Anak Angkat

Mustahil



Mustahil

0"Benarkah apa yang kau ucapkan itu?!" tanya Wijaya memastikan. Tentu saja dengan sorot mata tajam yang membuat Mesya gemetaran.     

Tapi Masya mengangguk dengan yakin. "Iya, Ayah! Aku benar-benar sedang hamil!" jawab Mesya.     

"Kalau begitu secepatnya kita harus melakukan periksaan lebih lanjut untuk meyakinkan bahwa kau itu benar-benar sedang hamil! Karna alat itu saja tidak cukup!" perintah Wijaya. Pria itu tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan Mesya.     

Kini perasan was-was mulai timbul lagi di hati Mesya, dan dia harus mencari alasan agar Wijaya tidak jadi membawanya ke dokter kandungan.     

Kalau sampai hal itu terjadi, Mesya bisa ketahuan jika dia sedang berbohong.     

"Ayah, kita tidak perlu datang ke sana Ayah! Karna alat ini sudah cukup akurat!" ujar Mesya.     

"Tapi aku tidak yakin, kalau hanya menggunakan alat itu!" cantas Wijaya.     

"Ayah, percayalah jika ini sudah cukup akurat! Aku tidak bisa datang ke rumah sakit, karna aku takut mual! Kebanyakan hamil pada trimester pertama itu memang terasa berat bagi para wanita, karna sering kali mereka mengalami mual-mual dan tak bisa mencium aroma tertentu. Dan sekarang aku benar-benar alergi aroma rumah sakit, Ayah! Membayangkannya saja aku sudah ingin muntah, bagaimana kalau aku berada di sana?" pungkas Mesya, dia terus berusaha meyakinkan Wijaya.     

Mendengar penjelasan Mesya, Wijaya terdiam sesaat.     

Dia teringat dengan Nadia dulu, saat masih menjadi istrinya.     

Nadia sering kali mengalami mual dan muntah di pagi hari, dan di saat ia mencium aroma tertentu yang tidak ia sukai. Mungkin hal itu sama dengan yang dialam Mesya saat ini.     

Akhirnya Wijaya pun menyerah, dia tak jadi membawa Mesya untuk periksa ke Dokter Kandungan.     

"Baiklah kali ini kau boleh tinggal di rumah dan beristirahat. Tapi perlu kau ingat Mesya! Kau harus bisa menjaga janin yang kau kandung itu dengan baik!" ujar Wijaya.     

"Iya, Ayah," jawab Mesya.     

"Awas, jika terjadi apa-apa dengan kandunganmu! Aku akan membunuhmu!" ancam Wijaya.     

Kemudian pria paru baya itu meninggalkan ruang makan.     

Dan kini perasaan Mesya sedikit tenang, akhirnya Wijaya bisa ia kelabui juga. Meski dia harus menahan detak jantung dan tubuh memanas karna saking takutnya ketahuan oleh Wijaya.     

Misi selanjutnya adalah menunggu Wijaya dan Satria lengah kemudian masuk ke ruang rahasia.     

Dia juga harus menyelamatkan Lizzy secepat mungkin.     

Jika kitab sudah ada di tangannya, dan Lizzy juga sudah berada dekapan keluarga Davies, makan perang akan segera dimulai. Karna dengan begitu Arumi juga sudah yakin kalau doa dan keluarganya akan menang.     

***     

"Mesya, aku benar-benar tak menyangka jika kau hamil. Kita berhasil, Sayang, dan itu artinya Ayah tidak akan membunuhmu," ucap Satria dengan raut bahagia.     

"Iya, Kak. Aku juga senang, tapi ...." Mesya menundukkan kepalanya.     

"Tapi apa? Kau pasti memikirkan anak kita ya? Karna setelah lahir nanti dia akan dijadikan tumbal?" tanya Satria.     

Mesya mengangguk dengan raut bersedih.     

Satria meraih wajah Mesya dan membenamkan dalam pelukan.     

"Aku tahu kau pasti bersedih soal ini. Aku pun juga bersedih, Sayang ... tapi keselamatanmu jauh lebih penting," pungkas Satria.     

"Iya, Kak. Aku paham, tapi aku hanya wanita biasa, mana mungkin aku rela anakku akan dibunuh dan diserahkan kepada Iblis?" Masya berpura-pura sedih, agar Satria benar-benar yakin jika dia benar-benar tengah mengandung.     

Karna wanita hamil pada umumnya, pasti akan menyayangi janin dalam kandungannya, dan tidak mungkin rela jika anak itu akan di bunuh setelah lahir nanti.     

Dan dengan begitu Satria pun benar-benar semakin percaya kepada istrinya dan pria itu pun berusaha untuk menenangkan Mesya.     

"Mesya, kita harus bisa merelakan anak itu. Aku masih membutuhkan dirimu. Aku tidak mau kau mati gara-gara mempertahankan bayi itu. Kau tetap harus hidup. Karna aku tidak bisa hidup tanpamu," pungkas Satria.     

Mesya mengagnggukkan kepalanya.     

Mereka duduk di atas ranjang, Satria menyuruh sang istri untuk tidur.     

Dan dia memeluknya dari belakang.     

Ini yang selalu ia lakukan setiap melihat Masya terpuruk.     

Mesya pura-pura nyaman berada dalam pelukkannya.     

Padahal Mesya tengah menahan rasa bersalah. Dan ekspresi kemarahan Satria saat menegatahui kebohongannya.     

Kebaikan Satria benar-benar sudah menyiksanya. Bagi Mesya lebih baik memilki suami yang jahat, sehingga dia tidak akan merasa bersalah saat menipunya seperti ini.     

"Kak Satria,"     

"Iya,"     

"Apa, Kakak, tidak ingin pergi dari kehidupan seperti ini?"     

Satria terdiam sesaat, dan tak langsung menjawab pertanyaan Mesya. Tapi gadis itu terus memandangnya, seakan tak sabar mendengar sebuah kalimat yang terlontar dari bibirnya.     

"... entah berapa kali kau mempertanyakan hal ini kepadaku, Mesya," tukas Satria.     

"Aku memang sudah berkali-kali bertanya hal ini kepadamu, Kak! Tapi kau tak pernah menjawabnya,"     

"... aku tidak menjawab karna memang aku tidak tahu harus menjawab apa? Aku ini tidak bisa terlepas begitu saja dari Ayahku, Mesya," pungkas Satria.     

"Iya, tapi apa alasan, Kak?"     

"Alasannya ... karna aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini! Aku hanya punya Ayah!" jawab Satria.     

"Lalu bagaimana dengan, ibumu?" Mesya bertanya lagi.     

"Ayah bilang Ibuku sudah meninggal saat melahirkanku?" jawab Satria.     

"Apa, Kakak, yakin?"     

"Kenapa kau bertanya begitu?"     

"Ya karna aku masih meragukan hal itu, Kak. Bagaimana kalau ternyata, Ibu Kak Satria, masih hidup? Dan apa yang akan Kakak lakukan?"     

"Ya aku pasti akan memeluknya! Tapi rasanya itu tidaklah mungkin!"     

"Kak, kau harus melawan Ayahmu. Dia berada di jalan yang salah! Aku tahu kau sendiri tersiksa dengan semua ini!"     

Ucapan Mesya memang ada benarnya. Tapi hal ini sedikit memancing emosi Satria, karna tak terima Mesya menghina sang ayah, tapi pria itu masih berusaha untuk tenang. Dia tidak mau membuat Mesya semakin terbebanin olehnya. Sudah cukup Mesya selalu tertekan dengan ucapan sang ayah.     

"Bagaimana pun kita harus meninggalkan kehidupan ini, Kak!"     

"Aku tidak yakin, Mesya,"     

"Kau harus yakin, Kak! Percayalah jika suatu saat nanti aku pasti bisa membawa Kak Satria, pergi dari kehidupan ini!" ujar Mesya dengan penuh yakin.     

Satria hanya menanggapinya sambil terdiam. Sebenarnya dia sangat bahagia bisa terlepas dari kehidupan ini.     

Tapi apa yang diucapkan oleh Mesya itu, menurut Satria sangatlah mustahil. Karna Mesya tidak mungkin bisa membawanya keluar dari kehidupan kelam ini.     

Terlebih Mesya hanyalah gadis biasa yang sangat polos. Bahkan keluarga ibu angkatnya saja juga sudah di habisi oleh Wijaya.     

"Mesya, ayo kita jalani hidup seperti biasa saja. Kau tak perlu memikirkan hal yang mustahil," ujar Satria.     

"Mustahil? Kenapa, Kak Satria, meremehkan ucapanku?"     

"Aku bukanya meremehkanmu, Mesya! Hanya saja apa yang kau ucapkan itu memanglah sangat mustahil!" kata Satria.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.