Anak Angkat

Pernikahan Mesya Dan Satria



Pernikahan Mesya Dan Satria

0Hari yang di tunggu-tunggu telah tiba.     

Mesya sudah berpakaian rapi, dengan gaun pengantin berwarna hitam. Dia tidak tahu mengapa di acara pernikahan yang biasabya identik dengan warna putih itu, tapi dia malah berpakaian bernuansa gelap. Dia merasa sedikit aneh     

Hari ini tepatnya dia akan melepas masa lajangnya. Tak seperti para calon pengantin pada umumnya yang memancarkan senyuman kebahagian, Mesya kini malah memancarkan wajah muram dan kesedihan.     

Gadis itu terdiam di depan cermin. Pandangannya bagitu kosong.     

Sejujurnya dia belum siap untuk berlepas masa lajangnya. Tapi inilah yang harus ia jalanan.     

Tak bisa menolak ataupun memberontak.     

"Mesya, bisa angkat sedikit kepalamu? Aku akan merapikan bagian lipstikmu," tukas seorang Perias.     

Mesya masih terdiam, dia mengabaikan ucapan wanita itu. Mesya masih melamun, dan kali ini kedua matanya mulai berkaca.     

"Mesya," panggil wanita itu dengan pelan.     

Masih tak ada respon darinya dan sekarang malah kedua netra gadis itu mengeluarkan carian bening yang membasahi pipi. Mata berkaca yang membendung butiran kesedihan itu tak bisa lagi ditahan. Akhirnya dia menangis di depan cermin.     

"Mesya, kau kenapa?"  tanya si wanita.     

Mesya masih tak menjawabnya, lalu Arumi datang menemui Mesya.     

"Mesya, sini biar Ibu yang merapikan riasanmu," tukas Arumi. Dia melirik kearah si Perias.     

"Kau boleh keluar sekarang, biar aku yang mengurus, putriku," tukas Arumi.     

Dan si Perias, menganggukkan kepalanya.     

"Baik, Nyonya," tukasnya.     

Dalam ruangan itu hanya tinggal Mesya dan Arumi. Kini saatnya Arumi memberikan sedikit wejangan untuk Mesya. Dia tahu jika perasaan Mesya sedang bergejolak dan dia harus segera menenangkannya. Kalau sampai Mesya berubah pikiran, maka rencana yang sudah ia susun matang-matang akan berantakan.     

"Sudah, jangan menangis, kau itu gadis yang kuat," tukas Arumi menyemangati Mesya. Arumi meraih sebuah tisu lalu mengusap wajah Mesya.     

"Ayo hapus air matamu, biar kurapikan kembali riasanmu," ujarnya.     

"Mesya, kau harus ingat tujuan kita, kau juga ingin terlepas dari keluarga ini, 'kan?"     

Mesya menganggukan kepalanya, "Iya, Bu,"     

"Kalau begitu kau harus lebih bersemangat lagi. Kau akan hidup bebas bersama David setelah ini. Tapi kau harus berhasil dengan tugasmu ini!" tegas Arumi. Tak henti-hentinya dia menyenangi Mesya agar Mesya tak berubah pikiran.     

"Baiklah, Bu," Mesya menganggukkan kepalanya lagi. Gadis itu hanya bisa menurut dan menuru! Hanya itu yang dapat ia lakukan. Tak ada pilihan lain, lagi pula mereka memang sudah bersepakat sejak awal.     

Setelah itu Arumi menggandeng tangan Mesya dan menuntunnya keluar dari dalam ruang ganti.     

Tak sengaja Mesya berpapasan dengan David.     

Kedua netra mereka saling memandang. Seperti ada komunikasi yang tersembunyi. Hati mereka yang berbicara, tapi mulut mereka saling terdiam.     

Kesedihan terpancar di wajah mereka, terutama di wajah David. Dia harus merelakan gadis yang ia cintai menikah dengan pria lain.     

Sesaat David terdiam dan menghela nafas lelah. Mesya juga menghentikan langkanya, tapi Arumi menarik kembali tangan Mesya, dan mengajaknya kembali berjalan.     

"Sudahlah, Sayang, ayo lebih cepat jalannya, yang lain sudah menunggumu," tukas Arumi.     

Mesya pun menundukkan kepalanya dan menuruti ajakan sang ibu. Dalam hatinya merintih dan tak tega melihat David yang sakit hati.     

Sebenarnya bukan hanya David yang sakit hati tapi juga dirinya. Melihat pria yang ia cintai hancur, membuatnya juga merasa hancur.     

'Maafkan aku, Kak David,' tukasnya di dalam hati.     

***     

Tak lama acara pernikahan pun dimulai.     

Upacara pernikahan mereka dilaksanakan dengan cara yang berbeda.     

Tak seperti pernikahan pada umumnya, bahkan upacara mereka hanya dihadirinl oleh kedua belah pihak saja, dengan ritual-ritual aneh. Seperti membakar kemenyan, sesaji, dan beberapa binatang yang di potong dan di ambil beberapa organya. Dan ada seseorang pria tua berpakaian serba hitam tengan membawa satu cawan berisi darah. Pria itu mendekati Mesya dan Satria sambil komat-kamit membaca mantra.     

Mesya merasa sedikit risih, ini terlihat sangat berbeda.     

Tidak seperti pernikahan yang pernah ia lihat di manapun.     

Menurutnya ini bukan hari bahagia, tapi ini hari yang kelam. Seakan dia benar-benar, tengah membaur dengan kepercayaan para keluarga mereka yang teramat aneh.     

"Mesya, kau pasti merasa sangat aneh dengan semua ini ya?" bisik Satria.     

Mesya menganggukkan kepalanya.     

"Tidak apa-apa, ini hanya ritual saja. Mereka tidak akan melukaimu. Kami memang begini, pasti kau tahu tentang aliran sesaat yang dianut oleh Ayahku dari Bibi Arumi, 'kan?" tanya Satria.     

Mesya mengangguk lagi.     

"Aku berjanji, meski pernikahan kita terlihat berbeda tapi aku akan membuatmu bahagia, Mesya. Percayalah kepadaku. Aku tulus mencintaimu, Mesya ...." Tukas Satria meyakinkan Mesya.     

'Aku tahu, Kak Satria, tulus kepadaku. Justru aku yang tidak tulus kepadamu, Kak. Dan keluarga kita yang hanya memanfaatkan pernikahan ini,' bicara Medya di dalam hati.     

***     

Wijaya melirik kearah Arumi.     

Dia melihat tatapan Arumi yang penuh dengan kebencian, melihat hal itu Wijaya mendekatinya.     

"Arumi, kau sedang memikirkan apa?" bisiknya.     

Arumi sedikit tersentak.     

"Kenapa, Paman, bertanya seperti itu? Tentu saja aku sedang memikirkan putriku. Apa benar kau akan menyayangi putriku, seperti kau yang menyayangi putramu," pungkas Arumi.     

Wijaya sedikit tersenyum mendengar ucapan Arumi.     

"Kau masih meragukan, Pamanmu ini ya?" sindir Wijaya.     

"Tentu saja aku masih meragukanmu, Paman! Kau saja menikahkan anak-anak kita dengan cara seperti ini? Apa tidak ada cara lain? Kita ini bisa menikahkan mereka dengan cara yang lazim, 'kan? Kenapa harus, dengan ritual aneh begini?" protes Arumi. Dia pura-pura heran dengan upacara pernikahan ini, yang teramat melenceng dari agama mana pun, sebenarnya Arumi sudah tahu alasannya. Tapi dia pura-pura merasa aneh dan keberatan, hal ini ia lakukan agar Wijaya tidak curiga kepadanya. Dan menyangka jika Arumi masih sama seperti dulu, seorang wanita polos dan tak suka dengan hal-hal yang berbau mistis. Padahal dia juga sama seperti Wijaya.     

"Ayolah, Arumi. Ini hanya pernikahan yang sesuai dengan kepercayaan yang kuanut, mereka tetap akan resmi menjadi suami istri. Kau tidak perlu takut jika aku memiliki rencana buruk terhadap putrimu. Aku berjanji untuk menyayangi putrimu, ini juga demi putraku yang teramat mencintai putrimu." Pungkas Wijaya yang mencoba meyakinkan Arumi.     

'Cih, kau pikir aku percaya dengan mulut busukmu itu? Aku sudah tahu semuanya, Paman Wijaya. Dan kau tidak tahu jika diam-diam aku sudah mempelajari ilmu warisan leluhur kita, aku hanya butuh kitab itu untuk menyempurnakan kekuatanku, dan setelah itu kau akan kuhabisi bersama putramu,' bicara Arumi di dalam hati, tak sadar bibirnya tersenyum dengan licik.     

"Aku memegang ucapanmu, Paman. Tolong jangan membuatku kecewa ya," pinta Arumi.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.