Anak Angkat

Kebohongan



Kebohongan

0Arumi melirik kearah Mesya. Mengisyaratkan suatu hal.     

Mesya menangkap apa yang diisyaratkan oleh sang Ibu.     

"Kak Satria, aku ke belakang  sebentar ya," ujar Mesya.     

"Baiklah," jawab Satria.     

Mesya berjalan menuju taman belakang dan Arumi hendak mengikutinya.     

"Ayah, Ibu juga akan kebelakang ya, Ibu melupakan sesuatu," ujar Arumi.     

"Iya, Sayang," tukas Charles.     

Mereka meninggalkan ruang tamu. Dan membiarkan  Satria mengobrol bersama Charles serta David.     

'Kalau dilihat-lihat apa yang diucapkan oleh Mesya itu memang benar. Jika Satria itu pria yang baik, hanya saja dia dikekang oleh ayahnya yang sangat kejam. Sama seperti aku,' bicara David di dalam hati.     

Tentu saja hawa tak nyaman menerpa mereka bertiga, terutama anatara David dan Satria. Karna sebelumnya mereka itu sangat jarang mengobrol. David yang sengaja menjauh dari Satria, dia sangat benci karna Satria sudah merebut Mesya darinya.     

Charles menyadari hawa tak nyaman yang terpancar, sehingga dia pun mencoba mencairkan suasana.     

Bagaiamana pun Satria adalah menantunya, dan dua tetap harus merasa nyaman berada di rumah ini, yah ... walaupun hanya sekedar sandiwara ....     

"Nak Satria, bagaimana kabarmu, apa kau baik-baik saja?" tanya Charles.     

"Ya aku baik-baik saja, Ayah," jawab Satria.     

"Lalu bagaimana, kabar Ayahmu, apa dia juga baik-baik saja?"     

"Iya, Ayahku juga baik-baik saja," jawab Satria, kali ini agak kaku. Dia merasa tidak enak dengan Charles, karna Ayahnya memperlakukan Mesya dengan tidak baik.     

Sementara Charles dan yang lainnya saja memperlakukan dirinya dengan baik.     

Satria masih tak sadar jika kebaikan keluarga Davies itu hanya mempermainkannya. Dan semua sikap ramah serta hangat mereka hanya sabagai kedok untuk menutupi niat buruk mereka terhadap Wijaya. Pada intinya keluarga Davies sama busuknya dengan keluarga Wijaya, bahkan boleh dibilangin jauh lebih busuk.     

***     

Semenatara itu Mesya tengah bersama Arumi di taman belakang, mereka tengah membicarakan sesuatu yang penting.     

"Mesya, ambil ini," ujar Arumi seraya  menyodorkan  sebuah testpack kearah Mesya.     

"Gunakan ini untuk mengelabui Ayah mertuamu," ujar Arumi.     

"Tapi dari mana Ibu, mendapatkan ini?"      

"Sudah, pakai saja. Kalau hanya menacari benda itu bukanlah hal yang sulit bagiku!" ucap Arumi.     

Mesya memandangi alat tes kehamilan itu, yang sudah tergambar dua garis merah, yang artinya benda itu sudah di pakai oleh seseorang yang benar-benar tengah mengandung.     

Entah dari mana Arumi mendapatkan benda itu. Yang jelas ini adalah sebuah senjata bagi Mesya.     

"Gunakan benda ini dengan baik, Mesya. Dan tunjukan kepada Ayah mertuamu secara natural. Jangan terlihat seperti adegan yang dibuat-buat," pungkas Arumi.     

Mesya mengangguk paham.     

"Baik, Ibu  aku kan melakukan sesuai arahan, Ibu," ujar Mesya.     

"Baiklah, kalau begitu ayo kita keluar lagi, Ibu tidak mau kalau suamimu sampai curiga terhadap kita," ujar Arumi.     

"Iya  Ibu, baiklah,"     

"Eh! Tunggu!" Mendadak Arumi menghentikan langkah Mesya.     

"Ada apa lagi, Bu?"     

"Mesya, kau harus ingat, jika mertuamu lengah kau harus segera masuk ke ruang rahasia itu, untuk mencari Kitab Kuno. Kau harus segera melakukannya, karna Ibu sudah tak tahan lagi untuk menghabisi si Tua Bangka itu dan segera bertemu Lizzy!" pinta Arumi.     

"Baik, Bu. Aku sudah memegang kunci kamar itu, jadi Ibu tenang saja,"  jawab Mesya.     

"Baiklah, Sayang, Ibu percaya kepadaku,"  Arumi mengusap rambut Mesya.     

Dan satu per satu mereka keluar dari taman belakang, dimulai dari Mesya, dan dilanjutkan oleh Arumi.     

*****     

"Ayah, semoga Ayah lekas sembuh ya, aku dan Kak Satria harus pulang sekarang," pungkas Mesya.     

"Baik, Nak! Hati-hati di jalan, dan terima kasih sudah menengok, Ayah," ujar  Charles.     

Sebagai salam perpisahan Mesya memeluk sang Ayah.     

"Kau, harus segera menyelamatkan Lizzy, Nak," bisik Charles di telinga Mesya.     

Dan gadis itu mengangguk.     

Setelah itu Mesya berlalu pergi bersama Satria.     

*******     

Sesampainya di rumah, Wijaya tempak duduk santai di atas sofa ruang tamu.     

Kembali Mesya berpapasan Ayah mertuanya. Perasaanya benar-benar tak nyaman.     

Selalu saja Wijaya memandangnya dengan tatap mengintimidasi. Kalau bukan karna sebuah tugas yang harus ia kerjakan, sudah pasti Mesya akan meninggalkan Satria saat ini juga.     

Wijaya tersenyum sinis kearah Mesya. Sementara Mesya menundukkan kepalanya dengan raut wajah yang ketakutan.     

"Sudah, ayo kita ke kamar, Sayang," ajak Satria, nampaknya dia memahami jika Mesya tak nyaman berhadapan dengan sang Ayah. Satria selalu paham akan hal ini. Dia tak mau melihat istrinya ketakutan.     

Dia menggandeng tangan istrinya erat-erat.     

***     

Mereka duduk di atas kasur.     

"Mesya, kau jangan merasa terbebani dengan ucapan Ayahku ya, aku berjanji apa pun yang terjadi aku tidak akan membiarkan dia membunuhmu. Dan bahkam aku berjanji tetap akan berada di sisimu," tutur Satria meyakinkan Mesya.     

"Iya, Kak, terma kasih ya," ucap Mesya.     

Malam pun tiba, dan mereka berdua bermesraan seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa.     

Satria selalu bahagia saat bersama Mesya, tapi kebalikannya ... Mesya selalu merasa hampa, dan perasaan bersalah selalu menghampirinya.     

Tak pernah ada ketenangan dalam hati Mesya.     

Terkadang dia merasa sangat menyesal, karna telah di lahirkan di dunia ini.     

Penyesalan dami penyesalan selalu menggamprinya satu persatu.     

Kini dia menjadi sosok berbeda.     

Andai waktu bisa diputar Mesya ingin kembali pada masa lalu.     

Dimana dia tetap menjadi sosok gadis kecil yang ceria. Dan hidup dengan puluhan anak panti serta tertawa lepas tanpa beban.     

Tapi saat-saat indah itu hanya tinggal kenangan, dan sekarang Mesya menjadi sosok yang berbeda karna dikendalikan oleh keluarga Davies demi kepentingan mereka.     

Malam selalu terasa kelam bagi Mesya. Dia seperti manusia yang terjebak di planet asing.     

Tempat tinggal yang sesungguhnya adalah panti asuhan "Pelangi Senja"     

Tapi sayangnya tempat itu sudah lenyap dan semua juga karna keluarga angkatnya.     

Tapi lagi-lagi Mesya tidak bisa membalas perbuatan mereka.     

Dendam berubah menjadi ketakutan. Dan semua ia lakukan demi kebebasan.     

***     

Sinar mentari pagi menyapa kedua netranya yang mulai terbuka, Mesya bangkit dari atas ranjang.     

Dia melihat sang suami yang masih terlelap.     

Mesya meraih sebuah testpack pemberian sang ibu.     

"Sayang ... kau sudah bangun?" tanya Satria.     

Mesya segera memasukkan testpack itu ke dalam sakunya lagi.     

Mesya menoleh seraya tersenyum.     

"Iya, Sayang," jawab Mesya.     

***     

Beberapa saat kemudian mereka berada di ruang makan, dan tampak Nadia yang tengah mempersiapkan menu sarpan untuk keluarga ini.     

"Non Mesya, saya sudah menyiapkan salad kesukaan, Nona," ujar Nadia.     

"Iya, Bu Nadia, terima kasih. Tapi nafsu makan saya akhir-akhir ini sedang memburuk," ujar Mesya.     

"Benarkah? Apa kau sedang sakit?" Nadia memegang kening Mesya.     

Dan tepat di saat itu Mesya menutup mulutnya sambil berlari.     

Dia terlihat seperti ingin memuntahkan sesuatu dari perutnya.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.