Anak Angkat

Selena Sudah Mati!



Selena Sudah Mati!

0Jantung Selena kembali berdegup kencang saat Arthur meraih kapak itu.     

Dia pikir akan selamat karena David tidak jadi membunuhnya, tapi ternyata  pria itu hanya tidak mau membunuh saja, dan selanjutnya dia tak peduli jika anggota keluarganya yang lain akan membunuh Selena.     

"Arthur, aku mohon, Arthur, tolong jangan bunuh saya ...," pinta Selena.     

"Haha! Maaf, Panipu sepertimu tidak ada kesempatan kedua!" ucap Arthur.     

"Arthur, aku mohon ...,"     

"Haha! Ucapkan selamat tinggal kepada dunia!" ujar Arthur seraya mengayunkan kapaknya.     

"Tunggu!" teriak Arumi. Arthur pun langsung menurunkan kepak itu, lalu menundukkan kepalanya, dan tanpa berbasa-basi Arumi langsung merebut kapak itu lalu mengayunkannya ke tubuh  Selena secara membabi buta.     

Crok!     

Crok!     

Crok!     

Tubuh gadis itu terpisah menjadi beberapa bagian.     

"Ibu, kenapa merebut kapakku?" tanya Arthur.     

"Kau itu tidak sopan, Arthur! Karna gadis ini, harusnya menjadi bagian Ibu!" ujar Arumi.     

"Ah, maafkan aku, Ibu," Arthur menundukkan  kepalanya.     

"Sekarang tinggal satu lagi! Aku tidak bernafsu membunuh pria lemah seperti itu!" ujar Arumi seraya menunjuk Dedi.     

"Apa aku boleh membunuhnya, Bu?" tanya Arthur.     

"Tentu saja, boleh," ucap Arumi.     

"Terima kasih, Ibu!" ujar Arthur yang tampak bahagia.     

Dan kini Dedi kembali ketakutan. Meski Dedi belum siap untuk mati, tapi dia tak ada sedikitpun perlawanan. Harapannya untuk hidup sudah tak ada, istri dan anaknya meninggal. Dedi tak sanggup hidup sendiri, apalagi dengan kondisi begini     

Dia tak sanggup jika orang-orang akan membicarakan dirinya karna kehilangan anak istri dan juga tangan.     

"Hey, Pak! Anda tidak ingin melawan kami?" tanya Arthur.     

Dia tak menjawabnya, kepalanya menunduk dengan kedua mata terpejam.     

"Wah, Anda mulai tuli ya rupanya?" sindir Arthur.     

Masih juga tak ada jawaban dari Dedi, lelaki itu tak berani menatap wajah Arthur maupun Charles.     

"Cepat bunuh saja, Arthur! Untuk apa kau mengulur-ulur waktu?!" teriak Charles.     

"Ah, pria ini tak ada perlawanan, Ayah! Rasanya kurang seru!" ujar Arthur.     

"Kalau begitu, biar Ayah saja yang membunuhnya!" sahut Charles.     

"Ah, silakan Ayah! Kalau memang Ayah, ingin melakukannya!" ujar Arthur, dan Charles pun berjalan mendekati Arthur.     

"Pakai ini, Ayah!" tukas Arthur seraya menyodorkan kapak miliknya.     

"Wah, orang ini sudah tak ada jera. Tak ada sedikit pun raut ketakutan, dari wajahnya!" ucap Charles.     

"Oleh karna itu aku enggan membunuhnya, Ayah!" ujar Arthur.     

"Yasudah! Kalau memang kalian tak mau membunuhnya biarkan Pria Lemah, ini tetap hidup!" imbuh Arumi.     

"Ah, benar juga ya! Biarkan Dia mati secara perlahan di tempat ini! Aku yakin hidupnya juga tidak akan bertahan lama karna kehabisan darah!" ujar Arthur.     

"Baiklah! Kalau begitu kita tinggal kan saja dia! Biarkan dia menangisi anak dan istrinya itu!" sergah Arumi. Arthur dan Charles pun menuruti ucapan Arumi. Mereka bertiga hendak keluar dari pintu ruangan itu, tapi Dedi memanggilnya.     

"Tunggu!" teriaknya.     

Seketika ketiga orang itu menghentikan langkahnya.     

"Ada apa?!" tanya Arthur.     

Dedi berdiri dengan tatapan tajam dan nafas tersengla-sengal.     

"Kenapa kalian tidak membunuhku?!" ujar Dedi dengan nada tinggi.     

Arumi mengernyitkan dahinya.     

"Baru kali ini ada orang yang terang-terangan minta dibunuh oleh kami? Apa alasanmu?" tanya Arumi.     

"Aku ingin kalian membunuhmu, karna aku sudah tidak punya alasan untuk hidup!" jawab Dedi.     

"Wah, alasan yang menarik juga!" Arumi memanggukan kepalanya.     

"Tapi, sayangnya kami tidak mau membunuh orang yang tak samggup melawan. Apa lagi malah pasrah begini!" Arumi mengernyit sinis, "sama sekali tak ada yang menantang!" cerca Arumi.     

Setelah itu Arumi dan yang lainnya keluar dari dalam ruangan itu.     

Kini tinggalah Dedi seorang diri.     

Dedu berjalan tertatih menghampiri jasad Selena, dan Rani, yang sudah tak berbentuk lagi.     

"Selena! Rani! Kenapa kalian tega meninggalkan, Ayah?!"     

"Kalau begini aku lebih baik mati saja, dari pada aku hidup sendiri di dunia ini!"     

Dedi memeluk tubuh istrinya yang penuh dengan darah.     

"Aku tidak sanggup hidup sendirian, aku akan menyusul kalian!" Dedi menangis histeris, lalu meraih sebuah pisau.     

"Aku akan menyusul kalian!"     

Dengan tangan yang bergetar Dedi memperkencang cengkramanya memegang gagang pisau.     

"Tunggu Ayah ya ...."     

Jlub!     

Pisau itu sudah tertancap di bagian perutnya. Kedua mata Dedi melotot tajam dengan mulut sedikit terbuka.     

Keinginannya untuk menyusul anak dan istrinya sudah menjadi kenyataannya. Kini tubuh pria itu terkulai lemas di atas lantai.     

Dia mati tepat di samping jasad istri dan anaknya.     

***     

Ckit!     

Mobil berhenti tepat di depan gerbang kediaman keluarga Davies.     

"Terima kasih untuk hari ini, Mesya," ucap Satria.     

"Iya, Kak, sama-sama! Aku juga senang bisa menghabiskan waktu bersama, Kak Satria," ucap Mesya.     

"Iya, Mesya. Dan setelah ini, kita akan lebih sering lagi menghabiskan waktu bersama setelah menikah nanti," ujar Satria.     

"Iya, Kak," Mesya membuka pintu mobil, dan Satria menghentikannya.     

"Ada apa lagi, Kak?" tanya Mesya.     

"Kau melupakan sesuatu, Mesya!" ujar Satria.     

"Benarkah?" Mesya tampak bingung.     

"Kau melupakan ini, Mesya,"     

'Cup....'     

Satria mendaratakan ciuman hangat di bibir Mesya.     

Lagi-lagi Mesya tak bisa menolaknya.     

Ciuman itu tak berlangsung lama, hanya beberapa detik saja dan Satria melepaskannya secara perlahan.     

"Yasudah, Kak Satria, hati-hati ya pulangnya," ucap Mesya.     

"Iya, Mesya," sahut Satria sambil tersenyum manis.     

Setelah itu dia keluar dari dalam mobil, sebelum memasuki gerbang, Mesya sempat melambaikan tangannya ke arah Satria.     

Tin!     

Bunyi klakson tanda perpisahan.     

Mesya masih berdiri di depan gerbang itu, dan bibirmya juga masih tersenyum memandangi Satria yang sudah kian menjauh.     

Lalu Mesya pun tiba-tiba dikagetkan oleh seseorang yang membukkan gerbang.     

Grek!     

Mesya sampai tersentak dan mengusap dadanya.     

"Kak David, aku terkejut," tukas Mesya.     

"Kelihatanya kencanmu sangat seru ya?" sindir David.     

"Asataga Kak David! Lagi-lagi kau cemburu ya?"     

"Hey, siapa yang cemburu! Aku tidak cemburu tuh!" David berusaha menyangkal.     

"Ah, baiklah, tidak cemburu ya?" Mesya mendesis kesal lalu gadis itu melingkarkan tangannya di leher David.     

"Sudahlah, Kak. Jangan berbohong, aku tahu Kak David, itu sedang cemburu. Jadi aku mohon, Kak, jangan cemburu lagi kepadaku. Kita ini, 'kan sudah bersepakat. Aku dengan Satria, dan Kak David, bersama dengan Kak Selena," ucap Mesya.     

David malah tersenyum sinis mendengar ucapan Mesya.     

"Kau bilang dengan, Selena?!" ucapnya.     

"Iya, dengan Kak Selena! Kak David, 'kan juga akan segera menikah dengannya!"     

"Aku dan Selena, tidak jadi menikah, Mesya!"     

"Benarka!?" Mesya tampak kaget mendengarnya, "Kak David, tidak sedang berbohong, 'kan?"     

"Tidak, Mesya! Karna ... Selena sudah ...."     

"Sudah apa, Kak?!"     

"Selena, sudah mati, Mesya!"     

"APA?!" Mesya tampak syok mendengarnya, padahal saat dia hendak pergi bersama Satria tadi, Selena masih baik-baik saja, tapi tiba-tiba saja David mengatakan jiak Selena sudah tewas.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.