Anak Angkat

Menunda Kehamilan



Menunda Kehamilan

0"Aku akan menepati ucapanku, dan sekarang kau jangan memasang wajah masam itu, Arumi. Aku tidak nyaman melihatnya!" ujar Wijaya.     

"Aku, masih terauma, Paman! Aku takut kau akan melakukan hal yang sama kepadaku," ujar Arumi, "masih teringat betul bagiamna kau menghabisi keluargaku!" ucap Arumi.     

"Sudah, kubilang aku tidak akan mengulanginya. Kau harus percaya kepadaku. Lewat putra-putri kita, sehingga kita bisa berdamai, kalau kau terus curiga kepadaku, sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa berdamai! Kau tidal kasihan dengan Mesya, dan Satria?" pungkas Wijaya.     

"Baiklah, Paman," Arumi menganggukkan kepalanya.     

"Kalau begitu, cobalah tersenyum kepadaku, Arumi," pinta Wijaya.     

Arumi pun memaksakan bibirnya untuk tersenyum.     

'Senyuman yang kupaksakan ini adalah senyuman yang akan menuntunmu menuju ajal, Paman. Tunggu ... sebentar lagi saat-saat  terakhirmu akan tiba,' bicara Arumi di dalam hati.     

Acara pernikahan yang di selenggarakan di kediaman Wijaya Diningrat ini, sangatlah tertutup. Tak ada satu pun tamu undangan, kecuali beberapa orang berpakaian serba hitam, yang berkumpul dan menyaksikan acara itu. Mereka adalah orang-orang satu aliran dengan Wijaya.     

***     

Esok harinya, Mesya terbangun di atas ranjang.     

Dia mengusap kedua matanya sambil memandangi keadaan sekitar.     

Dia hampir tak percaya jika dia terbangun dan tidak lagi di kamar pribadinya, melainkan berada di dalam kamar Satria. Dia sudah menjadi istri Satria.     

"Hufft ... aku tak menyangka jika aku sudah menjadi milik orang? Tapi apa pernikahanku itu sah di mata, Tuhan?" gumam Mesya. Terlihat sekali jika dia meragukan setatus baru yang ia sandang saat ini. Bahkan dia juga merasa jika acara kemarin bukanlah pernikahan, melainkan pemujaan.     

"Ah, sudahlah aku tidak boleh memikirkan itu, aku sudah pasti tak bisa mengubahnya. Aku berada di tempat yang salah dan memilih jalan yang salah ... tapi sayangnya aku memang tidak punya pilihan lain!"     

Mesya bangkit, dari atas ranjang itu. Dia masih bersih, dan pakaiannya juga masih rapi, hanya rambutnya saja yang tampak sedikit acak-acakan, dengan wajah pucat tanpa riasan.     

Satria belum menyentuhnya sama sekali, semalam dia terlalu lelah, hingga pada akhirnya memilih tidur.     

Mungkin  Satria tidak berani melakukan hal itu, karna takut Mesya akan terganggu.     

Satria paham jika Mesya begitu lelah, dan dia masih memikirkan sekolah yang terpaksa harus ia tinggalkan demi pernikahan ini, dia mengubur cita-citanya demi hidup bersama Satria. Tapi ternyata pernikahan itu tak seindah dalam bayangan Mesya.     

Setidaknya itulah yang ada di pikiran Satria. Dia benar-benar tak tahu jika Mesya melakukan hal ini karna memiliki rencana lain.     

Dan kesedihan yang terpancar di wajah Mesya, karna rasa bersalahnya terhadap Satria, dan David.     

Dia menipu Satria, dan menyakiti hati David.     

Dua pria yang sama-sama baik dan tulus menyayanginya.     

Mesya berdiri di depan kaca jendela, dia memandangi keadaan luar yang tampak sepi.  Masih mengenakan piyama berwarna putih sebatas lutut, Mesya meratapi nasibnya.     

'Aku tidak boleh menyerah, aku pasti bisa! Ingat ... tinggal selangkah lagi aku menyelesaikan tugasku,' bicaranya di dalam hati. Dia terus menyemangati dirinya sendiri.     

Perlahan Satria memeluk Mesya dari belakang.     

"Kau sudah bangun ya?" bisik Satria di telinganya.     

Gadis itu sedikit kaget, "Ah, Kak Satria, ini mengagetkanku saja," tukasnya.     

"Mesya, semalam kau tidur pulas sekali," ujar Satria.     

"Masa sih? Ah... mungkin karna aku terlalu lelah, Kak," jawab Mesya.     

"Aku tahu, makanya aku tidak berani mengganggumu,"      

Mesya tersenyum sedikit, "Terima kasih atas perngertiannya, Kak,"     

Satria menganggukkan kepalanya.     

"Mesya, apa kau mau ...."     

"Kak Satria, ingin apa?"     

"Kau tahu apa yang harus dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah?" sindir  Satria.     

"Kak Satria, ingin melakukannya sekarang?"  Mesya berbatasan secara terang-terangan.     

"Tentu saja, lagi pula ...."     

"Kenapa? Apa karna Ayah, yang ingin agar kita segera memiliki keturunan?" tanya Mesya memastikan.     

Satria menganggukan kepalanya lagi.     

"Iya," jawabnya.     

Mesya menghela nafas sesaat. Setelah itu dia juga menganggukkan kepalanya.     

Walaupun sebenarnya Mesya itu tidak rela untuk melakukan hal ini. Karna harus melepaskan kesuciannya untuk pria lain. Bukan dengan David, walau pun dia mulai menyukai Satria, tapi tetap saja rasa cinta itu tak jauh lebih besar dari cintanya kepada David.     

Satria meraih wajah Mesya, dan mengecup bibir mungil itu dengan lembut. Perlahan tangannya meraba bagian panggul sang istri.     

Tangan itu menjelajah kian jauh, hingga pada akhirnya  dia menggendong Mesya dan membaringkan tubuh  Mesya di atas ranjang.     

Tubuh Mesya sangat dingin dan gemetaran, ini kali pertamanya ia melakukan adekan dewasa bersama seorang pria. Mesya sangat takut, tapi berusah melawan ketakutan ini.     

'Kak David, maafkan aku,' hatinya.     

"Mesya, jangan takut, ini tidak akan terasa sakit. Aku janji akan melakukannya pelan-pelan," bisik Satria.     

Mesya mengangguk pasrah, apa pun ia lakukan demi kebebasan. Karna bunuh diri hanya akan membuatnya rugi, mau tak mau Mesya menikmatinya, walaupun sedikit terasa sakit.     

*******     

Wijaya, berharap, agar secepatnya Mesya hamil dan melahirkan seorang bayi.     

Dengan begitu ritual akan segera ia lakukan. Dia terus mendesak putranya untuk segera menuruti perintahnya.     

"Satria, kau harus segera membuat istrimu hamil, aku tak bisa menunggu terlalu lama! Aku harus segera melakukan ritual itu, agar tak ada siapa pun yang biasa mengalahkanku!" ucap Wijaya begitu yakin.     

"Sudahlah, Ayah, jangan terlalu mengekangku, lagi pula aku ini sedang berusaha," tukas Satria.     

"Baiklah, tapi kau tidak boleh terlalu santai!" perintah Wijaya     

"Iya, Ayah!" jawab Satria.     

***     

Mereka berusaha mempercepat kehamilan Mesya, dengan memberi banyak vitamin dan beberapa jenis obat penyubur kandungan.     

Sementara Mesya berusaha untuk membuang obat-obatan itu.     

Dia pura-pura meminum obat itu di depan Satria dan Wijaya. Tapi setelah mereka pergi, maka Mesya akan memuntahkan obat itu.     

Dan justru dia malah meminum pil kontrasepsi pencegah kehamilan.     

Arumi yang memberikan obat itu untuknya.     

Dia hanya menyuruh Mesya untuk mencari keberadaan kitab kuno di kediaman Wijaya, dan Mesya tidak boleh sampai hamil.     

Karna anak yang ia kandung bisa berpotensi menggagalkan rencana mereka yang sudah tersusun rapi.     

"Maaf, Kak Satria, mungkin kau menginginkan kehamilanku untuk kepentingan Ayahku, tapi aku menunda kehamilanku juga demi kepentingan keluargaku," gumam Mesya.     

Setelah meneguk obat pemberian dari sang Ibu, Mesya pun mencuci wajahnya,setelah itu dia keluar dari dalam kamar  mandi.     

Dia menuju ruang makan yang sudah ada Wijaya, dan Satria, tengah menunggunya.     

Dan seorang pelayanan wanita tengah mempersiapkan makan siang untuk mereka.     

'Tuan Wijaya, memiliki seorang Pelayan. Berbeda dengan Ibu yang memilih tanpa menggunakan jasa Pelayan sama sekali. Apa Tuan Wijaya, tidak memakan daging manusia?' bicara Mesya di dalam hati.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.