Anak Angkat

Perjuangan Arthur



Perjuangan Arthur

0"Celine, apa yang sebenarnya terjadi? Dan siapa yang sudah menculik putra kita?!" tanya Arthur dengan nada tinggi penuh emosi.     

Dengan suara lemah dan sengaja dipaksakan untuk berbicara, Celine menjawab pertanyaan Arthur.     

"Tiga orang pria berbadan besar, Arthur! Mereka yang telah menculik anak kita!"  jawab Celine.     

"Sialan!" pekik Arthur sambil menggebrak meja.     

"Bagaimana ini, Arthur? Aku takut terjadi hal buruk kepada putra kita!" Celine menangis sesenggukan hingga tak sanggup berkata-kata lagi     

Tubuhnya melemah seakan tidak ada daya.     

Pikirannya masih tentang keberadaan Langit yang sama sekali tidak ia ketahui.     

Sebagai seorang Ibu tentu hatinya begitu hancur saat mendapati anak yang selalu ia rawat dan ia kasihi tiba-tiba menghilang. Terlebih ia menghilang karena di culik.     

"Di mana putraku, Tuhan?!" teriak Arthur. Beberapa detik kemudian Arthur terdiam, dan seperti tengah teringat akan suatu hal.     

"Ayah, dan, Ibu?" ucap Arthur, kemudian Arthur meraih ponsel dari sakunya, "aku harus menghubungi Lizzy terlebih dahulu!"  ujarnya.     

Tetapi ketika  ia berusaha menghubungi Lizzy, gadis itu malah tak mengangkat ponselnya.     

"Arthur, mungkin kita harus ke kantor polisi sekarang," usul Celine.     

"Tidak, Celine! Mungkin ada baiknya aku harus ke rumah orang tuaku!" ujar Arthur.     

"Aku ikut, Arthur!" pinta Celine.     

"Tidak usah, Celine! Kau di rumah saja! Kau itu sedang sakit, pasti kepalamu juga masih pusing, 'kan?"     

"Aku memang masih pusing, dan tubuhku juga masih lemas, tapi, demi putraku aku bisa berubah menjadi kuat!" ujar Celine penuh yakin.     

Akhirnya Arthrur pun mau menuruti permintaan Celine untuk ikut bersamanya ke rumah ke kelurga Davies.     

Sebenarnya Arthur juga tidak terlalu yakin jika orang tuanya yang telah menculik putra tercintanya itu, terlebih mereka sudah berjanji bahwa tidak akan menjadikan cucunya sebagai tumbal.     

Dan selama ini mereka juga selalu memperlakukan Langit dengan baik. Bahkan mereka sangat memanjakannya. Tak jarang mereka selalu memberikan barang-barang mewah untuk cucu tercintanya itu.     

Tetapi mengingat malam ini adalah malam bulan purnama, membuat Arthur menjadi curiga kepada orang tuanya.     

Bisa saja jika selama ini kebaikan mereka hanyalah kebaikan palsu yang sengaja  mereka ciptakan untuk menutupi perbuatan buruk mereka. Pasti ada maksud tertentu.     

Arthur, juga teringat akan hal-hal buruk yang selalu mereka lakukan pada orang lain.     

Mungkin ini juga berlaku bagi dirinya. Orang tuanya itu sangatlah licik, hanya berpura-pura baik bukanlah hal yang mustahil. Mereka itu adalah orang-orang yang pandai bermanipulasi.     

"Sial! Kenapa aku  tidak berpikiran sampai ke sana?!" pekik Arthur. "Dan kenapa aku bisa menjadi pria sebodoh ini, Astaga!" Arthur begitu  kecewa kepada dirinya sendiri.     

Den Celine hanya terdiam sambil memandangi suaminya yang sedang murka itu. Dia juga tidak tahu harus berbuat apa?     

Arthur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan sesaat melihat ke luar jendela.     

Tampak bulan yang kini mulai menyingsing ke ufuk barat.     

Arthur melihat kearah arlojinya, dan rupanya sudah  lewat tengah malam.     

Yang artinya apabila Charles, dan, Arumi, benar-benar sudah menjadikan Langit sebagai tumbal, itu artinya Langit sudah tidak bisa terselamatkan lagi.     

Karena Ritual itu, dimulai tepat tengah malam, sementara sekarang sudah hampir dini hari.     

Kali ini Arthur benar-benar sudah putus asa. Hanya saja dia ingin membuktikan  apakah benar jika orang tuanya yang telah menculik Langit.     

Dan apa bila benar, maka Arthur tak segan  akan menghabisi mereka.     

Tapi jauh dari lubuk hati Arthur yang terdalam, dia sangat berharap agar penculik itu bukan orang tuanya sendiri. Melainkan orang lain. Bahkan kalau pun yang menculik para penjahat kelas kakap pun, Arthur juga tak perduli, selama keadaan Langit masih baik-baik saja maka Arthur yakin pasti bisa merebutnya kembali.     

"Arthur, kau lihat apa?" tanya Celine. Dia pemasaran mengapa sang suami terus memperhatikan bulan sambil melamun dengan raut wajah yang kacau.     

Tetapi Arthur sama sekali tak menanggapi pertanyaan dari istrinya itu. Dia kembali fokus kearah kemudinya.     

Bukanya Arthur sengaja mengabikan Celine, hanya saja pikirannya memang sedang tertuju pada satu titik, yaitu keselamatan anaknya.     

Ckit!     

Mobil pun berhenti tepat di depan gerbang keluarga Davies.     

Mereka keluar dengan tergesa-gesa.     

"Ayo, lebih cepat lagi, Celine!" ajak Arthur. Dia menarik tangan istrinya dengan kasar.     

Arthur sampai lupa dengan kondisi sang istri yang baru saja mengalami trauma akibat pukulan  para pria suruhan Charles tadi.     

"Akh ...," Celine memegangi kepalanya yang masih pusing. Mungkin ini akibat dia yang berjalan setengah berlari.     

"Kau, kenapa?" tanya Arthur.     

Celine menggelengkan kepalanya. Dia tak mengatakan kepada Arthur jika kepalanya itu masih terasa pusing.     

"Maafkan aku, Celine! Aku sudah menarikmu dengan kasar," kata Arthur. "Kau tidak apa-apa?" tanya Arthur sekali lagi.     

"Tidak." Jawab Celine.     

***     

Arthur menekan bel pintu rumah itu hingga beberapa kali, namun sayangnya tak ada respon dari para pengguni rumahnya.     

Arthur semakin kesal, dia kembali menekan tombol bel pintu berkali-kali. Bahkan cara ia menekan tombol bel pintu itu cukup kasar, seperti hendak memukul seseorang.     

"Ah, sial!" umpatnya, "kenapa mereka tidak mau membukakan pintu?!" teriak Arthur yang frustasi.     

Bahkan dia sampai menggedor-gedor pintu.     

"Sabar, Arthur  mungkin mereka sedang tidur," ujar Celine yang mencoba menenangkan Arthur.     

"Kita, bertamu di jam yang tidak tepat, Arthur," kata Celine.     

"Mereka itu tidak tidur, Celine! Mereka itu hanya pura-pura tidur hanya karena tidak mau membukakan pintu rumah!" bentak Arthur.     

Celine pun memilih diam, dia tahu jika Arthur sedang emosi, dan sebaiknya dia tidak boleh banyak bicara agar Arthur tidak bertambah emosi.     

Arthur kembali mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Lizzy.     

"Ayolah, angkat teleponnya, Lizzy!" ujar Arthur.     

Namun sayangnya Lizzy masih tak menjawab panggilanya.     

Arthur sudah tidak sabar lagi. Dia berusaha mendobrak pintu rumah itu.     

Hingga beberapa bagian tubuhnya berdarah-darah, namun pintu itu tetap tak terbuka. Pintu rumahnya sangat kuat, dan terbuat dari besi.     

"Cukup, Arthur! Jangan sakiti dirimu sendiri! Kamu tidak akan mampu membukanya!" ujar Celine menasehati Arthur.     

Arthur pun menyerah, dan dia duduk di samping pintu dengan penuh kecewa.     

"Arthur, mungkin sebaiknya kita cari di tempat lain, Sayang," pinta Celine     

"Celine, tapi aku yakin mereka yang telah menculik Langit!" ujar Arthur.     

"Arthur, itu hanya dugaanmu saja. Masih belum tentu kebenarannya, dan kalau kita di sini terlalu lama hanya akan buang-buang waktu saja," ucap Celine.     

"Sebentar lagi akan pagi, kita tunggu di sini. Aku yakin Lizzy atau siapapun pasti akan membukakan pintu," ucap Arthur dengan suara yang lemah.     

Celine, tak bisa menolaknya.     

Akhirnya mereka pun duduk di depan pintu rumah itu hingga pagi tiba.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.