Anak Angkat

Bertingkah Seperti Ratu



Bertingkah Seperti Ratu

0Jlub!     

Pisau milik Arthur mendarat di bagian lengan tangan si pria.     

"Akh, sialan!" umpatnya.     

"Paman, jangan lupa kalau pisauku itu sudah kulumuri racun lo," tukas Arthur dengan senyuman meledeknya.     

"Kau itu—"     

"Paman, aku ini sedang rindu hobiku, jadi aku minta maaf jika harus membunuhmu dan temanmu itu," ujar Arthur seraya menunjuk si pria yang sudah ia bunuh lebih dulu.     

"Jangan pikir aku akan mati hanya dengan racun ini, karna aku bukanlah pria yang lemah!" Pria itu kembali bangkit dan seakan menunjukkan kekuatannya.     

"Wah... ternyata, Paman, adalah orang yang sangat kuat rupanya," puji Arthur.     

Dan si pria tampak sudah tidak tahan lagi melihat Arthur yang sudah merendahkanya. Ini adalah penghinaan baginya.     

Dengan penuh amarah pria itu mengangkat pisaunya dan menyerang Arthur, tapi lagi-lagi Arthur tak terlihat jera, dia malah santai dan memasang badan untuk menerima serangan si pria yang bertubuh tinggi besar.     

"Mati kau!" hardiknya seraya mengayunkan pisau kearah Arthur, tapi sayangnya, belum sempat pisau mendarat, tubuhnya mendadak lemas tak terkendali, nafasnya tersendat-sendat dengan kedua mata yang mendelik, dilanjutkan kejang-kejang.     

"Kau—" teriak si pria yang memaksakan diri.     

Arthur malah tersenyum dan mendekatkan wajahnya.     

"Terima kasih, karna telah menyerahkan nyawamu kepadaku, Paman," bisik Arthur.     

Pria itu sudah tak bisa menyahuti ucapan Arthur, wajah si pria mulai memucat, dan membiru, lalu nafasnya berhenti. Pria itu sudah mati.     

Arthur tertawa dengan lantang, dia merasa sangat puas karna telah berhasil  membunuh orang.     

Ada rasa bangga tersendiri, setelah melakukan tindakan  kejam itu. Bukan hanya sekedar membunuhnya, tapi Arthur juga memotong-motong tubuh mereka.     

Bukan hanya pisau lipat yang ia bawa dan selalu disimpan di dalam saku, tapi Arthur juga membawa sebuah pisau daging yang ia taruh di dalam tasnya.     

Pelan-pelan, Arthur membuka resleting tas dan meraih benda itu.     

Perlahan  dia memotong bagian kaki si pria, lalu dilanjutkan ke bagian tangan, kepala, dan yang lainnya.     

"Aku akan pastikan tubuh kalain tidak akan bisa diidentifikasi oleh siapapun," gumam Arthur seraya mengayunkan pisaunya berkali-kali.     

Crok!     

Crok!     

Dia membacok, dan menguliti tubuh pria-pria itu, bahkan bagian wajahnya juga tak terlewatkan.     

Sengaja Arthur merusak wajah mereka agar tak ada yang tahu dan mengenal pria-pria itu.     

2 jam kemudian, Arthur belum selesai dengan tugasnya.     

Tapi mayat-mayat itu sudah tak terlihat utuh, semua sudah terpotong-potong dan bahkan sebagian tubuh hanya tersisa tulang-belulang saja.     

Sampai malam tiba Arthur masih berada di tempat yang sepi dan kumuh itu, keadaan begitu gelap, tak sedikitpun cahaya.     

Bahkan cahaya rembulan juga tak sampai turun ke bumi, karna tertutup oleh pekatnya mendung.     

Suasana mencekam tak sedikitpun membuat Arthur jera, justru suasana seperti inilah yang ia sukai, karna tak ada yang menggangu atas kesenangnya.     

Setelah membuat jasad para korbannya terlihat mengenaskan, Arthur pun beranjak pulang.     

Dengan menenteng dua pelastik besar berwarna hitam, Arthur tertawa cengengesan sepanjang jalan.     

"Ibu, dan Ayah pasti akan bangga melihatku!" ucapnya.     

***     

Arthur baru sampai di rumahnya, dan keadaan sudah senyap, nampaknya yang lain sudah tidur, hanya Arumi yang masih duduk di atas sofa.     

Dia memasuki rumah dengan pakaian yang berlumuran darah, Arthur dengan bangga memamerkan hasil tangkapannya hari ini kepada Arumi.     

"Ibu, belum tidur ya?"     

"Belum, Sayang, Ibu masih menunggumu pulang,"     

"Wah, aku sangat terharu melihat Ibu, yang telah bergadang hanya untuk menungguku pulang," ujar Arthur.     

"Tentu saja, Ibu akan melihat seberapa banyak hasil  tangkapan yang kau dapatkan,"     

"Tenang, aku tak akan mengecewakan, Ibuku yang cantik ini,"     

"Benarkah? Kau dapat berapa?"     

"Aku dapat dua, Bu! Bisakah Ibu, membantuku untuk meletakan daging-daging ini?"     

"Wah, kau hebat, Nak! Ibu sangat bangga!" Arumi meraih satu kantung pelastik  milik Arthur, "sini biar aku bantu membawanya," Arumi  membawa satu kantung  daging itu ke ruang penyimpanan, dibantu Arthur yang juga membawa satu kantung plastik lagi.     

Dari lantai atas, Mesya melihatnya, tapi Arthur dan Arumi tidak menyadarinya.     

'Kak Arthur, pulang dalam keadaan pakaian yang bersimbah darah, dan membawa dua kantung plastik... pasti dia baru saja membunuh orang,' tebak Mesya seraya mendesis kesal sambil memalingkan wajahnya.     

"Aku yakin, besok akan di temuan jasad dengan kondisi yang menyeramkan, dan itu adalah ulah, Kak Arthur," gumamnya.     

David menyentuh pundak adiknya yang sedang menggerutu.     

"Kau, belum tidur?" tanya David.     

"Eh, Kak David!" Mesya tersentak, "Kakak, mengagetkanku saja!" sengut Mesya.     

"Maaf," ucap David.     

"Kak David, sedang apa di sini?"     

"Aku tak bisa tidur, jadi aku ingin keluar rumah untuk mencari angin," jelas David.     

"Kau mau ikut?"     

Mesya mengernyitkan dahinya.     

"Aku mau, tapi kalau nanti Ibu memarahiku bagaimana?"     

"Ah, iya juga ya?"     

"Yasudah, Kak David, keluar sendirian saja, aku tidak ikut," ujar Mesya.     

"Baiklah," David meninggalkan Mesya, dan tak berselang lama Arumi keluar dari dalam ruang penyimpanan daging,  dan mendapati Mesya yang belum tertidur.     

"Hay, Sayang, kau sedang apa di situ? Kenapa belum  tidur?" tanya Arumi.     

"Aku, belum mengantuk, Bu... cuacanya sangat panas dan aku tidak bisa tidur," jawab Mesya yang memberi alasan asal-asalan.     

"Bukankah, di kamar sudah ada AC?" sindir Arumi.     

Dan Mesya pun tak bisa mengelak lagi.     

Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, dan langsung masuk ke kamarnya.     

Mesya kesal dengan perbuatan Arumi dan Arthur. Tapi sayangnya, dia tak bisa menghentikan perbuat keji ini. Mesya hanya bisa diam dan memendam sendiri kemarahannya ini.     

Jegler!     

Mesya menutup pintu kamarnya dengan kasar, dan mmenguncinya rapat-rapat.     

"Lihat, putri kesayangan, Ibu? Bukankah itu tidak sopan?" tukas Arthur.     

"Ah, biarkan saja, dia seperti itu hanya butuh perhatian kita," jawab Arumi santai.     

"Sikap macam apa itu, Bu? Kenapa masih saja Ibu membela gadis itu? Dia bahkan tak menghargai Ibu? Bukankah dalam keluarga kita ini selalu mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi anak yang penurut?"  Arthur tersenyum sinis.     

"Sementara, Mesya, adalah seorang Pembangkang!" lanjutnya.     

Arthur terus berusaha untuk membuat Arumi membenci Mesya.     

Tapi tetap saja, Arumi selalu membela putri angkatnya itu.     

"Jangan berbicara begitu, Arthur. Mesya, itu bukan pembangkang, hanya saja dia adalah gadis yang pemberani," jawab Arumi.     

"Gadis pemberani?" Arthur mengerutkan dahi dengan bibir yang memicing sinis.     

"Itu bukan pemberani, Bu! Tapi pembangkang!" tegas Arthur, kedua bola mata Arumi langsung menajam mendengar ucapan Arthur.     

Meski tahu ibunya sudah mulai marah, tapi Arthur tak peduli dan dia masih melanjutkan ucapan buruknya tentang Mesya.     

"Bu, coba pikirkan apa yang telah kucapkan ini? Lebih baik, buang saja anak gadis itu, karna dia tidak berguna, kasih sayang kalian telah dimanfaatkan olehnya, sehingga gadis itu bertingkah seperti seorang, Ratu!" pungkas Arthur.     

'Plak!'     

Arumi yang geram langsung mendaratkan tempat di wajah Arthur.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.