun kenyataannya, Wijaya jauh lebih cerdik, dia menculik Lizzy, lalu memberikan jiwa Lizzy kepada Iblis. Di saat itulah posisi Lizzy digantikan oleh Mesya, yang pada akhirnya menuntunnya untuk menikah dengan Satria. Bukan hanya kehidupan Lizzy yang hancur, tetapi juga kehidupan Mesya. Bahkan Mesya juga harus melupakan cita-citanya di masa kecil.     

Ingatan tentang masa lalunya membuat suasana pagi yang cerah dan ceria ini, seperti mendung di hatinya.     

Segala penderitaan telah ia lalui bersama dengan para saudara-saudarinya.     

Lizzy pun berhenti dan duduk di bawah pohon rindang di pinggir jalan.     

Dia kembali memandang langit biru dengan hiasan awan putih bagaikan kapas.     

Kedua matanya mendadak sayuh, tak berbinar, dan secerah tadi.     

"Tuhan, kiranya aku ikut berdosa akibat ulah orang tuaku, aku mohon ampuni aku ... dan berilah aku kesempatan hidup yang lebih baik. Aku dan para saudara-saudariku juga ingin bahagia," bicaranya dengan raut wajah yang datar. Dalam hatinya berharap, bahwa doa itu akan terkabul.     

Lizzy mencoba tersenyum untuk melihat indahnya pagi ini. Dia berusaha membuang bayangan kelam yang pernah mengusiknya.     

Namun sayangnya di balik senyuman itu, muncul buliran air mata yang terus menetes. Nyatanya hati tetap tak bisa berbohong. Dia bersedih akan nasib hidupnya.     

Beberapa saat kemudian Lizzy tersentak dengan adanya seseorang yang menepuk pundak belakanganya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.