Anak Angkat

Wijaya Diningrat



Wijaya Diningrat

0"Ayo, cepat masuk!" sergah Charles kepada David dan Arthur.     

Kedua anak lelaki itu pun menuruti perintah sang ayah.     

Dan seperti biasa Mesya duduk di tengah-tengah antara David dan Arthur.     

Rasanya benar-benar changgung saat Arthur sudah kembali duduk di sampingnya.     

Ternyata rasa nyaman yang ia rasakan selama beberapa hari ini sudah usai. Arthur sudah kembali dan itu artinya hidupnya akan kembali dihantui dengan perasaan yang tak tenang.     

***     

Sementara itu, saat seluruh anak-anaknya berangkat ke sekolah diantarkan oleh sang suami, Arumi mulai merapikan meja makan.     

Dia memindahkan piring-piring kosong ke tempat pencucian piring. Dia mendapati kotak nasi milik Mesya.     

"Kenapa masih terasa berat? Apa dia tidak menghabiskan makanannya?" gumam Arumi.     

Perlahan Arumi membuka kotak makanan itu, dan ternyata di dalamnya ada beberapa potong daging yang tidak dimakan oleh Mesya.     

"Hah! Lagi-lagi dia tidak makan dengan benar," gumam Arumi.     

Saat ia sedang mencuci piring-piring kosong itu, tiba-tiba sang asisten rumah tangga di rumah itu datang.     

"Permisi maaf, Nyonya, jika saya datang telat," ucap wanita muda itu.     

"Tidak apa-apa, sekarang kau lanjutkan saja pekerjaanmu membersihkan rumah!" printah Arumi.     

"Baik, Nyonya. Biar saya lanjutkan saja cuci piringnya," ucap Asisten Rumah Tangga itu.     

"Tidak perlu, kau kerjakan saja yang lainnya, yang ini biar aku yang mengerjakannya," ucap Arumi.     

"Tapi, di luar sedang ada tamu, Nyonya,"     

"Benarkah? Memangnya siapa?"     

"Saya tidak tahu, tapi seorang pria tua dengan pakaian rapi dan membawa dua bodyguard," jelas Asisten Rumah Tangga itu.     

Arumi mulai penasaran dengan seseorang yang di maksud oleh Asisten Rumah Tangganya.     

Dia segera keluar dari ruang dapur.     

"Baik, lanjutkan pekerjaanku," ucap Arumi sambil menunjuk kearah tempat pencucian piring.     

"Baik, Nyonya," jawab Asisten itu.     

***     

Ketika Arumi. Sudah meninggkalan area dapur Asisten Rumah Tangga itu mulai melanjutkan pekerjaan Arumi.     

Dia membuka kotak makanan yang ada di atas piring kosong.     

"Astaga! Ini, 'kan daging?" ucapnya dengan takjub.     

"Padahal masih bagus, dan masih terasa agak hangat, tapi Nyonya, malah sudah membuangnya, sayang sekali," gumam wanita itu.     

Lalu dia mencicipi dagingnya.     

"Oh, Astaga, enak sekali," Wanita itu memakan habis sisa daging dalam kotak makanan itu. Dia tampak lahap memakannya, karna memang keadaan daging yang masih terlihat bersih dan masih berada di wadah mika kecil dalam kotak nasi itu.     

Mememang sangat di sayangkan untuk dibuang, apalagi makanannya masih bagus dan enak, terlebih di luar sana ada banyak orang tak sanggup membeli makanan semewah ini.     

"Aku habiskan saja, sayang juga kalau dibuang, dan lagi pula, Nyonya Arumi , pasti tidak akan marah," gumamnya lagi.     

Wanita muda itu sangat takjub dengan rasa daging yang berbeda, terasa lebih empuk dan nikmat. Dia belum pernah merasakan masakan daging seenak ini.     

"Daging, dari restoran mahal menang terasa berbeda ya haha ...." gumamnya sambil tertawa kecil.     

Setelah menghabiskan daging di dalam kotak nasi itu, dia mencuci seluruh piring-piring kotor.     

Dia juga melirik kearah pintu ruang penyimpanan daging, wanita itu mulai penasaran, karna selama ini dia tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruangan itu.     

"Entah mengapa aku sangat pensaran dengan ruangan itu," si wanita berjalan mendekat, dia menekan knop pintu.     

Ceklek!     

"Ah, tidak di kunci," Dia pun memasuki ruangan itu. Dia melihat ada sebuah frezer dengan ukuran besar.     

"Ini, daging?"     

***     

Sementara di ruang tamu, Arumi tampak duduk menunduk dengan wajah yang pucat.     

Ternyata seseorang yang sedang bertamu dirumahnya adalah Wijaya sang paman.     

"Kenapa menunduk terus, Arumi, keponakanku tercinta?" tanya Wijaya dengan senyuman yang penuh arti.     

"Mau apa, Paman, kemari?" tanya Arumi.     

"Ah, kau bertanya dengan wajah yang tidak bersemangat? Coba lihat kearah wajah, Paman?" pinta Wijaya dengan suara pelan.     

"Tidak!" tegas Arumi.     

"Hey, bisa tidak bicara lebih sopan kepada orang yang lebih tua?"     

"Pergi!" sergah Arumi.     

"Wuah, benar-benar tidak sopan! Kau berani mengusirku?" ledek Wijaya.     

Deru nafas Arumi kian kencang, dia tak bisa menahan amarahnya.     

Dia bosan berpura-pura menjadi orang yang lemah di hadapan Wijaya.     

"Arumi, sudah cukup lama aku tidak menengokmu, dan aku mendengar keluargamu juga semakin kaya raya, apa rahasiamu?" tanya Wijaya.     

"Kenapa, Paman, bertanya seperti itu?" sengit Arumi.     

"Aku hanya ingin tahu saja, apa itu salah?" jawab Wijaya dengan santai.     

"Sudah cukup, Paman!" Arumi berdiri menunjukkan kearah Wijaya. "Sudah cukup Paman, menghabisi keluargaku, dan juga mengambil Lizzy putri tercintaku! Jangan mengangguku lagi!" bentak Arumi.     

Sambil tersenyum tanpa rasa bersalah Wijaya bangkit dari atas sofa.     

"Kau itu berlebihan, Arumi. Paman datang kemari dengan tujuan baik, hanya ingin menengokmu. Dan ingin bertanya tentang sumber kekayanmu. Karna kupikir kau bisa kaya begini karna kau yang juga mengikuti tradisi leluhur kita," sindir Wijaya.     

'Ah, sial! Ternyata, Tua Bangka, ini mencurigaiku!" bicara Arumi di dalam hati.     

"Arumi, ayo katakan jujur, apa benar kau sekarang masih mengikuti tradisi leluhur kita?" desak Wijaya.     

"Tidak!" jawab Arumi dengan tegas, meski dia sedang berbohong terhadap Wijaya.     

Wijaya tidak boleh tahu soal dirinya yang kembali menganut ajaran leluhur.     

"Paman! Kau tahu jika sejak kecil aku ini tidak tertarik dengan hal itu, bahkan aku juga tak bisa berbuat apa-apa saat kau mengambil Lizzy untuk dijadikan tumbal! Apa kau lupa?!" tukas Arumi yang menggebu-gebu.     

"Yah, aku tahu hal itu. Aku hanya memastikan saja kalau kau itu benar-benar tidak berdaya. Aku tidak mau ada pewaris keluarga Diningrat selain aku dan keturunanku!" tegas Wijaya.     

"Paman, tenang saja! Aku tidak akan melakukan hal itu! Aku tidak tertarik dengan kepercayaan itu! Dan aku juga akan menegaskan kepadamu sekali lagi! Jika keluargaku semakin kaya-raya itu karna harta yang berasal dari keluarga suamiku, Charles Davies!" tegas Arumi.     

Sejenak Wijaya terdiam, dia seperti tidak mempercayai ucapan Arumi .     

Dia mulai berjalan untuk mengelilingi rumah Arumi, dia ingin menemukan bukti atas kecurigaannya ini.     

"Hey, Paman, mau kamana?!" teriak Arumi. Tentu saja dia tak rela Wijaya melihat-lihat isi rumahnya tanpa seizinya. Dan lagi pula hal ini juga sangat berbahaya jika Wijaya menemukan sesuatu di dalam rumah Arumi.     

"Berhenti!" teriak Arumi, dia juga berusaha untuk mengejar Wijaya agar tidak masuk lebih jauh lagi dan melihat lebih detail rumah ini. Tapi sayangnya kedua bodyguard Wijaya menghentikan Arumi, mereka menarik Arumi.     

"Kau di sini saja!" sergahnya.     

Arumi yang terlihat sangat menyeramkan dan tega membunuh siapa pun yang menurutnya pantas untuk dibunuh, tapi kini dia berubah menjadi wanita yang lemah dan tak bisa berbuat apa pun, di depan Wijaya.     

"Ini ruangan apa?" Wijaya mulai penasaran dengan sebuah pintu yang menuju ruang penyimpanan daging manusia.     

Dia sudah memegang kenop pintunya.     

Ceklek.     

Tampak seorang wanita muda sedang berkeliling di ruang itu.     

Arumi terus meronta hingga akhirnya dia berhasil melepaskan diri dari para bodyguar suruhan Wijaya.     

"Berhenti!" teriak Arumi. "Kau...." Arumi menunjuk wanita muda itu.     

Si wanita menundukkan kepalanya karna merasa bersalah sudah masuk ke dalam ruang ini tanpa sepengetahuan Arumi.     

"Maafkan saya, Nyonya. Saya sudah—"     

"Apa kau sudah merapikan ruangan ini?" tanya Arumi memotong pembicaraan si wanita.     

Dan wanita itu hanya terdiam dengan raut yang bingung, karna awalnya dia pikir Arumi akan memarahinya habis-habisan karna sudah masuk ke ruangan ini tanpa seizinya.     

"Ruangan apa ini?" tanya Wijaya.     

"Ini, bukan rumah apa-apa!" jawab Arumi.     

"Lalu kenapa ada banyak sekali lemari pendingin di ruangan ini?"     

"... iya, karna kami memiliki bisnis minuman dingin dan aku sendiri yang memproduksinya!" jelas Arumi beralibi.     

"Kau yakin? Jika di dalam kulkas itu benar-benar terdapat minuman dingin?" desak Wijaya.     

"Tentu saja! Untuk apa aku berbohong kepada, Paman!" tegas Arumi.     

"Tapi entah mengapa aku mengira jika di dalam lemari pendingin itu adalah daging manusia," tebak Wijaya.     

Seketika kedua mata Arumi menajam.     

Dia mulai gugup dan yakin kalau sebentar lagi Pamannya akan mengetahui dirinya.     

"Bukan, Tuan!" sahut si Asisten rumah tangga.     

"Hey! Kenapa kau malah ikut-ikutan?!" benarkah Wijaya.     

"Maaf, tapi saya hanya ingin membela majikan saya saja. Karna memang beliau ini adalah orang yang baik. Lagi pula mana mungkin Bu Arumi menyimpan daging manusia?" ujar Wanita itu.     

"Jangan sok tahu kamu!" sengut Wijaya.     

"Saya tidak asal bicara, Tuan. Tapi percayalah karna beliau ini memang benar-benar orang yang baik, keluarga Davies terkenal sebagai keluar kaya dan dermawan, mereka memiliki banyak perusahaan. Mana mungkin mereka memakan daging manusia?" tukas Wanita itu membela Arumi.     

Wanita itu memang berpikir jika Arumi benar-benar orang yang baik.     

Selama bekerja di rumah ini dia tak pernah sekali pun di bentak. Padahal dia itu sering berangkat telat, tapi Arumi tak pernah marah dan bahkan dia lebih sering melakukan tugas yang harusnya di kerjakan oleh si wanita.     

"Aku tidak bisa percaya begitu saja," ujar Wijaya.     

"Percayalah, Paman! Aku tidak suka dengan ritual warisan leluhur keluarga Diningrat. Bahkan kau tahu sendiri jika nama margaku itu adalah Davies, bukan Diningrat!" tegas Arumi.     

Pria itu tetap hendak menerobos masuk tapi si Asisten Rumah Tangga kembali menghentikannya.     

"Jangan masuk, Tuan! Kalau Tuan, masuk maka saya akan melaporkan Tuan, ke pihak berwajib. Karna sudah memasuki rumah orang tanpa seizin pemiliknya," ancam si wanita.     

Dan tak lama terdengar Mobil dari luar, itu adalah Charles.     

Charles di kagetkan dengan kedatangan Wijaya, dan juga pintu ruang penyimpanan daging yang terbuka.     

"Paman Wijaya! Apa yang kau lakukan di sini?!" teriak Charles.     

Dia memegang kerah baju Wijaya.     

"Ayo cepat pergi dari dari rumah kami!" sergah Charles.     

"Hey! Dasar anak tidak sopan!" bentak Wijaya terhadap Charles     

Plak!     

Wijaya mendaratkan tamparan di wajah Charles.     

"Sekali lagi kau berbicara dengan nada tinggi di hadapanku? Maka aku akan memenggal kepalamu!" ancam Wijaya.     

"Sudahlah! Tolong hentikan!" teriak Arumi. "Paman, sebaiknya pergi dari sini! Tidak ada lagi yang paman cari! Sudah cukup keluraga Subroto musnah! Tolong biarkan kami hidup. Aku berjanji tidak akan mengusik dan menjadi pesaing aliran sesatmu itu!" pungkas Arumi penuh emosi.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.